GhaiSyah - 34

239 48 10
                                    

Mas Faddyl mengatakan bahwa olahraga sudah menjadi kegiatan wajibnya setiap akhir pekan. Pria itu pagi-pagi sudah siap dengan kaus biru pudarnya, serta celana training selutut ketika ia mengenakan sepatu. Aku sendiri, daripada lelah-lelah keluar sana, mending turu.

Maklum saja. Aku ini anak kuliahan, memeras otak dan lembur bagaikan kuda demi persiapan lulus dengan nilai akademik yang terbaik. Jadi, akhir pekan harus dihabiskan dengan self-healing, yaitu rebahan. Sembari menonton gosip artis terbaru ... uh! Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang aku dustakan!

Namun, aku baru saja mendengarkan presenter di televisi menyebutkan gosip terbaru, saat telingaku malah lebih tajam mendengar suara obrolan Mas Faddyl di teras sana. Keningku sampai berkerut dalam demi bisa membaca isi obrolannya.

Seolah ada api yang membumbung dari telingaku, ketika mengetahui bahwa ia baru saja mengobrol dengan Tiana—yang kutebak melalui sambungan telepon. Maka, aku segera bangun, ingin mencegah Mas Faddyl keluar. Sayangnya, ia sudah pergi saat aku membuka pintu rumah. Tidak etis juga jika bidadari gemulai harus berteriak sampai didengarkan oleh tetangga sekompleks.

Jadilah, aku memilih alternatif lain.

Demi Mas Faddyl ini! Demi pria itu! Aku meninggalkan kebiasaan rutinku setiap akhir pekan dengan mematikan televisi, dan malah mengganti rok menjadi celana olahraga panjang. Aku juga menggunakan jilbab instan seperut, barulah menyusul Mas Faddyl usai mengunci rumah tentunya.

Mas Faddyl ternyata sudah cukup jauh berlari. Entah dia sedang berlatih marathon, atau terlalu semangat ingin bertemu dengan mantan sahabat kecilnya.

Benar saja, ketika aku sudah menyusul, Mas Faddyl sudah sangat dekat dengan Tiana. Aku mempercepat lari, meski harus mencengkeram kuat perut bagian kiri yang mendadak keram akibat jarang olahraga. Setelah sampai, aku memeluk lengan Mas Faddyl, lalu mengarahkannya untuk terus berlari tanpa memedulikan Tiana.

"Mas kok cepet banget larinya? Aku susah ngejar, tau!" ucapku dengan nada paling manja yang pernah aku keluarkan—terdengar menjijikkan, tetapi seharusnya sudah bisa membuat Tiana bergidik dan sadar diri.

"Kamu katanya malas olahraga? Tadi saya sudah ajakin, loh," sanggah Mas Faddyl.

"Awalnya aja yang malas. Tapi, aku juga nggak bisa biarin lemak di perut semakin berkembang biak, jadilah ... aku harus mengikuti pola hidup sehat kayak Mas Faddyl." Aku tersenyum canggung, karena sungguhan sulit menahan sakit di perut.

Ingin berhenti, tetapi kami masih belum terlalu jauh dari Tiana. Bahkan, ketika aku melirik sebentar ke belakang, dia malah berlari mengikuti.

Demi Allah ... ini sungguhan sakit. Sampai aku harus menggigit bibir bawah dengan kuat demi menyembunyikan sakitnya. Terus menambahkan remasan di perut bagian kiri, yang sama sekali tidak membantu. Malah menambahkan sakit yang lain karena terlalu kuat mencengkeram.

Hingga, Mas Faddyl serta-merta menarikku setengah paksa berbelok di pertigaan. Aku masih bingung, tetapi tetap mengikuti langkahnya. Sampai, kami tiba di sebuah toko kecil yang di depannya ada tempat duduk berupa kayu panjang tanpa sandaran. Mas Faddyl mendudukkanku, kemudian pergi untuk membeli air putih.

"Kenapa dipaksa?" tanya Mas Faddyl ketika berlutut di depanku sembari menyodorkan air putih. "Kamu bahkan nggak pemanasan tadi," ucapnya yang malah membuatku kesulitan menyembunyikan senyum usai meneguk air mineral dingin ini.

"Mas ... perhatian amat, ih! Segitunya cinta sama aku," ucapku mengejek, sembari telunjuk kanan kurang ajar ini mengarah ke hidungnya.

Mas Faddyl segera menepis tanganku, disusul decaknya yang menandakan kurang suka.

GhaisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang