GhaiSyah - 22

222 47 7
                                    

Rencana awal hanya jalan-jalan di Gramedia, belanja beberapa buku yang sekiranya perlu aku baca untuk menambah inspirasi menulis. Namun, kebablasan saat kami berencana 'cuci mata' dengan melihat barang-barang diskonan di mall. Niatnya cuci mata, malah berakhir cuci dompet. Ambyar! Duitku abis. Bahkan, karena Papa tidak mau mengangkat teleponku, dan Bang Veiro terlalu sibuk dengan pacar beningnya itu, aku sampai harus berutang pada Dianne untuk ongkos pulang.

Di depan pintu gerbang rumah Mas Faddyl, aku melirik lesu pada enam paper bag yang kubawa sekarang. Kenapa baru menyesal membeli barang-barang ini? Inginku kembali ke mall, dan mengembalikan semua benda-benda penghipnotis ini!

Namun, tidak bisa. Aku tidak dapat mundur. Nanti tinggal utang sama Papa, yang berakibat bahwa uang jajanku bulan depan harus terpotong.

Aku menggeram rendah! Inginku langsung jadi kaya ....

Keluarga memang berkecukupan, tapi pelitnya nauzubillah banget! Astaga! Sama anak perempuan satu-satunya padahal! Mas Faddyl bahkan triple kali lebih pelitnya!

Sebelum melangkah masuk, aku mengembuskan napas dengan berat, lalu kesulitan membuka pintu. Beruntung, pintu terbuka dari dalam rumah. Berniat langsung masuk, kakiku malah tertahan di ambang pintu.

Mampus! Mama Lia!

Aku langsung terbengong di tempat, ketika Mama Lia menilikku dari bawah, hingga ujung jilbab di kepala. Matanya langsung memicing tajam, dengan tangannya terlipat di depan dada. Memperjelas kesan intimidasi yang ia tunjukkan sekarang ini.

"Beli apa aja kamu sampai sebegitu banyaknya?" ucap Mama Lia yang walaupun diucapkan tidan dengan nada tinggi, tetap saja nyelekit di dalam dada.

"Khilaf, Ma," ucapku sembari cengengesan. Tetap hormat pada yang lebih tua, walaupun Mama Lia ini subhanallah sekali dalam menguji kesabaran.

"Enak banget khilafnya! Anak saya kerja banting tulang di luar sana buat nafkahin kamu, dan kamu dengan santainya bilang khilaf? Habis berapa juta ini?"

Aku belum menjawab, tetapi tas selempang milikku sudah ditarik oleh Mama Lia. Tidak dilepaskan, hanya untuk ia buka, dan mengeluarkan struk di sana.

"Tiga juta delapan ratus dua puluh enam ribu rupiah-dalam sekali belanja?" Mama Lia langsung mengarahkan mata tajamnya itu padaku. Uh, aku langsung menunduk, menghindari tatapnya tersebut. "Beli apa saja kamu?"

Lagi ... aku dikuliti hidup-hidup ketika Mama Lia mengintip setiap paper bag-ku yang hanya diisi oleh beberapa novel, tas lucu, dan beberapa pernak-pernik lainnya.

"Empat juta kurang cuma buat beli ini?"

Aku langsung gelagapan, semakin tidak nyaman diperlakukan seperti ini. Mamaku bahkan tidak pernah melakukannya, ya ... karena mereka selalu memberikan konsekuensi atas semua perbuatan. Membuat jera, tetapi tetap menjaga harga diri anaknya. Sementara yang Mama Lia lakukan ini ... mengapa aku merasa seperti dipermalukan? Bahkan, meski tidak ada orang di sini.

"Kenapa, sih, Ma?" Aku menarik paper bag serta tasku agar menjauh dari jangkauan Mama Lia. "Lagian, aku beli dari uang jajan pemberian Papa. Bukan uangnya Mas Faddyl. Nafkah Mas Faddyl bahkan nggak cukup buat jajanku seminggu." Napasku berembus panjang usai mengatakan kalimat tersebut, lalu ... blank. Aku tidak punya keberanian lagi, sehingga hanya bisa memiringkan tubuh agar bisa melewati Mama Lia. Menuju kamar, dan berdiam diri di sana.

Argh! Aku benci! Aku benci pernikahan ini! Aku benci!

***

"Papa ... beneran ... ntar bulan depan, Papa bisa potong jajanku deh, ya? Aku ngutang dulu, ya? Papa ...." Sudah nyaris dua puluh menit aku merengek, tetapi jawaban pria di seberang sana?

GhaisyahWhere stories live. Discover now