"Kenapa? Seneng iya?" tanyanya dengan nada  tinggi.

Qanita hanya terdiam, tak berniat untuk membalas. Tatapannya lurus, ekspresinya datar, tak ada senyuman dari wajahnya hanya aura dingin dan kaku yang ia keluarkan.

"Han, gue udah percaya ama lu, gue udah deket banget ama lu, tapi ternyata... hehe," Qanita kembali mengatakannya.

"Sayangnya gue sama sekali ga nganggep elu, dunia ini masih luas buat gue ngehancurin semua tentang lu, Qanita Afshan." Terangnya dengan jelas, namun Qanita hanya terdiam. Amran mendatangi mereka berdua, setelah melihat orang yang berbicara dengan adiknya ia terkejut, sama seperti Qanita.

"Hana? Ngapain disini?" tanya Amran dengan heran, melihat ekspresi Amran seperti itu Qanita hanya mencekal tangan Amran berharap ia mengerti.

Yang ditanya hanya tersenyum kecut, ia tak membalas pertanyaan Amran sama sekali. "Mending kita pulang aja gimana?" tanya Amran lagi mencairkan suasana, namun yang terjadi bukanlah menjadi cair malah Qanita pergi lebih dahulu meninggalkan mereka.

Saat Qanita melangkahkan kakinya untuk pergi, disitu pula sebuah belati kecil terbang menuju tubuh Qanita, merasa ada sesuatu yang menghampirinya, dengan sigap Ia berbalik lalu menangkap dengan cepat belati itu sehingga melukai jarinya.

Amran segera menghampiri Qanita, ia menanyakan apakah adiknya baik baik saja atau tidak.

"Sakit gak?" tanya Amran khawatir.

"Ngga," jawab Qanita dengan ringan, setelahnya ia segera menunjuk arah ke seseorang yang tadi berbincang dengannya, ya orang itu berlari keluar gedung namun Qanita masih bersikap santai dan mengajak Amran kembali menguruskan masalah ini lebih lanjut.

Ia berlari keluar gedung dengan melalui pintu belakang gedung, ia yakin jika belakang gedung tak akan ada yang menjaga sebab orang orang akan terkecoh dengan keadaan tadi.

"Mau kemana?" tanya seseorang yang berada di pintu gedung bagian belakang.

Ia terdiam seketika, tak ada lagi tempat Ia berlari. Kini tubuhnya lesu dan pikiran yang tak menentu.

"Jadi gitu ceritanya? Kok bisa?" tanya Amran pada Qanita yang sedang memakaikan plaster pada tangannya.

Qanita mengangkat kedua bahunya acuh, ia juga tak tahu mengapa bisa serumit ini. "Bisa jadi semuanya ada fakta yang lebih dalam, Nit."

"Mungkin," jawab Qanita.

***

"Bu, Azwar gak tahu harus gimana, aku terlanjur kecewa sebenarnya, tapi aku juga gak bisa benci sama Ibu," Azwar bersimpuh, ia menunduk tak lagi berdiri gagah. Rasa sakit di masa lalunya kembali menjalar.

"Kamu anak hebat, Nak. Maaf Ibu nggak jadi Ibu yang baik buat kamu, maaf karena udah bikin luka yang dalam untuk kamu," lirih Ibunya dengan pelan namun dapat terdengar oleh telinga Azwar.

Azwar terdiam, seolah lisahnya kelu untuk berucap, tubuhnya beku dan kaku. Ia menelan salivanya kuat kuat, menahan agar semuanya tak lagi terjadi.  "Ayah?" Azwar mengatakannya dengan sibgkat, suaranya tercekat.

Ibunya menggelengkan kepalanya, tak ada sepatah kata yang keluar. Melihat itu Ia langsung mengerti apa maksud Ibunya. Ia hanya tersenyum simpul, lalu mengalihkan pembicaraan.

"Kamu sekarang tinggal sama siapa?" tanyanya.

Azwar tersenyum mendengarnya, "Sendiri."

"Lha kenapa?" tanya Ibunya lagi.

'Karena aku lelah dengan semuanya, termasuk gangguan mental aku,' jawab batinnya dengan ketir.

