GhaiSyah - 33

275 58 5
                                    

Kami masih saling mendiamkan ketika aku duduk di ruang tengah dengan kaki berselonjor ke atas meja, dan Mas Faddyl muncul untuk menyalakan televisi. Aku memperhatikan semua kegiatannya itu, melalui lirikan mata. Jika ia ikut memperhatikanku, pandangan segera aku alihkan ke buku di pangkuan.

Awalnya, aku pikir Mas Faddyl akan menonton berita seperti Papa, atau dokumenter seperti Bang Veiro, tetapi ... tahu apa yang dia tonton sekarang ini?

Upin Ipin!

Demi apa? Aku sampai kesulitan menahan gelak ketika mengetahui favorit pria maskulin ini. Kartun? Kartun yang kepalanya lebih besar daripada badannya itu? Pada akhirnya aku gagal mengendalikan diri, tawaku menyembur bebas, sehingga memancing tatap penasaran Mas Faddyl.

"Kenapa kamu?" tanyanya heran.

"Aneh banget kamu, Mas! Udah gede, masih ... aja suka kartun. Kayak aku dong." Dengan sangat bangga, aku menunjukkan sampul novel yang artistik ini. "Hobi baca novel. Udah menghibur, dapat ilmu juga."

"Memang kamu amalkan ilmu dalam buku itu?" tanya Mas Faddyl, seolah menantang.

"Eh ... nggak percaya!" Aku menutup buku secara kasar, kemudian menggeser duduk ke samping Mas Faddyl. "Ini tuh novel paling sedih yang pernah aku baca, Mas. Mengajarkan pembaca untuk menghargai orang yang menyayanginya, sebelum mereka pergi. Huh, sedih banget pokoknya."

"Tapi kamu malah sia-siakan saya, Chia."

"Emang Mas Faddyl mau pergi?"

Pria ini merotasi bola matanya, jenuh. "Jangan tunggu orang pergi, mau hargai, Chia. Mulai hargai orang sekitar kamu, siapa pun itu. Siapa pun! Bahkan, orang yang kamu benci sekali pun. Karena seburuk-buruknya orang, pasti ... pasti ada satu hal baik yang dilakukan ke hidup kita. Jadi, sebelum penyesalan itu datang, hargai mulai sekarang, siapa pun itu yang berkontribusi dalam kehidupan sekarang."

"Hidih, Mas bicara gitu, supaya aku maafin, 'kan? Sayangnya, enggak, Mas. Aku masih marah, ya, kalian ngobrol mesra berduaan di depan rumah tadi."

Mas Faddyl terdengar mengembuskan napasnya secara berat, kemudian menatapku tajam sampai aku harus memundurkan kepala demi menghindarinya.

"Saya juga baru sampai rumah tadi, Chia. Seandainya kamu nggak langsung marah, saya ajak kamu ngecek mesin mobil saya—masih panas, karena saya benar-benar belum bicara apa pun dengan Tiana tadi, pas kamu datang."

"Aku nggak nerima alasan ...." Aku menjawab tidak acuh, kemudian membuka lembaran novel secara asal—karena selalunya aku suka semua bagian dari novel karya Agrafa, dimulai di mana pun bacanya—membuatnya berada tepat di depan wajah. Hal ini aku lakukan demi menghindari tatapan mengintimidasi dari Mas Faddyl. Aku lalu merebahkan tubuh di sandaran sofa, demi menikmati kenyamanan.

Namun, kenyamanan serta persembunyian tadi tidak bisa berlangsung lama. Karena bukuku secara cepat ditarik oleh Mas Faddyl. Aku tidak sempat memprotes, karena ia langsung memberikan alasan perbuatannya.

"Kamu menghalangi cahaya, mata kamu bisa rusak kalau baca buku secara buruk kayak gitu," ucapnya, sembari membuka setiap lembaran buruk tersebut. "Kamu suka baca ini?"

Aku langsung mengangguk antusias. "Mas tau nggak, sih? Agrafa, penulisnya ini, uh ... populer banget, Mas! Pernah, masa, dia self publishing, terus open PO, langsung tembus 7000 eks! Gila banget nih, orang. Terus ... ceritanya kayak selalu pake sihir, bikin semua pembacanya nggak bisa stop baca sebelum ending!"

"Pertama," ucap Mas Faddyl yang membuatku mengerutkan kening bingung. "Saya nggak peduli dengan agra-agra mu itu! Kedua ... kamu percaya sama sistem PO tembus 7000 gituan? Bagaimana kalau ternyata dia sendiri yang beli bukunya supaya terlihat keren, populer? Kayak gitu, juga biasanya sistem marketing."

GhaisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang