GhaiSyah - 30

210 49 2
                                    

Kedua orang tua Mas Faddyl juga hanya diam, tidak menegur perbuatan wanita tidak tahu malu itu. Mengapa aku menyebutnya seperti itu, ya sebutan itu memang sangatlah pantas. Jelas ia wanita tidak tahu malu, berani-beraninya mencium pipi pria yang statusnya adalah suami orang. Apalagi di depan istrinya sendiri. Ingin sekali kujambak rambutnya, tetapi aku menahannya. Tidak enak juga membuat keributan di rumah mertuaku.

Lagi pula aku juga belum tahu siapa wanita itu sebenarnya, bagaimana kalau saudaranya Mas Faddyl. Namun, jika benar tetap tidak etis dong. Apa yang ia lakukan ke Mas Faddyl tadi.

"Ma kapan mulai makannya?" tanyaku lagi.

"Sebentar, Mama mau kenalkan dulu kamu sama Tiana. Chia kenalkan ini Tiana, teman kecil Faddyl. SD sampai SMA mereka bareng terus, baik Faddyl dan kami sekeluarga juga dekat banget sama Tiana. Tiana dan keluarganya juga dekat dengan kami sekeluarga. Rumah Tiana dulu, itu sebelah rumah kami. Tapi sekarang rumah itu sudah dijual, dan ditempati orang lain. Tiana ini baru pulang dari Aussie, setelah lulus SMA Tiana memang pindah ke Aussie," jelas Mama Lia panjang lebar, yang jelas aku sangat malas mendengarkan perjelasan Mama Lia soal Tiana-Tiana itu.

"Tiana Putri Wirawan," katanya sambil mengadahkan tangannya, seolah ingin bersalaman denganku. Sungguh aku malas menyalaminya, tetapi tetap ku lakukan. Walau hanya bersalaman sebentar saja.

"Veitchiasyifa Ghaisaningsih Alano, istri Dari Mas Faddyl Riswansyah sekaligus menantu Mama Lia dan Papa Hikam." Aku sengaja menyebutkan statusku dengan lengkap di depan wanita itu, bahkan namanya saja aku sangat malas menyebutkannya.

"Wah, Faddyl sudah menikah. Kok kamu enggak undang aku," katanya sok manis membuatku muak sekali.

"Maaf, saya lupa."

"Yaampun Dyl, kamu kok kaku banget sih sekarang. Ngomongnya pakai saya segala, biasanya juga aku kamu enggak papa." Aku muak sekali mendengarkan celotehnya, kapan ini makannya. Aku sudab sangat lapar.

"Ah iya, maaf. Ayo kita makan," ajak Mama Lia. Aku akhirnya bisa tersenyum, karena aku bisa makan sekarang setelah sejak tadi menunggu. Mereka makan sambil mengobrol berempat, sedangkan aku tidak memperdulikkan yang penting aku bisa makan dengan lahap.

Tak terasa makanan dibpiringku walau tadi mengambil banyak, kini sudah mau habis. Mau bagaimana aku lapar, ya ngambil banyak yang penting kan habis juga.

"Alhamdulilah." Makanan sudah habis, aku langsung mengambil minuman karena sudah haus juga.

"Istri Faddyl, kamu makan lahap banget. Laper banget ya," ledek wanita itu dengan wajah sinisnya.

"Maaf ya, saya punya nama ya. Kenapa manggil saya harus gitu," kesalku.

"Habis nama kamu panjang dan susah banget, aku bingung mau manggil kamu apa." Wajahnya dibuat sok polos, sok lugu sekali. Kesal sekali aku melihatnya.

"Panggil saya Syifa, walau semua orang di ruangan ini memanggil saya Chia. Tapi kamu hanya boleh memanggil saya Syifa karena kamu bukan siapa-siapa saya."

"Oke, Syifa," katanya sambil menunjukkan jempol.

"Gimana makanannya? Enak, 'kan, Chia?" tanya Mama Lia.

"Enak banget, Ma. Masakkan Mama memang juara," pujiku dengan tulus.

"Sayangnya semua makanan tadi bukan Mama yang masak Chia, tetapi Tiana. Sejak kecil Tiana memang jago sekali masak, jadi tidak perlu heran masakan yang ia buat enggak pernah gagal." Setelah mendengar penjelasan Mama Lia, menyesal aku sudah memuji masakkannya. Aku pun menyesal karena memakan masakkan yang dibuat wanita tidak tahu malu itu, bagaimana kalau ternyata masakkan itu di racunin. Aku harus bagaimana? Apa aku muntahkan saja sekarang juga.

Tenang aku hanya bercanda, tidak mungkin aku berani melakukan itu di depan mertuaku. Aku masih punya sopan santun.

***

Sekarang aku dan Mas Faddyl ada di kamar Mas Faddyl, ya kami di suruh menginap di rumah orang tua Mas Faddyl karena memang sudah malam. Dengan terpaksa aku mengiyakannya, walau sebenarnya malas sekali.

Apalagi setelah aku tau, wanita itu akan tinggal di rumah ini entah sampai kapan. Andai ini rumahku, jelas aku tidak akan mengizinkannya.

Dengan kesal, aku malah menampar pipi Mas Faddyl. Namun, aku tidak merasa bersalah. Mungkin tamparan itu bisa mengapus jejak ciuman wanita tidak tahu malu itu.

"Saya salah apa lagi? Kok kamu malah mampar saya?" katanya dengan wajah sok polosnya.

"Mas nanya apa salahnya, Mas itu sadar enggak sih. Dicium sama wanita lain kok diam aja, harusnya marahin apain kek. Malah kesenengan kayaknya," kesalku tak tertahan.

"Kan yang cium pipi saya itu Tiana, saya juga enggak nyuruh. Kenapa kamu marahnya ke saya sih, Chia? Harusnya yang kamu tampar itu dialah bukan saya, kalau mau marahin ya marahin dia aja," balasnya santai.

"Ya, Mas Faddyllah kan yang punya pipi. Mas Faddyllah yang marahin, gitu tuh Mas Faddyl menikmati soalnya. Padahal kan dosa tau!"

"Iya, saya tau. Saya salah, saya dosa. Saya akan minta ampun ke Allah."

"Iya, bagus tuh. Sekalian kasih tau ke wanita itu juga, jangan diulangi lagi."

"Kamu dari tadi nyebut Tiana wanita lain, wanita itu mulu. Tiana punya nama loh. Kamu aja tadi dipanggil istri Faddyl enggak mau padahal kan kamu memang istriku."

"Bodo amat, biarin aja mau manggil apapun kan mulutku," sewotku tak perduli.

"Kamu lagi cemburu ya sama Tiana?"

"Enggak! Siapa lagi yang cemburu!"

"Enggak! Siapa lagi yang cemburu!"

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.
GhaisyahOù les histoires vivent. Découvrez maintenant