"Gapapa, dulu tinggal sama saudara nenek tapi sekarang tinggal sendiri, walaupun masih sering main ke sana," Azwar menjawabnya dengan beberapa pikiran itu mengganggunya lagi.

"Yaudah kalau gitu, Ibu minta maaf ya udah ngusik lagi kehidupan kamu, padahal mungkin kamu sekarang lebih bahagia daripada bersama Ibu. Kamu jangan jadi Ibu yang gini ya, kamu harus bisa jadi anak laki laki hebat, bisa banggain keluarga kamu juga, Ibu tetap dukung kamu walaupun dari jauh, kali ini Ibu pamit ya, maaf Ibu cuman bisa ganggu kamu," pamitnya lalu meninggalkan Azwar sendiri.

'Nyatanya aku gak sebahagia itu, memangnya apa si kebahagiaan?' teriak batinnya namun fisiknya hanya mampu tersenyum dengan memandang kepergian ibunya itu.

Azwar mencengkram kepala belakangnya, Ia tak mengingkan semuanya terulang tapi mengapa semuanya terus beterbangan di pikirannya itu? Beberapa waktu yang lalu Ia memutuskan untuk berkonsultasi ke psikolog, memang ia telah mengalami ini bertahun tahun yang lalu, namun keberaniannya untuk periksa sama sekali tak ada, baru waktu itu ia memaksa diri untuk berkonsultasi.

Setelah berkonsultasi, Ia diagnosis oleh dokter bahwa Ia mengidap PTSD (post traumatic stresss disorder), dokter juga mengatakan bahwa keadaanya telah parah, sehingga ia harus psikoterapi ditambah obat obatan.

PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis atau sangat tidak menyenangkan.

PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD adalah perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.

Meski demikian, tidak semua orang yang teringat pada kejadian traumatis berarti terserang PTSD. Ada kriteria khusus yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang mengalami PTSD.


Tak ada yang tahu perihal yang dialaminya, Ia menyimpannya rapat rapat. Menyimpan obat obatan itu di apart miliknya. Tapi sejujurnya ia sangat jarang mengonsumsi obat itu, hanya ketika Ia kambuh lalu meminum obat itu setelahnya ia tak peduli lagi tentang oabt obatan itu.

Drt.. drt...

Handphonenya bergetar, Ia segera mengangkat sambungan telpon dari Ayahnya itu, ya memang bukan Ayah kandung tapi Ia telah menganggapnya seperti Ayah kandung.

'Assalamualaikum, Azwar! Pulang dulu sekarang bisa gak? Ayah mau membicarakan sesuatu,'

'Waalaikumussalam, iya, Yah. Azwar pulang sekarang,'

'Sekalian tolong jemput Mayra juga ya disekolah,'

'Iya, Yah.'

Deep.

Sambungan itu berakhir begitu saja, ya seperti ini sering kali terulang namun Azwar mengerti, Ia juga tak keberatan atas permintaan Ayahnya itu. Lagipula, yang ada dipikirannya hanyalah mereka keluarga satu satunya yang mengakui kehadirannya.

Baginya, kehidupan di dunia ini suram, yaa walaupun Ia juga mendapatkan kelebihan tersendiri. Kehidupan masabkecilnya sangatlah buruk, Ia tinggal bersama neneknya disaat dirinya membutuhkan kasih sayang orang tua. Di depan matanya sendiri, Ia melihat kekerasan yang terjadi antara Ayah kandungnya dan Ibu kandungnya itu, hingga mereka memutuskan bercerai.

Ayahnya menikah lagi dengan wanita lain, begitupun Ibunya yang memutuskan menikah lagi dengan pria lain. Ia mengira jika kehidupan barunya akan lebih baik dari masa lalunya, namun ternyata kekerasanlah yang terjadi pada dirinya, berbagai pukulan, makian tertuju pada tubuh kecilnya. Hingga sekarang Ia memiliki trauma besar terhadap yang namanya keluarga, namun setelah masuk ke keluarga Mayra, kehidupannya berubah drastis walaupun pikirannya seringkali mengganggu.

'Gue yakin bisa ngelewatin semuanya,' tekad hatinya dengan kuat.









#masalaluAzwar
_Nblaasyfaa🍂

Trying To Stay [END]Where stories live. Discover now