GhaiSyah - 14

226 53 2
                                    

Pada hari pertama belajar memasak kemarin, aku langsung mencap bahwa bawang merah adalah bahan makanan yang paling aku musuhi. Huh, sialnya, Mama mertua malah membuatku kembali berhadapan dengan bawang merah untuk membuat makan malam.

Di tangan sudah ada pisau pemotong, aku tatap tajam, penuh keseriusan.

Tidak masalah, Chia! Tidak masalah! Aku terus meyakinkan diri sendiri. Ini akan menjadi kegiatan memasakku terakhir kali. Setelah kembali masuk kuliah besok, aku tidak akan membuat sarapan karena harus berangkat pagi, dan tidak akan pulang sebelum jam makan malam tiba.

Hohoho, supaya Tante Lia tidak akan memanfaatkan aku lagi. Lagipula, aku makan cuman porsi sedikit, tidak akan membebani jumlah masakannya nanti. Tante Lia seharusnya tidak keberatan jika memasak tanpa dibantu aku.

Tambahan lagi, aku ini masih muda. Dihadapkan dengan perubahan baru yang menguras pikiran dan tenaga bisa memicu stres dini. Mengerikan. Aku masih harus hidup panjang sampai bisa menjadi pebisnis andal kaya raya.

Huhuhu.

Maka, aku menjauhkan kepala dari talenan ketika mulai mengupas bawang merah. Napasku berembus kasar ketika efek perih mulai menusuk mata. Padahal, ini baru bawang pertama. Masih ada tujuh lainnya yang berukuran besar. Terpaksa, aku memalingkan wajah ke arah lain seraya mengerjapkan kelopak untuk mengurangi rasa pedih tadi. Namun, aku malah mendapati Tante Lia yang sedang mencuci sayuran seolah sedang menggigiti pipi dalamnya sehingga tampak kempot. Bibir perempuan tua itu juga berkedut seolah menahan senyum.

Sial emang. Dia malah menertawakanku.

Tidak masalah. Aku menahan diri agar tidak langsung mengajak perang sang mama mertua. Memilih mengatur napas dengan baik, dan secara paksa melanjutkan pekerjaan.

Sialnya, semakin dipaksa, rasa perih semakin bertambah. Aku berusaha menghindari bawang merah dengan menengadah. Jadi, secara asal membuka mulut bawang lalu mengirisnya tipis-tipis. Hingga ....

"Aww!" Aku langsung tersentak kaget ketika rasa perih terasa di ujung jari.

Secara panik, aku menjatuhkan pisau dan bawang demi memperhatikan jari yang sudah mengeluarkan darah akibat salah iris tadi.

Double kill.

Aku mengibas-ibaskan tangan demi mengusir rasa perihnya. Kadang meremas jari agar menghentikan pendarahan yang keluar. Luka yang kurang satu senti ini tidak bisa diabaikan. Bagaimana jika aku mati kehabisan darah nanti?

"Kenapa, Chia?" tanya Tante Lia dengan nada tenang.

"Berdarah, Mama mertua." Aku memasang wajah meringis ketika menunjukkan jari yang terluka. Berharap ia iba, dan langsung menyarankanku untuk berbaring di kamar saja.

"Oh."

Eh, kmvrt. Hanya 'oh'? Aku langsung kehabisan kata-kata karena tanggapan Tante Lia tadi.

"Cuci dulu luka kamu pake air mengalir. Terus obati nanti. Kotak obat ada di ruang keluarga, di lemari sudut, bagian laci." Begitu arahan Tante Lia yang sedikit memberikan perasaan lega.

Aku segera menuruti permintaan Tante Lia. Terus memasang wajah menyedihkan yang dibuat-buat saat mencuci tangan. Sampai setelah memutar tubuh hendak meninggalkan dapur, aku langsung memasang wajah semringah.

Azzek, nggak masak! Hahaha. Benar kata orang bijak, di balik musibah, selalu ada hikmahnya.

Aku nyaris cekikikan, tetapi terhenti saat mendengar panggilan Tante Lia. Segera, ekspresi geli barusan aku ganti menjadi sedih.

"Kenapa, Ma?" tanyaku lembut, menyembunyikan perasaan tidak sabar dalam hati untuk segera ke kamar, dan tidur.

