GhaiSyah - 36

523 50 9
                                    

Di usia yang terbilang muda—sepantaran Bang Veiro—Mas Faddyl sudah mengemban tugas perusahaan sebesar Papa. Kalau dibandingkan, entah Bang Veiro yang emang pemalas plus tidak berguna sebagai anak sekaligus kakak, atau pria berstatus suamiku ini yang kelewat rajin sampai bisa mendapatkan tugas seberat ini, dan anehnya, Mas Faddyl masih waras. Walau sedikit otaknya geser.

Disebabkan kesibukannya juga, Mas Faddyl memintaku sore ini datang ke rumah Mama Lia, membawa sebuah rantang stainless steel tiga tingkat. Pastinya, bukan mengemis makan malam. Seperti yang Mas Faddyl sampaikan kemarin, aku harus belajar memasak dari mama mertua. Nantinya, aku yang harus membawa makanan untuk Mas Faddyl, karena mungkin ia tidak akan bisa keluar dari kamarnya semalaman ini.

Padahal, ya, ternyata tugas kantornya itu berupa observasi kerja sama dengan perusahaan lain, yang bisa dikatakan, deadline-nya tiga bulan lagi. Namun, dasarnya Mas Faddyl yang kelewat mencintai akhir pekan—enggan waktu istirahatnya berkurang hanya demi pekerjaan yang tertinggal—jadilah ia mengerjakan semua pekerjaan lebih cepat dari seharusnya.

Entah aku harus memuji dia kelewat rajin, atau merutuk terlalu bloon; mau-maunya stres di usia muda hanya karena pekerjaan. Pantas, aku akui, dia kesulitan mengobservasi banyak perempuan di luar sana, dan berakhir dengan perjodohan seperti sekarang ini.

Menunggangi B’Twin Riverside 100 Matt hadiah dari Mas Faddyl ini, aku mulai keluar dari pekarangan rumah. Sebelum lanjut berbelok ke jalanan, rantang di bagian keranjang depan aku perbaiki sebentar.

Saatnya meluncur.

Cuaca saat menjelang matahari terbenam seperti sekarang ini, benar-benar nyaman. Sedikit ada rasa syukur dalam hati, karena Mas Faddyl membelikan sepeda. Aku jadi bisa menikmati pemandangan sekitar dengan santai, tetapi tetap mempermudah bepergian ke mana-mana.

Sesampainya di rumah Mama Lia, aku turun dari sepeda. Sedikit celingak-celinguk memerhatikan sekitar, memastikan bahwa Tiana tidak ada di sini sekarang, atau kehadirannya akan menjatuhkan mood-ku hingga dasar.

Aman! Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tiana sekarang, seharusnya.

Sebab pernah tinggal di sini, dan sudah kuanggap sebagai rumah sendiri, aku langsung saja masuk ke dalam. Sembari mengucap salam tentunya. Aku menunggu respons, tetapi tidak ada jawaban. Jadilah, aku menyusuri rumah Mama Lia tanpa ada yang menuntun, hingga kakiku kini berpijak di lantai dapur.

Memang, ya. Anak sama mama—sama saja. Kalau fokus dengan sesuatu, pasti sekitarnya tidak diperhatikan. Salamku bahkan tidak dijawab Mama Lia tadi, saking sibuknya beliau di dapur.

"Assalamualaikum, Ma." Sekali lagi, aku menyapa. Membuat perempuan itu sedikit tersentak. "Maaf, Ma. Habisnya tadi, aku ngucap salam, nggak ada yang jawab." Aku meraih tangan Mama Lia untuk menyaliminya. Walaupun menyebalkan, tetap saja, faktanya bahwa Mama Lia adalah mama mertuaku. Harus hormat, walau di dalam hati sibuk memaki.

"Kenapa datang ke sini?" Pertanyaan Mama Lia terdengar begitu sinis. Untung aku tahan. Matanya melirik ke arah barang yang aku bawa, dan segera mengarahkan tatap merendahkannya padaku. "Kalau kamu mau minta makan buat suamimu di sini, jangan harap, ya, Chia." Mama Lia mendumel, kemudian berbalik membelakangiku karena sibuk mengaduk tumisan di wajan.

"Nggak, kok, Ma. Aku tipe manusia anti-mengemis." Untuk mengurangi canggung, aku mengeluarkan sedikit kekehan, sembari mendekat pada Mama Lia. "Aku nggak ngemis di sini, Ma. Cuman ... mau memohon supaya Mama mau ajarin aku masak. Boleh, Ma?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GhaisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang