GhaiSyah - 13

222 55 1
                                    

Malam ini lagi-lagi menegangkan bagiku, aku harus sekamar lagi dengan Faddyl. Benar katanya, ini kamarnya jadi aku tidak mungkin bisa mengusirnya dari kamar. Namun, aku juga tidak sudi satu ranjang lagi dengannya. Cukup satu malam, itu saja sudah membuatku tidak bisa tidur. Jika setiap hari tidak tidur karena ketakutan juga tidak enak juga.

Pintu kamar terbuka, muncullah Faddyl yang hendak masuk kamar.

Aku mengambil bantal dan guling yang ada di sebelahku. Ku lemparkan ke arahnya semua, tidak perduli akan jadi berantakan.

"Kamu kenapa lempar bantal guling ke saya, memang saya salah apa?"tanyanya dengan datar.

"Keluar! Aku enggak mau tidur sama kamu lagi."

"Ini kamar saya, kalau kamu lupa?"

"Bodo amat, aku enggak sudi tidur satu ranjang lagi sama Mas Faddyl."

"Menurut kamu saya sudi gitu? Kalau saya enggak tidur di sini mau tidur di mana? Kamar lain yang ada orang tua saya curiga, bakal tanya-tanya juga."

"Tinggal jujur, aku enggak mau pokoknya tidur sama Mas." Mas Faddyl keluar dari kamar, aku sedikit lega. Sudah agak ngantuk sih, mending aku tidur.

***

Alarm di ponselku berbunyi, aku memang sengaja memasang alarm agar tidak terlambat bangun lagi. Yang bisa membuat Mama mertuaku itu marah-marah, masih ngantuk sih tetapi lebih baik aku bangun. Sudah subuh juga.

Aku bangun dan merentangkan badanku terlebih dahulu, jelas sangat terkejut sekali saat melihat Mas Faddyl tidur di sofa.

Aku beranjak dari ranjang, ternyata Mas Faddyl juga langsung terbangun.

"Kenapa tidur di sofa? Kan kamar lain juga ada?" tanyaku tanpa rasa bersalah.

"Saya semalam kan sudah bilang, orang tua saya nanti curiga lagi pula kita kan pengantin baru. Kalau udah pisah ranjang kan enggak lucu."

"Tapi tadi malam selama aku tidur, Mas Faddyl enggak macam-macam kan sama aku?" Jujur aku agak ketakutan sampai Mas Faddyl malah macam-macam saat aku tertidur semalam.

"Enggak!"

"Serius?" Aku tentu tidak mudah percaya dengan ucapannya, bagaimana jika ia berbohong dan sudah berbuat macam-macam padaku. Kalau benar aku harus melaporkannya pada Mama, Papa atau mumgkin komnas perlindungan perempuan. Ah ya, mana mungkin mereka perduli dengan laporanku. Yang ada mereka akan mentertawakanku karena Mas Faddyl memang punya hak berbuat macam-macam, karena ia adalag suamiku.

"Iya, lagian saya enggak tertarik sama tubuh kamu. Jadi jangan mimpi saya mengambil kesempatan saat kamu tidur, kamu menawarkan diripun saya juga pasti menolaknya." Setelah mengucapkan kata-kata yang cukup menusuk hatiku, Mas Faddyl langsung pergi ke kamar mandi.

***

Aku sekarang sudah di dapur bersama Mama mertuaku, beliau sejak tadi mengerjaiku. Memintaku bolak-balik mengambilkan bahan-bahan yang beliau mau, aku sendiri sama sekali tidak berani menolaknya.

"Sudah cukup, semua bahan sudah di meja. Sekarang kita bisa mulai masak, saya akan mengajarkan kamu memasak yang mudah saja untuk sarapan. Kita akan masak nasi goreng, telur dadar sama ayam goreng. Gampang kan? Itu dulu yang harus kita buat."

Aku hanya mengangguk.

"Kamu sekarang potong tipis-tipis semua bawang merah yang ada di baskom ini," titahnya. Aku melotot melihat baskom besar yang berisi bawang merah begitu banyak, dan harus aku potong semua.

"Ini enggak kebanyakkan Ma? Kan paling butuh sedikit doang buat masak nasi goreng, telur dadar sama ayam goreng?" Aku memang tidak bodoh-bodoh banget dalan hal memasak, tentu agak sedikit tahu seberapa bawang yang cukup untuk memasak tiga masakkan itu. Aku tau karena menonton master chef, hanya tahu sebatas itu sih. Dipikir pakai logika juga bisa.

"Tau apa kamu, sudah nurut kerjakan saja. Nanti habis itu saya akan ajarkan yang lain."

Dengan cemberut aku memotong bawang merahnya, tak lama kemudian mataku terasa sangatlah perih. Air mataku tidak sanggup lagi ku tahan, jadi mengalirlah air mataku tanpa henti.

Aku melihat Papa mertuaku dan si Mas Faddyl rese melewati dapur, aku sengaja menangis dengan kencang agar mereka perduli padaku. Lalu membawaku pergi dari dapur ini.

Sialnya mereka berdua tidak memperdulikan aku yang sedang menangis meraung-raung karena mataku begitu perih.

"Lemah banget gitu aja nangis, sana ulek semua bumbu yang sudah saya siapkan," titahnya lagi. Kalau bukan Mama mertuaku, pasti sudah dibalas ucapannya. Potong bawang merah segitu banyak, siapa juga yang tidak keperihan. Memang di keluarga ini tidak ada yang berperikemanusiaan, jahat semua.

"Kenapa di ulek? Bukannya bisa di blender saja ya biar cepet?"

"Tinggal ikutin saja perintah saya susah sekali kayaknya," balasnya sinis.

Dengan susah payah aku mengulek bumbunya, semua jadi berserakan sekali. Aku tidak bisa mengulek.

"Chiaa gimana sih, kamu itu malah ngancurin dapur saya. Buat bumbunya jadi kebuang kan sekarang. Liat saya, saya akan ajarkan kamu mengulek yang benar." Tante Lia mencontohkan cara mengulek yang benar padaku, kemudian beliau memintaku untuk menirunya. Awal-awal agak susah, tapi akhirnya bisa.

Setelah beberapa jam berkutat di dapur, akhirnya masakkanku sama Tante Lia sudah siap. Baru saja aku hidangkan, kami berempat langsung duduk di kursi masing masing.

Aku mencoba masakkanku dan Tante Lia, ternyata tidak mengecewakan juga. Aku senang akhirnya bisa masak juga.

"Kamu tadi nangis kenapa, Chi?" tanya Papa mertuaku sok baik.

***

GhaisyahOnde as histórias ganham vida. Descobre agora