GhaiSyah - 16

236 49 3
                                    

Siapa yang menyangka, bahwa keadaan di rumah Mama nyaris serupa dengan rumah Faddyl. Padahal, kemarin Mama masih membelaku dari Tante Lia, sekarang, beliau juga turut mendesakku untuk terus menempel pada Faddyl.

Iya ... memang, Mama selalu memaksaku mendekati Faddyl, hanya saja ... tidak seekstrim semalam, ketika Mama menjewer telingaku begitu saja tanpa perasaan. Memaksaku untuk menghabiskan beberapa jam waktu hanya dengan meringkuk dengan membelakangi sumber segala masalah saat ini: Faddyl.

Demi apa pun ... aku bahkan tidak mengenali rasa keluarga di rumahku sendiri.

Pagi-pagi sekali, setelah sholat subuh, ketika Faddyl sibuk berlari di pekarangan, berniat untuk sarapan sebelum kembali ke rumah orang tuanya-aku juga bersiap secepat mungkin. Memanfaatkan waktu ketika Faddyl dan keluargaku yang lain sedang sibuk, aku segera bergegas dengan membawa sebuah tas selempang kecil warna krem milikku. Menuju ojek online yang sudah menunggu di depan gerbang.

Sialnya. Ketika akan berangkat, Faddyl malah sudah muncul. Sedikit kebingungan, ketika melirikku yang langsung memalingkan pandangan walau terlambat.

Huft. Setelah aku sudah berjarak jauh dari rumah, aku bisa bernapas lega. Setidaknya hari ini, aku akan sedikit bebas.

Jenuh. Sungguh, demi apa pun. Setelah berurusan dengan Mama mertua yang kelewat rumit, plus keluarga yang terasa baru, aku merasa muak dengan semua keadaan. Setelah pernikahan, hidupku sungguhan berubah. Bahkan, cara bersikap Mama, Papa, serta Bang Veiro.

Aku ... benci ... pernikahan ini!

***

"Chia! Chia!"

Panggilan di belakang punggung aku abaikan, tetap berjalan dingin meninggalkan kelas hendak menuju kantin. Ketika panggilan itu semakin sering terdengar, aku segera merogok tas demi mengeluarkan earphone dan memasangkannya di ponsel, lalu menempelkan di telinga dua-duanya. Lagu Know Me Too Well, cukup menghibur semua kejenuhan yang aku rasakan sekarang ini.

Entah dari keluarga Faddyl, keluargaku, bahkan sekarang di kampus: Dianne. Aku masih sulit memaafkan perbuatannya di malam itu. Walau ya ... aku memang yang salah karena terlalu bodoh untuk mengikuti semua keinginannya, tetap saja ... Dianne yang lebih berdosa karena sudah membawa gadis lugu nan polos sepertiku ke tempat buruk itu.

"Chia ...."

Ah, suara menyebalkan Dianne masih saja terdengar. Aku mempercepat langkah, hendak pergi. Namun, tiba-tiba saja bahuku terasa ditepuk ringan.

"Lo seriusan marah sama gue, Chi? Astaga, kok seolah-olah cuman gue yang sama salah di sini? Padahal jelas-jelas gue cuman bantu lo sama misi aneh lo itu! Bukannya makasih, malah sok-sok an jadi korban!" gerutu Dianne usai ia berhasil membuatku menoleh padanya.

Aku langsung menghunuskan tatap malasku pada Dianne! Dia seharusnya cukup menceritakan saja apa pun yang aku butuhkan dalam riset, bukan mengajakku langsung! Karena dia ... aku bahkan kehilangan harga diri sebagai muslimah lugu lagi polos nan suci di hadapan Faddyl dan mamanya!

Tanpa mengatakan apa-apa lebih lanjut, aku langsung meninggalkan Dianne. Segera bergabung ke salah satu meja yang diisi oleh mahasiswi populer sekaligus musuh Dianne di kampus. Aku tidak memesan ala pun, hanya berdiam diri sembari menatap ponsel mengecek beberapa notifikasi di layar. Hanya untuk membuat Dianne berhenti mengejarku.

Terkabul!

Ketika Dianne terdengar mengentakkan kaki dengan keras, lalu sepertinya menjauh. Aku baru melirik ke sumber suara entakan kaki tadi, ketika merasa bahwa Dianne sudah pergi-dan memang benar begitu.

Aku melirik takut-takut pada empat perempuan di sekitarku saat ini, yang menatap dengan ekspresi tajam. Aku langsung cengengesan, kemudian mundur secara teratur sembari mendekap tas di dada.

Akhirnya ... selamat. Aku memilih menyendiri di bagian paling sudut ruangan usai memesan segelas jus jambu dan juga semangkuk bakso, agar jauh dari jangkauan mata-mata jahat.

Sembari makan, sambil mengecek media sosial. Ah, aku harus membekap mulut sendiri agar tidak memekik senang. Allah sungguh adil. Usai tersiksa oleh ibu mertua jahat, dan suami dingin, serta keluarga cuek-aku langsung dapat hadiah atas kesabaranku. Ketenaran! Haha!

Lebih dari sekadar ketenaran ... aku juga semakin dekat dengan si idolaku. Uh, sayangnya, karena ia sedikit sibuk di real life, maka rencana kolaborasi kami tertunda sebentar. Setidaknya, masalah pria itu diselesaikan dulu agar bisa fokus dengan kolaborasi kita nanti.

Serius, aku tidak sabar menunggu masa itu. Terus cengengesan membaca komentar serta pesan dari pria tanpa wujud itu. Perasaan bahagia sampai meluap-luap, sehingga aku kewalahan mengendalikan segalanya. Berakhir pasrah dengan menopang wajah menggunakan telapak tangan.

Ting!

Fokusku terganggu ketika notifikasi itu muncul. Rrr ... aku langsung menggeram kesal ketika mengetahui notifikasi itu datang dari pesan Faddyl. Pengganggu! Dasar Faddyl pengganggu.

Aku hanya membaca pesannya dengan malas. Tanpa minat membalas sedikit pun. Seharusnya ... sampai tiba di pesan terakhir yang membuatku langsung mengubah ekspresi.

| Chia. |
| Ada undangan pernikahan dari kolega Papa. Saya dan kamu yang harus datang mewakili Papa. Jadi ... siap-siap setelah sholat magrib nanti. |
| Tidak ada penolakan. Ini perintah, bukan permintaan. |

Keparat!

Astaghfirullah. Sungguh, aku tahu, mengumpat adalah perbuatan dosa, apalagi pada suami sendiri. Namun, jika model pasangan seperti Faddyl saat ini ... aku merasa memang sudah sewajarnya mengumpat!

Manusia kampret!

Dia bahkan tidak mendiskusikan hal ini padaku sebelumnya, langsung memberikan titah: tidik idi pinilikin. Ini pirintih, bikin pirmintiin. Hilih! Kimprit!

Ting!

Aku sebenarnya malas mengecek pesan Faddyl, bahkan berniat melempar ponsel ketika notifikasi itu terdengar lagi. Namun, karena mataku menangkap sesuatu di perpesanan kami, aku jadi membatalkan niat.

Faddyl mengirim sebuah foto gaun, yang sial-eh astagfirullah, cantik sekaleee!

Langsung, aku mengetik balasan.

| Aku ikut, Mas:) |

***

GhaisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang