9. Awal Mula Bencana

22.9K 2.6K 31
                                    

Jangan lupa vote dan comment nya...
Instagram : @ellechelle_

***

Kehidupan Mentari mulai berjalan seperti biasanya lagi. Yuli, asisten rumah tangganya yang sekaligus mengurus Kai sudah kembali dari kampung. Kai juga sudah masuk sekolah hari ini. Jadi apalagi yang Mentari lakukan selain kembali tenggelam dengan rutinitas dan pekerjaannya?

Pukul delapan kurang dua puluh menit, Mentari sudah bertengger manis menunggu lift yang akan membawanya ke lantai delapan belas. Secangkir kopi dari kafe ternama ada di genggaman tangan Mentari. Hari Senin, hari paling sibuk yang pernah ada, dan Mentari membutuhkan kopi paginya sebagai penyemangat.

"Senin yang cerah ya," Sapa seseorang disamping Mentari. Dia memejamkan matanya beberapa detik ketika telinganya mampu mengenali suara tersebut. Kepalanya menoleh, mendapati Melvin sedang bersiul kecil sambil menatap langit-langit gedung kantor mereka yang dihiasi lampu kristal. Mentari yakin kalau sampai ada gempa, mereka sudah mati tertancap serpihan kristal sekarang.

"Aku nungguin kamu empat hari kemarin. Sampai-sampai Sabtu Minggu aku kesini." Lanjut Melvin yang hanya dihadiahi lirikan malas dari Mentari.

"Habis liburan?" Tanya Melvin lagi.

"Tau yang namanya privacy kan?" Mentari balik bertanya. Melvin mengerutkan keningnya sembari mengangguk. "Kalau gitu jangan banyak tanya. Berisik." Lanjut Mentari. Lama-kelamaan Mentari bisa gila kalau terlalu sering bertemu dengan lelaki yang sok akrab begini. Satpam kantor yang sudah mengenalnya saja tidak sampai sok akrab juga dengannya.

Denting bunyi lift terdengar nyaring. Pintu terbuka, mereka sama-sama masuk ke dalam lift. Melvin tidak berhenti dengan tingkahnya. Dia berdiri persis di samping Mentari sambil memandang Mentari dan memamerkan senyuman bodohnya itu.

"Aku masih belum menyerah." Kata Melvin.

"Whatever, I don't care." Sahut Mentari. Tidak butuh waktu lama lift yang mereka naiki sudah berhenti di lantai tujuh belas. Melvin berjalan keluar, sebelumnya dia membisikan sesuatu tepat di telinga Mentari.

"Sampai bertemu lagi nanti." Bisiknya dengan suara rendah, mampu membuat Mentari merinding untuk beberapa saat.

Ketika lift sampai di lantai delapan belas, Mentari sudah bisa menguasai dirinya lagi. Dia berjalan santai menuju ruangannya yang ada di ujung. Melewati Tania, anak magang yang entah kenapa malah menjadi asisten pribadinya. Tania langsung berdiri menyambut kedatangan Mentari dengan wajah yang sedikit gugup.

"Selamat pagi Bu..." Sapa Tania. Mentari mengerutkan keningnya, dalam hati dia mendengus kesal.

"Ada apa Tania?" Tanpa harus diberitahu juga dia sudah tahu ada sesuatu yang terjadi. Tidak biasanya Tania menyapanya pagi-pagi sambil mau repot-repot berdiri seperti ini. Belum lagi wajah gugupnya.

"Ada tamu Bu di dalam," Mentari mengerutkan keningnya. Tamu pagi-pagi begini disaat belum jam masuk kantor. Tumben sekali. "Sedang menunggu di ruangan Ibu, katanya mau bicara dan bertemu dengan Ibu langsung. Ibu Natasha Wijaya." Lanjut Tania.

Mentari beranjak masuk, meninggalkan Tania tanpa sepatah kata pun. Di dalam ruangannya Natasha sudah duduk manis di hadapan meja kerja Mentari, ditemani secangkir teh buatan Tania mungkin.

"Ibu Natasha? Maaf menunggu lama, saya tidak tahu ibu mau bertemu pagi-pagi begini." Natasha bangkit berdiri, menerima uluran tangan Mentari.

"Tidak masalah, salah saya juga yang tidak memberitahu anda kalau saya akan kesini. Ada beberapa hal yang harus saya bicarakan dengan anda sebagai kuasa hukum saya." Ujar Natasha.

"Silahkan duduk Bu." Mentri mempersilahkan Natasha kembali duduk. Dia berjalan mengitari Natasha, duduk di kursi kerjanya dan meletakkan beberapa barang bawaannya yang tentus saja dokumen-dokumen kasus yang sedang ditanganinya.

Mentari Dipersimpangan Hati (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang