1. Hanya Semalam

42.9K 3.3K 9
                                    

Jangan lupa vote dan comment nya...
Instagram : @ellechelle_

***

Tari menggulung selimut sebatas dadanya. Duduk dengan santai di atas ranjang sambil memainkan ponsel yang sudah sejak beberapa jam yang lalu berdering, namun diabaikannya. Pukul tiga dini hari, dia baru terbangun dari tidurnya yang kurang lebih hanya satu jam itu.

Membalas satu persatu pesan yang masuk, terutama dari teman-temannya yang mencarinya karena menghilang begitu saja. Safira jelas mengkhawatirkannya. Tari hanya bisa beralasan kalau dia mendadak tidak enak badan, jadi pulang lebih dulu.

Sebuah tangan membelai punggung telanjangnya, membangunkan bulu-bulu halus disekujur tubuhnya. Dia menoleh, menatap seorang lelaki yang masih terbaring memejamkan mata disampingnya.

"Masih malam,...." Gumam lelaki itu setengah mengantuk.

"Ini sudah pagi, aku harus segera kembali." Tari bangkit, mengambil semua pakaiannya yang berserakkan di lantai, kemudian mengenakannya kembali. Sebuah gumaman kecil kembali terdengar. Lelaki ini jelas sekali masih mengantuk.

Berjalan menuju kaca besar dihadapannya, dia merapihkan rambutnya yang berantakkan dengan jari, menghapus sisa-sisa riasan yang berantakan, terutama lipstik nya yang sudah tidak berbentuk efek ciuman mereka tadi.

Dari kaca dia bisa memperhatikan teman kencan satu malamnya yang mulai sadar. Lelaki itu setengah duduk dengan mata yang masih sayu, tapi sudah cukup terbuka untuk melihat Tari yang sudah rapih seperti keadaan semula.

Bolehkah Tari jujur kalau lelaki ini begitu tampan? Rambutnya hitam dengan rahang tegas yang begitu menggoda. Alisnya tebal, hidung yang mancung, dan bibir yang luar biasa menggoda iman, belum lagi kemahirannya memuaskan wanita diatas ranjang.

"Mau pergi? Secepat ini?" Tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

Tari berbalik menghadap lelaki itu, berjalan menghampirinya, kemudian mengecup singkat bibir yang mampu membuainya beberapa jam lalu. Buru-buru dia jauhkan wajahnya sebelum hal yang lain terjadi. Ini sudah hampir pagi dan dia tidak punya waktu untuk bermain lagi.

"Aku harus pulang, tidak bisa lama-lama disini. Ada yang menungguku." Senyum Tari mengembang. Satu tangan menahannya ketika dia hendak berbalik meninggalkan lelaki itu.

"Siapa namamu? Kapan kita bertemu lagi? Dan bagaimana aku bisa menghubungimu?"

"Kamu tidak perlu tahu namaku karena kita tidak akan bertemu lagi dan tidak akan berhubungan lagi. Hanya semalam, tidak lebih. Hanya malam ini, tidak ada malam-malam berikutnya, dan tidak ada pertemuan-pertemuan berikutnya." Tari melepaskan genggaman di tangannya, meraih tasnya kemudian berjalan ke arah pintu.

"Lihat saja, aku pasti bisa menemukanmu lagi,..." Kata lelaki itu dengan yakin.

Tari tersenyum kecil, kemudian keluar begitu saja meninggalkan lelaki yang dia tahu pasti masih mengamati kepergiannya. Malam ini dia melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan, menyerahkan tubuhnya dengan sukarela pada lelaki yang dia tidak kenal sama sekali.

Semalam dia memang mabuk, tapi cukup sadar untuk menolak ajakkan menggoda lelaki itu. Apa nyatanya, dia malah terbuai dengan lelaki yang menggodanya dengan kata-kata manis dan romantis. Wanita dewasa sepertinya ternyata masih mempan dirayu dengan hal-hal seperti itu.

Tari bergegas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hampir pukul setengah empat pagi, harusnya tidak lama untuk bisa sampai di rumahnya mengingat jalanan sesepi ini. Dia butuh istirahat sebelum besok dia harus setor muka di pernikahan Safira, sahabatnya.

Tawanya pecah sendiri mengingat akan seheboh apa Safira nanti. Malam tadi Tari memang menghadiri pesta lajang Safira. Wanita itu akan mengakhiri masa lajangnya besok, ah nanti pagi tepatnya, dan sialnya Safira menyadari kalau Tari menghilang ditengah-tengah acara pesta.

Entah apa yang akan terjadi besok, dia hanya berharap tidak ada yang melihatnya sedang berciuman dengan seorang lelaki, lebih-lebih melihatnya memasuki kamar hotel. Satu lagi harapannya adalah tidak bertemu dengan lelaki itu lagi. Semoga saja.

