Pemuda berbaju pasien itu terkekeh kecil ketika menyadari pikirannya ternyata menjadi semakin aneh menurut dirinya sendiri. Baiklah. Sepertinya sedikit berjalan-jalan mengitari lorong rumah sakit sembari menemani bulan itu tak ada salahnya. Terlebih dinding yang membatasi lorong di lantai yang ia tempati adalah kaca, yang membuatnya bisa menatap langsung seluruh pemandangan malam kota Seoul.
Dan juga, pada saat seperti ini seharusnya tidak ada siapapun yang berlalu lalang. Jungkook bisa pergi kemanapun dirinya mau tanpa perlu takut berpapasan dengan orang lain.
Langkah kecilnya ia bawa untuk mendekati Hoseok. Tidak terlalu dekat, ia menjaga jarak sebaik mungkin agar tak membangunkan sang kakak. Senyumnya terkembang kecil melihat kakaknya yang begitu pulas.
Ahh, apakah ini yang kakaknya rasakan ketika bisa melihat dirinya tidur dengan lelap?
Jika memang rasanya bisa semambahagiakan dan menenangkan seperti ini maka Jungkook akan semakin bertekad untuk bisa tidur lelap agar Hoseok sering merasakan rasa senyaman ini.
"Tidur yang nyenyak, hyung." Bisik Jungkook sebelum akhirnya dengan sepelan mungkin berusaha menjauhi kakaknya.
***
Tepat seperti dugaannya, sepi senyap seketika menyambutnya dengan dingin yang sangat menusuk kala dirinya berhasil melewati pintu putih itu. Jungkook memeluk erat dirinya saat dingin semakin menggigit terlebih dengan dirinya yang hanya menggunakan baju pasien.
Pikirannya sejenak melayang tak tentu arah kala pekatnya malam diluar sana menjadi hal yang memenuhi inderanya. Jungkook ingat malam itu. Seolah kaset rusak yang masih terus tanpa bosan terputar pada memori otaknya. Jungkook ingat semuanya.
Tepian jurang, angin yang menerpa kulitnya, pening pada kepalanya, ia ingat semuanya. Bayangan kelam yang mengejar hingga alam mimpinya. Suara decitan ban, hujan deras dan petir, teriakan itu —
"Hentikan, Jungkook!" Kedua manik itu tertutup cepat. "Kau harus menghentikannya. Hanya kau yang bisa menghentikannya." Jungkook berbisik pelan terus memberikan sugesti sebagaimana yang dokter Kang perintahkan.
Degupan jantung yang sebelumnya berpacu itu mereda. Bayang yang semula begitu menyiksa pun perlahan mulai menghilang. Meski tak akan sepenuhnya terhapus tapi setidaknya tak akan lagi menyakiti Jungkook seperti dulu.
Lukanya harus sembuh. Harus. Jika tidak demi yang lain, setidaknya Jungkook harus sembuh demi kakaknya. Jika bukan untuk enam sayapnya, ia setidaknya harus bisa sembuh untuk satu pilar yang masih tanpa lelah menopangnya.
Jungkook ... harus sembuh demi Hoseok, demi sang kakak yang bahkan rela meninggalkan semuanya hanya untuk menjaganya.
Meski begitu tatapannya kembali hanya terpaku pada pekatnya langit diluar sana yang hanya dihiasi rembulan. Cahayanya terasa hangat namun entah mengapa melihatnya Jungkook justru merasa bahwa bulan itu terlihat kesepian.
Bersinar memberikan cahaya namun berakhir menangis dalam pelukan malam yang akan membawanya turut pergi kala mentari mulai menunjukan diri.
Jungkook pernah sekali bertanya dalam benaknya kala menatap bulan. Membayangkan bagaimana rasanya berada diatas sana sendirian dan hanya diselimuti dinginnya sang malam. Tapi ternyata waktu membawa Jungkook merasakan hal itu secara nyata.
Menatap kosong ruang yang biasanya selalu terisi riuh bersahutan. Terlelap dalam mimpi yang hanya menghadirkan pekat bersama sakit dan harus kembali terbangun pada dinginnya ruang tanpa seorangpun yang bisa dijadikan sandaran.
Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk ia terus memupuk dan memperdalam lukanya sendiri. Pada akhirnya Jungkook tahu bagaimana rasa sepi yang menyiksa bulan itu.
YOU ARE READING
기억 MEMORY || BTS
FanfictionSemua kenangan itu tersimpan rapi di laci sudut kepalaku Semua kenangan itu seperti huruf korea 'giyeok' Permulaanku yang berharga An ordinary story between their friendship and memory Inspirasi : 💜 Puisi RM di Run BTS eps 56 ...
MEMORY || 45
Start from the beginning
