GhaiSyah - 32

231 58 3
                                    

Aku pikir, hanya di rumah Mama Lia aku akan bertemu perempuan yang katanya teman masa kecil Mas Faddyl itu, tetapi nyatanya?

Pelakor satu ini malah menampakkan diri pagi-pagi. Aku bahkan belum membuat sarapan apa pun, saat Mas Faddyl yang terlalu aktif membukakan pintu. Lalu, aku yang awalnya berada di dapur, mendengar suara perempuan. Setelah menyusul, aku langsung merotasi bola mata karena kesal usai mendapati perempuan pengganggu itu.

Apalagi, dengan centilnya ia berkata pada Faddyl, "Aku bawain makanan kesukaan kamu. Kamu masih suka bubur Manado yang sayurnya banyak, 'kan? Aku buatin, persis kayak kesukaan kamu dulu."

Hidih ... hidih! Cari perhatian lagi si pelakor ini.

Aku tidak bisa tinggal diam, dan segera menghampiri. Sebelum Mas Faddyl sempat membuka suara, aku memegang bahunya, memaksa pria ini untuk menoleh. Sembari menghadapi Tiana, tubuhku juga bersandar pada Mas Faddyl.

"Maaf ya, Tiana. Tapi, Mas Faddyl udah nggak suka makanan itu." Aku melirik sinis ke mangkuknya yang berisi bubur, ditutupi oleh plastik bening sehingga aku bisa melihat jelas isinya. "Pertama, Mas Faddyl sekarang sayang kesehatan. Bubur merah kamu jelas mengundang maag, perih lambung, dan mempercepat datangnya masalah pada usus buntu. Kedua ... Mas Faddyl udah nggak selera makanan dari perempuan lain, kecuali Mama Lia, karena—" Aku melarikan arah pandang ke Mas Faddyl, sembari tersenyum menggoda, lalu mengedipkan sebelah mata. "—Mas Faddyl lebih suka tubuh aku sekarang, daripada masakan kamu." Aku menoleh angkuh pada Tiana, dan langsung merasa puas ketika wajah yang biasanya percaya diri itu, hanya bisa melongo, mengerjap beberapa kali, lalu menatap Mas Faddyl seolah meminta pertolongan.

Namun, aku tidak membiarkan Mas Faddyl mengeluarkan suara apa pun. Ketika mulutnya baru saja membuka, aku menutupnya dengan telapak tangan.

"Sst, Mas!" Tanganku yang lain mengacungkan telunjuk di depan bibirku. "Ayo, lanjut lagi yang di kamar. Kamu katanya masih lapar, 'kan? Ayo, mumpung belum mandi." Aku tidak lagi peduli pada Tiana, segera mendorong dada Mas Faddyl agar mundur, memasuki rumah. Aku enggan menoleh ke luar, hanya mengandalkan sebelah kaki untuk mendorong pintu, dan membantingnya kuat.

"Chia ...." Mas Faddyl menggeram ringan, tampak kesal, tetapi ia juga terlihat kesulitan untuk mengeluarkan marahnya itu. Jadi, Mas Faddyl hanya bisa mendesah berat, sebelum meninggalkanku seorang diri yang terkikik geli.

Masih penasaran dengan respons Tiana, aku langsung mendekat ke jendela. Mengintip sebentar, dan menemukan Tiana menggaruk kepalanya dengan sebelah tangan. Dia pasti terkejut, karena teman masa kecilnya kini sudah berkepemilikan.

Aku menepuk-nepuk tangan seolah mengusir debu, lalu menyusul Mas Faddyl ke dapur. Saatnya masak bersama mas suami.

***

Sore, setelah ashar, aku dan Dianne memutuskan untuk berjalan-jalan ke Gramedia. Niatnya mencari inspirasi untuk tugas kuliah kami, tetapi ... aku malah lari ke kumpulan novel best seller yang empat judul di antaranya diisi oleh penulis idolaku: Agrafa.

Uh, bahkan beberapa perempuan hingga ibu-ibu di sampingku, sibuk mengobrol mengenai buku Agrafa, atau sekadar mempromosikannya pada sahabat atau pacar mereka.

Aku kadang iri—ingin memiliki sahabat yang sama-sama suka novel, apalagi juga ikut mengidolakan Agrafa ini. Namun, Dianne malah menjadi kubu yang selalu mencemooh Agrafa, sementara Elisa lebih suka buku yang mengandung informasi umum— katanya lebih bermanfaat dari novel roman seperti ini.