***

Lima belas menit dia sudah sampai di rumah. Dirumahnya sedang tidak ada siapa-siapa, jadi terpaksa Tari membuka gerbangnya sendiri. Asisten rumah tangganya, Yuli, sedang pulang kampung dan baru akan kembali minggu depan lagi. Jadilah dia harus mengurus semua keperluan rumah sendiri.

Rumah Tari tidak besar, hanya ada tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Ukurannya pun hanya tujuh puluh dua meter dengan garasi yang hanya mampu menampung satu mobil. Bukan rumah mewah karena dia juga bukan anak orang kaya.

Berjalan ke kamarnya, dia langsung berbaring ditengah-tengah tempat tidur. Tubuhnya lelah. Bercinta itu juga melelahkan, dan sekarang efeknya baru dia rasakan. Semua badannya pegal-pegal, rasanya seperti lembur tujuh hari tujuh malam tidak pulang-pulang.

Tari merinding sendiri ketika membayangkan aktivitasnya beberapa jam lalu. Berbagi kehangatan dengan orang tidak dikenal, sungguh dia benar-benar jadi seorang pelacur sekarang. Apa yang akan kedua orangtuanya katakan kalau sampai tahu? Habis dicaci maki pastinya.

Puas berandai-andai, Tari bangkit. Niat hati dia memang ingin tidur melanjutkan istirahatnya, tapi apa daya matanya sudah tidak mengantuk. Dia berjalan ke meja kerja yang tidak jauh dari tempat tidurnya.

Mengambil beberapa map yang berisi kasus-kasus yang sedang dikerjakannya. Kebiasaan Mentari ketika dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan lagi, yaitu tenggelam dalam pekerjaan. Padahal besok dia harus bersiap menghadiri acara pernikahan Safira.

Safira sahabatnya sejak mereka masih di bangku kuliah dulu. Akhirnya sahabatnya itu benar-benar menikahi kekasih pujaan hatinya setelah dua belas tahun pacaran beserta edisi putus nyambungnya.

Sampai sekarang Tari masih tidak percaya kalau Safira benar-benar menikahi Gemal, lelaki dengan selera humor yang payah, jarang bicara, jarang tersenyum, jarang berkomentar, bahkan jarang-jarang yang lainnya. Tapi ya kembali lagi, kita tidak pernah tahu kemana cinta akan berlabuh. Mungkin bagi Safira, Gemal adalah segalanya.

Tari kembali serius membaca berkas-berkasnya. Dia tidak berbohong ketika mengatakan kalau ada yang sedang menunggunya di rumah, apalagi kalau bukan pekerjaannya. Katakanlah Tari seorang workaholic. Profesinya sebagai seorang Pengacara tidak dia dapatkan dengan mudah. Butuh air mata dan perjuangan yang tidak terhitung lagi banyaknya sampai impiannya bisa menjadi nyata.

Tentu saja Tari tidak akan menyia-nyiakan setiap kesempatan yang dia miliki. Cukup satu kali dia hampir merusak masa depannya, dia tidak akan mengambil langkah yang sama lagi. Hidupnya terlalu berharga untuk disia-siakan. Terlebih lagi disia-siakan oleh orang lain.

Matahari hampir terbit ketika ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk mengusik Tari. Dia meraih ponselnya yang ada diatas meja kerja, membuka pesan yang ternyata siapa lagi kalau bukan dari sahabatnya.

From : Safira

Gila lo ya Tar, gue kaya orang gila semalaman cari-cari lo kemana. Gue kira diculik orang lo. Kan jadi takut gue, lo nggak pernah ke tempat begituan, mana minumnya banyak juga lagi semalem. Awas kalau telat ke nikahan gue ya! Gue coret dari daftar sahabat selamanya pokoknya!

Tari tersenyum sendiri dengan pesan yang diberikan Safira. Mana mungkin dia absen ke acara penting sekali seumur hidup sahabatnya itu. Segila-gilanya dia, dia masih waras juga untuk membedakan mana yang penting dan harus dilakukan, dan mana yang bukan.

Safira itu lebih dari sekedar sahabat. Safira itu ibarat saudara perempuan yang tidak pernah dia miliki. Tempat sampah yang selalu siap menampung keluh kesah Tari, selalu ada untuk Tari disaat dia sedang membutuhkan, bahkan di titik terendah seorang Mentari, Safira ada disana menemani. Jadi kalau hari ini adalah hari bahagia Safira, tidak mungkin Tari tidak ada disana.

Tari beranjak dari tempatnya. Apalagi yang harus dia kerjakan pagi-pagi buta begini selain bersiap ke pernikahan Safira? Dia jamin hari ini pasti akan jadi hari yang sangat melelahkan sampai malam nanti.

***

Mentari Dipersimpangan Hati (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang