GhaiSyah - 35

251 43 4
                                    

Ayam goreng tepung sudah tersedia di meja makan, aku menatapnya puas. Sungguh perjuangan sekali, saat membuatnya. Walau ada beberapa potong yang gosong. Namun, masih bisalah dimakan.

Aku meninggalkannya dulu, karena harus mandi dan ganti baju. Bajuku penuh dengan tepung, penampilanku juga sangat kacau.

Setelah aku sudah mandi dan ganti baju, kuputuskan memanggil Mas Faddyl di kamarnya. Karena aku ingin makan bareng, toh Mas Faddyl ada di rumah mengapa aku harus makan sendirian.

Kuketuk perlahan pintunya, tetapi aku malah dikejutkan dengan Mas Faddyl yang tiba-tiba membuka pintu.

"Kamu ngapain di pintu gitu? Mau ngintip saya ya?" tuduhnya. Aku melolot mendengar tuduhan Mas Faddyl yang seenaknya, mana mungkin juga aku ngintipin Mas Faddyl. Kayak kurang kerjaan aja.

"Asal nuduh, mana mungkin aku mau ngintipin Mas," selorohku tidak terima.

"Kalau iya juga enggak papa loh, bahkan kamu kalau mau lihat tubuh saya enggak usah ngintip langsung masuk kamar saya aja. Saya enggak masalah, bahkan kalau kamu mau lebih juga." Mas Faddyl semakin ngawur saja, ingin sekali ku lempar sendal agak otaknya enggak ngawur lagi.

"Mesum! Orang aku ke kamar Mas itu dengan niat baik, yaitu mau manggil Mas buat makan bareng soalnya masakkan saya sudah selesai," kataku.

"Yakin itu aja?"

"Iya. Ayo ah ke ruang makan udah laper tau aku." Aku menarik tangannya agar segera ke ruang makan, karena kalau tidak begitu Mas Faddyl pasti terus-terusan mengajakku berdebat.

Mas Faddyl dan aku baru saja meja makan, kami langsung duduk berhadapan. Kubuka perlahan tudung saji yang menutupi ayam goreng tepungnya.

Suara gelak tawa terdengar, siapa lagi yang ternyata kalau bukan Mas Faddyl. Aku tau ia menertawakan apa, apalagi kalau bukan ayam goreng tepung yang gosong.

"Kok bisa gosong gitu, Chia? Kamu gorengnya ditinggal kemana emang?" tanyanya meledek.

"Enggak ada yang ninggalin tau, tadi itu pas aku mau ambil karena udah mateng. Aku agak takut dan ragu, takut minyaknya nyiprat. Sampai pas mau ambil harus matiin kompor dulu, tapi kok bisa gosongnga aku nggak paham." Dengan polos aku menceritakan semua yang terjadi tadi, tanpa ada yang disembunyikan.

"Chia, Chia!" panggilnya lalu tertawa. "Harusnya enggak perlu gitu, lakuin semua dengan pelan dan hati-hati. Usahakan jangan terlalu lama juga gorengnya biar enggak sampai gosong.

Aku hanya menunduk merasa bersalah, tetapi mau bagaimana lagi kan masih belajar juga dalam hal memasak. Wajarkan ada salah.

Mas Faddyl mengambil sepotong ayam lalu memasukkan ayamnya perlahan ke mulutnya, sungguh rasanya sangat deg-degkan. Penasaran sekali bahagia hasilnya menurut Mas Faddyl.

"Gimana? Enggak enak ya?" tanyaku takut.

"Enak kok, cuma kurang asin sedikit lagi aja." Aku tersenyum mendengar komentar positif dari Mas Faddyl, karena masakkanku tidak seratus persen gagal.

Kami berdua memakan dengan sangat lahap, tidak perlu waktu lama semua sudah habis di makan.

"Mas," panggilku sok manja ketika sudah selesai makan.

"Kenapa? Feeling saya rasanya enggak enak."

"Aku mau ikut les masak deh, boleh enggak." Selain ingin bisa masak enak, aku juga ingin menyaingi teman kecil Mas Faddyl. Agar semuanya tidak terus-menerus memuja masakkannya. Akan kubuktikan bisa lebih hebat dari wanita itu.

"Ngapain les masak segala?"

"Ya, biar belajar masak lebih ahli lagi. Kamu kan juga sibuk kerja, kalau nunggu kamu luang ya lama, Mas."

"Kamu abis kesedak ya?" tanyanya aneh.

"Kenapa nanya gitu, aku enggak kenapa-napa tau," jawabku dengan cemberut.

"Abis aneh, tumben kamu mau belajar masak. Kayaknya niat banget, biasanga ogah-ogahan. Kalau kamu beneran niat mau belajar masak, ngapain pakai les masak sama orang lain. Padahal kamu bisa belajar masak sama Mama saya kan?"

Sebenarnya yang Mas Faddyl bilang sama sekali tidak salah, tetapi memang harus banget aku belajar masak sama Mama Lia. Kadang baik, tapi kan kadang nyeselin. Apalagi sekarang ada seTiana itu, yang ada bukannya diajarin aku malah harus mendengar pujian tentang Tiana terus. Bisa pecah telingaku yang ada.

Aku tidak mengatakannya langsung, memilih mengerutu di dalam hati. Karena ya aku masih menghargai Mas Faddyl sebagai anak Mama Lia.

"Gimana bagus kan ide saya?" Kutatap pria yang tidak lain berstatus suamiku dengan nyalang. "Nanti aku pikirin deh."

"Mas Faddyl kan sekarang giliran beres-beres? Aku kan tadi udah masak, beresin dapur juga capek," keluhku.

"Iya, giliran saya. Tapi nanti saja saya kerjakan setelah kita habis pergi." Aku menatapnya dengan tajam. " Mau pergi ke mana? Kan kita enggak ada rencana mau ke mana-mana."

"Nanti juga kamu tau, siap-siap sana." Aku langsung berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Jujur aku penasaran akan di ajak ke mana, tumben juga Mas Faddyl ngajak aku pergi kan. Apa kami akan jalan-jalan berdua atau gimana."

***

Sampailah kita ke tempat yang Mas Faddyl inginkan, ternyata Mas Faddyl mengajakku ke toko sepeda.

"Katanya mau beli sepeda, makanya saya ajak kamu ke sini. Kamu juga bisa milih sepeda yang sesuai dengan apa yang kamu mau." Aku baru ingat, memang aku meminta Mas Faddyl belikan sepeda waktu itu. Walau ia sudah mengiyakan, tetap saja aku tidak menyangka akan benar-benar dibelikan sepeda.

 Walau ia sudah mengiyakan, tetap saja aku tidak menyangka akan benar-benar dibelikan sepeda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
GhaisyahWhere stories live. Discover now