GhaiSyah - 04

304 70 0
                                    

Pria itu mengobrol banyak dengan kedua orang tuaku, sampai aku tidak bisa bertanya lagi. Aku bangkit dari kursi lalu berpamitan ke kamar, Mama memelototiku, tetapi aku sama sekali tidak memperdulikannya.

Aku merebahkan diriku di ranjang, walau masih pagi tetapi rasanya aku ingin tidur lagi.

Aku teringat sesuatu, ku cari ponselku ke mana-mana tidak juga ketemu. Rasanya aku frustasi sekali, tentu aku tidak rela jika barang kesayanganku itu sampai hilang. Bisa saja aku membeli ponsel baru, tetapi aku tidak akan melakukannya. Aku tetap menginginkan ponsel itu karena ada banyak hal penting di dalamnya, termasuk foto-foto selfiku.

Saking frustasinya, semua barang yang ada di kamarku dengan sengaja aku buat berantakan. Agar lebih leluasa lagi mencari ponselnya. Aku memang harus segera menemukkan ponselku itu.

Suara ketukan pintu mengejutkanku.

"Chia ini Abang, boleh Abang masuk." Aku menghela nafas, aku kira siapa yang mengetuk pintu. Bahkan aku takut, jika pria itu yang mengetuk pintu kamarku.

"Masuk aja, engga Chia kunci kok." Sesuai dengan jawabanku, Bang Veiro masuk kamarku.

Bang Veiro terkejut melihat kamarku yang terlihat berantakan sekali, aku harus siap diceramahi oleh Abangku itu. "Kamu lagi apa? Abis konser atau gimana? Kok kamar kamu jadi berantakan banget, kayak kapal pecah gini."

"Kalau mau ngajak ribut, mending Bang Veiro keluar deh dari kamar Chia. Chia lagi sibuk tau cari ponsel Chia yang enggak tahu di mana, makanya aku berantakkin semua." Bang Veiro tiba-tiba tertawa, aku bingung dibuatnya. Hingga membuatku bertanya-tanya, emang ada apa sampai Bang Veiro tertawa? Harusnya kan kasihan gitu tahu ponsel adiknya hilang, atau kalau bisa bantu cari kek ini malah tertawa gitu.

"Nih, ponsel kamu kan." Bang Veiro memberikan ponsel milikku, karena saking senangnya ponselku bisa ketemu. Aku langsung memeluk Bang Veiro dengan mengucapkan terima kasih.

Namun, aku malah teringat sesuatu. "Bang Veiro sengaja kan ngumpetin ponsel Chia biar Chia kelabakan carinya. Terus tiba-tiba Abang kasihin ponselnya ke Chia, biar Chia berterima kasih dan mau teraktir Abang."

Bukan menjawab Bang Veiro malah mencubit pipiku, hingga membuatku semakin kesal.

"Fitnah banget kamu itu Dek, siapa juga yang umpetin ponsel kamu. Kurang kerjaan tau enggak, ini ponsel kamu tadi di titipin sama Faddyl ke Abang. Yaudah, Abang ke kamar kamu buat kasihin ponselnya." Mendengar penyejalasan Bang Veiro, aku jadi merasa bersalah karena sudah menuduhnya tanpa bukti pula.

"Maafin Chia ya, Bang." Bang Veiro mengangguk, aku tau Abangku itu memang terbaik sekali. Jadi pasti dengan mudah bisa memaafkanku.

Tunggu-tunggu? Faddyl? Kenapa ponselku ada padanya? Ah, iya aku baru ingat Faddyl kan pria yang membantuku.

***

Hari yang membosankan bagiku telah tiba, hari ini ada pertemuan antara keluargaku dan keluarga pria itu. Entah siapa namanya, aku lupa. Bahkan untuk acara itu Mama sampai menyewakanku MUA, agar aku bisa terlihat cantik di depan keluarganya. Sungguh aku sangat jengah sekali, ingin kabur tetapi Mama terlalu pintar hingga aku sama sekali tidak bisa kabur hari ini.

"Sudah selesai Mbak," kata Mbak Nita selaku MUA yang mendandaniku.

Aku langsung melihat wajahku di cermin, tak ku sangka hasilnya sebagus ini. Bahkan aku terlihat begitu cantik.

"Ahh, makasih banget Mbak Nita. Udah sulap aku jadi secantik ini, Mama enggak salah deh pilih MUAnya Mbak Nita." Mbak Nita tersenyum tulus mendengar pujian dariku. "Kamu bisa aja Chia, dasarnya kan kamu sudah cantik jadi didandanin kayak gimana pun masih tetap cantik. Apalagi kan kata Tante Virna yang kamu temui nanti calon suami sama calon mertua kamu, pasti kamu senang dan enggak sabar kan? Makanya aura kebahagian begitu terpancar, membuat kamu jadi cantik sekali."

Mendengar ucapan Mbak Nita aku jadi tertawa dalan hati, senang dan enggak sabar gimana? Padahal aslinya aku tidak senang sekali, bahkan ingin kabur.

Pintu terbuka, Mama muncul dengan senyuman yang tidak ku sukai. "Tamunya sebentar lagi datang, Chia sudah siapkan?"

"Sudah, Tan," jawab Mbak Nita yang sedang sibuk membereskan peralatan make upnya yang habis dipakai untuk mendandaniku. Mama menghampirku, terlihat dari ekpresinya aku tahu beliau terkejut melihat perubahanku

"Yaampun anak Mama cantik sekali," pujinya.

"Terima kasih, Mamaku. Anakmu ini memang sudah cantik sejak lahir, apakah Mama baru menyadarinya?" balasku santai.

"Mungkin! Ya wajar sih kamu cantik, kamu kan anak Mama. Jadi kecantikkan kamu ya turunan dari Mama dong." Aku memutar bola mataku jengah mendengar ucapan Mama yang sangat PD itu, tidak ingin berlama-lama mengobrol Mama langsung menggandengku keluar dari kamar.

Ternyata tamu sudah datang, dengan inisiatif aku menyalami mereka biar bagaimana pun orang tua pria yang bernama Faddyl itu lebih tua dariku, jelas aku harus tetap menghormati mereka.

Aku lalu di suruh duduk di samping Faddyl, dengan malas aku menuruti keinginan Mamaku.

"Perkenalkan Mbak Lia, Mas Hikam ini putri saya Chia yang akan menjadi calon istri Faddyl," ujar Mama memperkenalkan diriku pada orang tua Faddyl.

"Faddyl bukannya itu perempuan mabuk yang kamu bawa pulang?" tanya Tante Lia berbisik pada Faddyl,  walau berbisik aku bisa mendengarkan karena telingaku sangat tajam sekali.

"Iya, Ma," jawabnya.

"Apa enggak salah Papa kamu jodohin kamu sama perempuan seperti itu. Berhijab sih, tapi kok mabuk?  Seperti bukan perempuan baik-baik," bisik Tante Lia lagi.

Aku menatap Tante Lia tidak suka, bisa-bisanya beliau mengatakan aku bukan perempuan baik-baik padahal belum mengenal aku sama sekali. Aku tidak habis fikir dengan pemikiran beliau.

"Sudah, Ma. Enggak enak kalau ucapan Mama tadi sampai kedengaran orang tua Chia atau Chianya sendiri, takut mereka sakit hati."

Namun, saat aku fikir-fikir ya beliau tidak sepenuhnya bersalah. Siapa yang tidak berfikir aku perempuan baik, padahal beliau habis melihat aku mabuk. Tapi tetap saja aku tidak suka dengan ucapannya.

***

Ghaisyahحيث تعيش القصص. اكتشف الآن