GhaiSyah - 25

200 41 2
                                    

Dengan segala usahaku memasak bersama Mama Lia, sampai akhirnya masakkan kami selesai.
Kali ini memang aku melakukannya tanpa paksaan dari siapapun. Ternyata tidak buruk juga, Mama Lia sejak tadi sangat baik sampai aku sendiri tidak menyangkanya.

Aku berdo'a semoga masakkan kami tidak mengecewakan, kalau bisa semua suka dengan masakkannya. Ya aku akui, memang aku melakukan ini untuk melakukan syarat dari Mas Faddyl, Namun, ternyata tidak rugi juga berbuat baik dengan Mama Lia.

"Chia!"

"Iya, Ma." Aku yang sedang plating, langsung menengok ke arah Mama Lia yang memanggilku.

"Kamu belum selesai platingnya?"

"Belum, Ma. Sebentar lagi selesai kok," balasku. Aku sengaja memplating semua masakkan kami agar masakkannya terlihat lebih elegan dan mewah, seperti di restoran. Untuk hiasa menghias bisalah aku, walau tetap dengan bantuan youtube dan google juga.

"Yasudah cepat selesaikan, setelah itu semua makanannya kamu siapkan di meja makan ya. Kalau udah selesai, baru kamu panggil suamimu."

"Oke, Ma." Aku mengacungkan jempolku pada mertuaku yang masih sibuk membereskan dapur setelah kami gunakan memasak tadi.

Selesai plating dan merapikan meja makan, aku masuk lagi ke dapur.

"Sudah selesai Chia?"

"Tinggal manggil Mas Faddyl doang kok, Ma. Papa mau sekalian Chia panggilkan atau gimana Ma?"

"Enggak usah, sebentar lagi Mama selesai kok beresin dapurnya. Biar Mama sendiri yang panggil Papa, kamu panggil suami kamu. Bantu suami kamu kalau sedang butuh bantuan." Aku mengangguk lalu berlalu dari hadapan Mama Lia.

Tak butuh waktu lama, kami berempat sudah berada di meja makan.

"Platingnya bagus sekali, seperti makan restoran saja," puji Papa Hikam membuatku tersipu malu, kan yang melakukan plating adalah aku.

"Itu ide Chia, Pa. Chia juga yang plating semuanya," kata Mama Lia memberitahu suaminya.

"Oh jadi ini semua Chia yang masak?"

"Bukan Pa, itu yang masak Chia sama Mama," jawabku. Memang terasa sedikit aneh dengan sifat Papa mertuaku yang pendiam, sekarang malah seakan begitu ramah padaku. Namun, aku tidak mau terlalu memikirkannya.

"Tumben kamu sama Mamamu akur?" ledeknya padaku dan Mama Lia, yang langsung mendapatkan pelototan dari Mama Lia.

"Sudah, Pa. Jangan begitu, harusnya kita bersyukur Chia dan Mama bisa akur, Faddyl sih berharap mereka akan akur selamanya." Sejak tadi pria itu hanya diam, sekaranng ia baru mengatakan sesuatu. Setelahnya Mas Faddyl malah tersenyum kecil padaku, entah apa maksud senyumannya yang sebenarnya.

Kami lantas makan semua masakkannya, ternyata masakkanku dan Mama Lia tidak mengecewakan. Aku tersenyum senang.

***

Satu minggu berlalu, aku melakukan semua syarat yang telah Mas Faddyl berikan. Yang artinya aku dan Mas Faddyl akan pindah rumah, tetapi setelah aku pikir-pikir. Apakah tinggal berdua saja di rumah dengan Mas Faddyl tidak akan menimbulkan masalah? Jujur aku sedikit takut Mas Faddyl berbuat macam-macam padaku, walau kami memang suami istri.

"Chia!" Panggilan Mas Faddyl membuatku terlonjak kaget, benar-benar pria itu tidak bisa membiarkanku tenang sejenak. Padahal aku sedang enak-enak melamun.

"Siap-siap," titahnya yang menbuatku menyerngitkan dahi karena bingung.

"Memang kita mau ke mana? Kok aku harus siap-siap segala?" tanyaku penasaran.

"Kita akan pergi ke rumah baru yang akan kita tinggali."Mendengar ucapannya tentang rumah baru, tentu langsung membuatku semangat bangun dari rebahan dan langsung bersiap-siap.

***

Aku mengangga tak percaya, ya kami sudah ada di rumah baru yang akan aku dan Mas Faddyl tempati. Namun, yang membuat aku kaget mengapa rumahnya masih satu komplek dengan rumah orang tua Mas Faddyl. Jaraknya juga tidak jauh, padahal aku berharapnya pindah yang jauh sekalian. Kalau gini ya aku takutnya Mama Lia akan terus merusuhi hidupku.

"Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak suka dengan rumahnya?" Aku terdiam, jujur rumahnya memang sangat bagus dari depan saja. Sepertinya rumahnya juga besar, pasti banyak kamar juga. Namun, kenapa rumahnya jaraknya terlalu dekat dengan rumah lama?

"Chia? Saya tanya loh? Kamu malah melamun?"

"Ini enggak salah Mas, jarak rumah ini sama rumah orang tua Mas Faddyl dekat banget loh. Satu blok malah."

"Enggak kok, memang kenapa dekat rumah orang tua saya? Ini rumah saya bangun sudah lama, sebelum saya berniat menikahmu. Niat saya memang agar saya juga bisa setiap saat mengunjungi orang tua saya, dan tidak membutuhkan waktu lama perjalannya," jelasnya. Aku pasrah, tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Setidaknya tinggal di rumah sendiri aku bisa lebih bebas, kalau difikirkan wajar saja sih Mas Faddyl berfikir agar tidak jauh dari orang tuanya. Karena Mas Faddyl memang anak tunggal, kedua orang tuanya hanya punya anak Mas Faddyl. Kalau terlalu jauh juga akan susah.

Mas Faddyl mengajakku masuk rumah dan berkeliling rumah, ternyata sesuai dengan prediksiku rumahnya seperti rumah impian. Namun, tiba-tiba saja aku terpikirkan sesuatu.

"Mas!"

"Hmm."

"Boleh enggak rumahnya aku tata ulang, janji deh aku akan buat rumahnya bagus banget," izinku.

"Terserah kamu saja, asal kamu juga harus ingat gunakan uang seperlunya saja. Jangan boros-boros."

"Siap? Kamarnya kan banyak, kita pisah kamar aja ya?" pintaku lagi.

"Terserah kamu saja, kamu juga bebas memilih kamar yang akan kamu tempati. Jika saya memilih kamar yang ada di lantai dua," katanya.

 Jika saya memilih kamar yang ada di lantai dua," katanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
GhaisyahWhere stories live. Discover now