GhaiSyah - 03

357 70 8
                                    

Rasanya masih seperti melayang-layang di udara ketika ketuk-ketukan keras memaksa kesadaranku untuk kembali. Bahkan, tanpa mendengar si pelaku, atau bahkan membuka mata—aku sudah tahu siapa manusia laknat itu!

"Bang Veiro! Aku mau tidur bentar!" ucapku geram seraya melemparkan bantal ke arah pintu yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa. Karena, aku sendiri tidak yakin bantal tersebut mencapai pintu, karena masih nyaman memejamkan mata.

"Chia ... Chia ... Chia .... Bangun!"

Aish! Bang Veiro kang cari masalah! Dia malah menambah ritme ketukannya, dan tidak berhenti menyebutkan namaku. Sehingga, meski aku terus menutup telinga dengan bantal sekalipun, suara buruknya itu berhasil menembus gendang telinga.

Aku menggeram keras. Tubuh memberontak kuat saat dipaksa bangun dari kenyamanan tempat tidur. Napasku turut berembus kasar, dengan pandangan terhunus ke arah pintu.

Bang Veiro! Awas kamu!

Aku menipiskan bibir dengan penuh ambisi. Kedua tangan terkepal di samping tubuh, dan dengan segera, aku menuju pintu. Menendangnya sekali, lalu membuka daun pintu tersebut. Tampaklah Bang Veiro yang nyengir tanpa ada merasa bersalah.

Aku menatapnya tajam, lalu memutus pandangan ketika merunduk mengambil bantal. Memukuli Bang Veiro sekuat tenaga.

"Kenapa, sih, Abang nggak bisa bikin Chia tenang sekali aja, hah?" bentakku keras.

Namun, bukannya berpengaruh, Bang Veiro malah menipiskan senyum dengan ekspresinya yang berubah serius.

"Udah sholat subuh?" tanya Bang Veiro.

Mataku mengerjap beberapa kali, berpikir keras. "Ini jam berapa?" tanyaku, seraya melirik sekitar. Dari jendela, cahaya terang tampak. Kenapa jadi linglung begini?

"Jam sepuluh."

Mataku langsung membulat, dan kedua kaki langsung lemas sehingga tubuhku merosot tersungkur di lantai.

"Udah Abang duga ...." Bang Veiro bergumam lirih yang aku tatap kesal. "Sana, mandi. Terus siap-siap. Cowok yang antar kamu ke sini semalam, udah datang." Ucapan Bang Veiro ini sulit aku cerna. Namun, ketika ia melanjutkan, aku bisa merasakan nyawaku di ujung tanduk. "Papa bakalan tau kelakuan kamu semalam."

S—semalam?

Aku meneguk ludah secara kasar. Bahkan, ketika Bang Veiro sudah menutup pintu, aku masih di posisi mengesot di lantai.

Tentang kelab semalam ... Papa tahu?

Mampus! Mampus!

Aku menarik rambut dengan keras untuk mengurangi stres, tetapi malah menambah kesakitan sendiri.

Ini bagaimana sekarang? Aku sangat sibuk berpikir, sampai menggigiti ujung kuku.

Omong-omong, masalah laki-laki yang Bang Veiro maksud ... siapa?

M ... yang aku muntah di baju seseorang itu ... cuman mimpi, kan?

Iya, kan?

***

Blouse putih aku padankan dengan rok plisket hitam, dengan pasmina senada. Mode jinak aku aktifkan. Perlahan melangkah malu-malu menuju ruang tengah, di mana sumber obrolan berada.

Namun, pada jarak kurang 10 meter lagi, aku mematung di tempatku berpijak. Suara seseorang yang membahas bisnis dengan Papa itu ... tidak asing. Aku sampai harus mengerutkan kening karena berpikir dengan keras. Ini pernah aku dengar. Suara bariton khas ....

GhaisyahWhere stories live. Discover now