Hidih.

Padahal, lebih seru baca novel begini. Sudah dapat pelajarannya, dapat bapernya, dan dapat keseruannya.

Aku sungguh tidak sabar bukuku terpajang di antara rak best seller ini, lalu, memamerkan pada semua orang bahwa seorang Veitchiasyfa Ghaisaningsih Alano itu sangat hebat! Calon the next J.K Rowling dari Indonesia!

Namun, aku hanya bisa berandai-andai. Tugas kuliah yang menumpuk di kepala, serta tekanan batin usai menikah—aku nyaris kehilangan kesempatan untuk fokus menulis. Mungkin, aku harus memaksakan diri lagi nantinya.

Setelah berandai-andai, aku memilih beberapa novel Agrafa, karena berhubung malas pulang ke rumah lamaku untuk mengambil novel. Lagipula, aku di sini punya kartu debit Mas Faddyl.

Habiskan saja, 'kan?

Hahaha! Dagingku siap diperkedel Mas Faddyl.

***

Mataku segera memicing tajam ketika menemukan pemandangan menguji kesabaran depan rumah. Sebagai pelampiasan, aku menepuk keras bahu ojek ini, sampai berhenti. Mengabaikan protesnya, aku segera turun, dan memberikan uang secara asal. Protesnya langsung teredam, dan ojek ini langsung pamit semringah.

Aku tidak peduli dengan berapa pun nilai uang yang baru saja kuberikan. Mataku hanya fokus pada pasangan di depan pintu rumah yang juga melirik padaku. Tidak bisa sabar untuk mencapai mereka, maka buku dari paper bag yang aku lemparkan. Seharusnya mengenai Mas Faddyl yang ikut kegatelan menanggapi Tiana, tetapi pria itu malah berjongkok, menyebabkan buku langsung menghantam kening Tiana.

Bodo amat lah! Yang penting salah satu dari mereka kena.

Aku langsung menatap tajam pada Mas Faddyl yang sudah berdiri tegap.

"Ngapain dia di sini? Ngerusak pemandangan banget—ah ... kalian berdua ini pasti selingkuh, ya?" Aku mendengkus, sembari melipat tangan depan dada. "Udah aku duga, kalian emang gitu. Diam-diam main di belakang aku. Nggak papa ... nggak papa. Aku bisa gugat cerai—"

"Aw!" Mas Faddyl memekik usai memasukkan jemarinya di depan gigiku guna mencegah ucapanku terus berlanjut. Aku sama sekali tidak peduli, karena dia yang mencari masalah di sini. Ia segera menarik jemarinya, sembari mengibas-ngibaskan tangan demi mengusir sakit. "Durhaka kamu, Chia!" seru Mas Faddyl yang sama sekali tidak aku tanggapi.

"Pokoknya, nggak mau tau. Hitungan ke lima ... Tiana harus sudah pergi dari sini, atau aku yang minggat!" Lalu aku mengangkat tangan kanan yang terkepal hingga sejajar dengan kepala. Sembari menyebut angka, aku juga mengangkat jemari satu-persatu. "Satu ... dua ... tiga ...."

Tiana langsung membungkuk sedikit, dan pamit pergi. Tampak Mas Faddyl diliputi rasa bersalah, dan itu sama sekali tidak akan mengurangi tatap tajamku yang mengarah padanya.

"Ayo masuk!" ajak Mas Faddyl, sembari menggenggam tanganku. Ia menunduk sebentar, meraih buku yang aku lempar tadi, dan berhenti sejenak demi membaca judulnya. "Kamu suka baca novel roman picisan menggelikan seperti ini?"

"Hidih, suka-suka aku! Mas juga kenapa Mas suka banget tanggepin semua sikap genitnya Tiana? Hidih hidih ... sadar, ya, Mas! Kamu itu udah jadi milik aku! Nggak boleh deket-deketan sama perempuan lain!"

"Mana buktinya kalau saya milik kamu?"

Eh, apa maksudnya?

Aku langsung menunjukkan cincin pernikahan kami.

"Itu cuman pengikat, Chia. Yang sebenarnya adalah ...." Dia memicingkan mata, lalu mendekatkan wajah padaku. "Kita belum jadi suami-istri sepenuhnya ... karena belum melakukan ritual malam pertama."

Hidih hidih.

Aku mengambil buku dari tangan Mas Faddyl secara kasar, kemudian mencibir. "Mesum!"

 "Mesum!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
GhaisyahWhere stories live. Discover now