"Setelah obati luka kamu, segera ke sini. Faddyl bentar lagi pulang. Kamu harus tetep bantu Mama selesaiin ini. Abis itu siapin air panas sama pakaian Faddyl nanti."

Aku langsung meringis dalam hati. Ini aku terluka, loh. Terluka. Masa Tante Lia tetep paksa aku kerja dengan keadaan kayak gini?

"Tapi, Mama? Tangan aku luka-"

"Cuman luka segitu, Chia ...." Tante Lia berucap malas. "Belum juga diamputasi itu."

Astaghfirullah. Ini orang tua kok nggak ada perasaan kemanusiaan sedikitpun, ya? Jadi, terpaksa aku harus meninggalkan dapur dengan rasa dongkol.

Menuju ke ruang keluarga untuk mengobati aku seperti yang diarahkan Mama mertua. Namun, setelah membuka kotak obat, aku malah cengo sendiri dengan beberapa alat pengobatan yang tidak apa saja namanya ini. Biasanya, Mama yang selalu mengobati lukaku, sementara aku akan sibuk dengan ponsel agar tidak merasakan perihnya. Sekarang, jadi bingung sendiri.

Saking bingungnya, beberapa menit aku habiskan hanya untuk membaca informasi di kemasan setiap obat. Sebagian besar berupa salep, sehingga aku semakin sulit menemukan apa yang aku perlukan. Bahkan, sampai pada obat terakhir.

"Chia?"

Obat di tangan langsung aku jatuhkan ketika mendengar panggilan itu. Ekspresi langsung berubah malas usai mengetahui bahwa si pemanggil adalah Faddyl.

"Kamu sekali aja bisa bikin tenang, nggak bisa? Bahkan manggil pun bikin kaget." Aku langsung mendumel, mumpung emaknya belum datang. Aku bisa melampiaskan semua kekesalan pada pria berkemeja marun itu. Tampaknya baru pulang bekerja.

"Kamu ngapain?" tanya Faddyl, yang seolah tidak mendengar protesku barusan.

"Tangan aku luka ...." Aku langsung memasang wajah memelas ketika menunjukkan jari yang sudah kering akibat terlalu lama membaca informasi setiap obat-agar ia iba. Namun, Faddyl malah menampilkan wajah masam.

Faddyl ikut bergabung duduk di sofa. Lalu mengambil kotak obat dari tanganku.

"Ini isinya salep semua, Chia. Ini kamu nggak tau juga?" ucap Faddyl disusul decak kesalnya. Ia lalu membuka laci lemari bagian tengah, lalu mengeluarkan kotak putih yang lebih kecil ukurannya.

Aku tersentak kaget saat Faddyl langsung menarik tanganku ke atas pahanya dengan bagian punggung tangan di bawah.

Faddyl begitu serius mengoleskan obat di tanganku dengan hati-hati. Terlihat perhatian beberapa saat, tetapi ketika melihat wajahnya yang cuek-aku batal tersentuh. Laki-laki ini mungkin sudah rusak saraf motoriknya sampai tidak bisa berekspresi selain dingin padaku.

"Sudah." Bahkan, setelah acara pengobatan, ia langsung mendorong tanganku menjauh dari pahanya.

"Tadinya mau bilang makasih. Liat muka kamu lebih bikin enek daripada liat luka sendiri." Aku berdiri usai mengatakan kalimat itu dengan nada jengkel. Berniat ke dapur untuk memenuhi perintah mama mertua.

"Kamu tidak mau ikut saya ke kamar, Chia?" tanya Faddyl ketika aku baru saja melewati ambang pintu.

Bahasanya ambigu banget. Aku merotasi bola mata kesal. Namun, sebelum menjawab, Faddyl melanjutkan ucapannya.

"Siapkan air panas untuk saya mandi," titahnya tegas, disusul kalimat lanjutan dengan nada lebih pelan. "Walaupun saya ragu, kamu mau melayani saya."

"Nah, itu tau." Aku berbalik.

Demi menghindari mama mertua yang kejam, aku langsung mendekat pada Faddyl dan menggaet lengan kanannya.

"Ayo ke kamar, Mas."

***

GhaisyahWhere stories live. Discover now