GhaiSyah - 09

229 62 1
                                    

Aku sangat kesal, Faddyl datang ke rumah Papa dan mengajakku kembali ke rumahnya. Aku tentu saja menolak, tetapi lagi dan lagi Mama dan Papa memaksaku menuruti perkataan Faddyl yang katanya sekarang sudah menjadi suamiku. Suami yang tidak kuharapkan tepatnya.

"Sekarang kamu tinggal dulu di rumah Faddyl, kapan-kapan kamu boleh kok menginap di sini, tapi dengan izin Faddyl dan nginapnya juga sama Faddyl," nasehat Mama. Aku hanya memutar bola mataku dengan malas.

Faddyl pamit kepada orang tuaku, aku hanya pasrah mengikuti Faddyl.

Di dalam mobil hanya berdua saja, ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok ganteng itu.

"Ngapain sih pake jemput aku segala, aku kan maunya tinggal di rumah orang tuaku. Jangan maksa deh jadi orang," ujarku dengan wajah sebal.

"Kamu sekarang istriku, jadi enggak bisa seenaknya lagi ya. Kamu harus tinggal di rumah saya sebagai istri saya," balasnya.

"Hak dong, emang siapa yang mau jadi istri kamu. Sejak awal kan aku emang enggak mau, kamu aja kenapa enggak mau batalin. Jangan harap aku akan berbuat baik sama kamu."

Akhirnya sampai di rumah keluarga Faddyl, rumahnya sih bagus, besar dan mewah lebih dari rumah Papa dan Mama. Tapi aku enggak akan suka juga tinggal di sini.

"Kamu ngapain jemput dia segala? Biarin aja dia di rumah orang tuanya, biar enggak perlu ribet di sini. Atau sekalian kamu ceraikan lagi aja, baru sampai sini kok langsung pulang ke rumah orang tuanya. Dikira apaan kayak gitu," omel Mama mertuaku.

Aku tau beliau memarahi putranya sekaligus menyindir diriku, tetapi aku enggak akan memperdulikannya.

"Ma, kami baru nikah kemarin masa udah cerai aja. Aku enggak maulah jadi lelaki dan suami yang gagal," balas Faddyl. Setelah mengucapkan hal itu suasana jadi sangat hening Mama mertuaku tidak membalas perkataan Faddyl.

"Ikut saya, akan saya tunjukkan kamar kita." Dengan langkah gontai, aku mengikutinya dari belakang.

"Ini kamar saya, yang akan jadi kamar kita berdua." Faddyl membuka kamar bernuasanya Hitam putih itu, aku masuk duluan. Ku perhatikan sekeliling kamar, ternyata kamar Faddyl lumayan bagus juga.

"Bajuku di taro di mana, lemarinya penuh itu?" tanyaku sengaja setelah melihat lemari yang ada di kamarnya sudah penuh dengan baju-baju Faddyl sendiri.

"Taro situ dulu, nanti saya bereskan lemarinya biar ada ruang untuk baju kamu. Nanti kamu bereskan sendiri, di rumah ini tidak ada pembantu jadi kamu harus kerjaan semua sendiri," kata memberitahuku.

Aku memutar mataku jengah, sedikit terkejut rumah sebesar ini tidak ada pembantunya.

"Serius enggak ada pembantu?"

"Kurang jelas apa yang tadi saya katakan?" Aku cemberut mendengar jawabannya.

"Rumah ini kan lumayan besar, terus siapa yang akan bersihkan?"

"Biasanya Mama, kadang sesekali saya membantunya kalau tidak sibuk. Sekarang ada kamu, ya harusnya kamu yang membersihkan semua." Aku begitu terkejut dengan ucapan, apa ia bilang aku yang harus bersih-bersih? Jangan mimpi ya?

"Kenapa aku? Aku enggak mau dong, aku bukan pembantu enak aja di suruh bersih-bersih rumah dikira enggak capek apa? Mending kamu panggil pembantu, aku enggak akan mau di suruh bersih-bersih."

Selama ini aku tidak pernah melakukan tugas itu di rumah, kenapa sekarang aku harus melakukannya di rumah Faddyl. Tentu saja aku tidak akan mau.

"Silakan kamu cari aja pembantu?" Aku tersenyum mendengarnya.

"Tapi kamu yang akan bayar sendiri, saya enggak akan mau membayarnya."

"Dasar pelit!" makiku tanpa perduli apapun.

"Tenang aku kan pasti dapat jatah bulanan dari Mama dan Papa, aku bisa pakai uang itu buat bayar pembantu."

"Mulai sekarang tidak ada jatah bulanan dari Mama dan Papa kamu, yang memberikan jatah bulanan sekarang adalah saya. Saya harap kamu bisa mengaturnya untuk keperluan rumah dan lain-lain."

Faddyl mengambil dompet di sakunya, ia mengeluarkan uang beberapa lembar seratus ribu. Lalu memberikannya padaku. "Gunakan seperlunya saja, jangan jadi orang yang boros. Itu jatah kamu untuk seminggu."

Mulutku mengangga tak percaya, uang yang dikasih Faddyl bagiku jelas tidak cukup untuk seminggu. Memang nilainya lebih sedikit dari uang bulanan dari Papa, apalagi katanya untuk keperluan rumah dan lain-lain. Kalau begini ya mana bisa buat gaji pembantu juga.

Oh tuhan kenapa aku diberikan suami yang sangat pelit seperti ini, dia kaya tapi pelitnya nauzubillah, kataku dalam hati.

"Syukuri saja ini juga rezeki, kalau kau tidak mau uangnya mending kembalikan pada saya." Faddyl ingin mengambil kembali uangnya, tetapi tidak akan ku biarkan tidak apa sedikit dari pada tidak sama sekali bukan.

Faddyl keluar kamar, aku langsung merebahkan diriku di kamar baruku ini. Menurutku memang lumayan nyaman untuk di tempati.

***

Hari sudah hampir malam, aku mengerjabkan mataku perlahan. Aku teringat tadi aku ketiduran setelah menelfon Papa dan Mama. Aku harus menerima kenyataan, kata Mama dan Papa mereka tidak akan memberikan sepeserpun uang untukku.

Aku hendak mandi, ku cari handukku di koper yang berisi barang-barang milikku. Setelah peralatan mandiku siap, aku segera pergi ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar ini.

Habis mandi tubuhku jadi segar sekali, aku keluar kamar mandi hanya dengan mengenakkan handuk. Bertapa terkejutnya aku melihat ada seorang pria yang duduk di sofa dengan menatapku.

"Mas Faddyl, keluar!" teriakku padanya. Pria itu adalah suamiku, memang mau siapa lagi. Aku lupa sekali sekarang tinggal satu kamar dengan Faddyl, hingga aku keluar kamar mandi hanya menggenakkan handuk. Aku malu sekali, aku tidak sudi dia melihat tubuhku bahkan rambutku. Namun, sekarang ia sudah melihatnya walau belum semuanya.

***

GhaisyahWhere stories live. Discover now