GhaiSyah - 12

231 56 3
                                    

Sebagai ganti karena ketidakbecusan aku di dapur, maka Tante Lia memberikan perintah untukku menyajikan makanan ke meja makan. Sendirian, dengan banyak menu. Sebelum ini juga, aku ditugaskan untuk menyapu ruang tengah luas ini, dan juga mengepel beberapa bagian.

Bagaimana tidak tepar?

Ini baru dua hari jadi istri seorang Faddyl Riwansyah loh, bagaimana ke depannya?

Mampus.

Namun, tidak masalah. Aku tetap menampilkan ekspresi baik-baik saja, agar si mama mertua tidak merasa menang karena sudah memberikan banyak tugas padaku. Aku tetap tampil segar, hingga nanti kedatangan keluargaku untuk melaporkan perlakuan Tante Lia yang kelewatan.

Napasku berembus kasar. Ini baru menghadapi Faddyl dan mamanya, loh. Entah bagaimana Papa Faddyl, karena pria dewasa itu jarang menunjukkan dirinya di depanku sejak aku tinggal di sini.

Ah ya, aku baru dua hari di sini, plus, hari ini aku malah bangun telat. Di mana, Papa mertua adalah pekerja giat dan gigih. Nyaris mustahil bertemu seorang Veitchiasyfa Ghaisaningsih Alano yang bangunnya selalu telat.

Aihihihi. Geli juga aku sama diri sendiri.

Astaghfirullah.

Lanjut, usai menata beberapa makanan di atas meja. Tante Lia hanya fokus mengecek tiap susunan makanan, sementara aku lagi yang harus bolak-balik ruang makan dan dapur untuk membawa piring, serta alat makan lainnya. Mataku menangkap senyum sinis Tante Lia ketika aku memasang wajah masam.

Beliau sepertinya memang suka membuatku menderita.

Tepat pada tataan piring terakhir, pintu utama sudah diketuk beberapa kali disertai oleh iringan salam dari suara-suara yang kukenal: Mama dan Papa. Aku segera melompat, lari menuju ruang tengah, menyambut kedatangan kedua orang tuaku.

Usai membuka pintu, tanpa sempat menjawab salam mereka sebelumnya, aku langsung memeluk Mama dengan erat. Papa mah, bodo amat! Bodo lah. Dia yang jual aku ke neraka ini.

"Mama ... capek banget ...." Aku langsung mengeluarkan keluhan di bahu Mama yang mengusap kepalaku. "Seriusan, baru dua hari di sini, udah kayak tersiksa 28 jam."

"Capek apa sih, Chia Sayang ...." Bukan Mama yang menjawab, tetapi suara horor si Mama mertua di belakang tubuhku.

Tante Lia serta-merta menarik lenganku hingga aku melepaskan pelukan. Segera, wajahku masam agar memperjelas keadaanku yang tersiksa di sini.

"Emang, tidur abis isya semalam, terus bangun jam sebelas siang. Capek apanya sih, Sayang?" Tante Lia mengusap-usap kepalaku yang dibalut pasmina pumpkin milikku, penuh sandiwara.

"Capek ngepel, Mama mertua, capek nyapu juga. Belum istirahat abis sholat isya tadi, lanjut nata barang-"

Keluhanku tadi langsung dipotong Tante Lia.

"Padahal Tante sendiri loh, yang masak semua menu karena kamu masak kayak orang abis perang."

Aku langsung memasang wajah malas. Perempuan tua ini memang sangat jago mengeles.

"Mari masuk." Tante Lia membawaku menepi, memberikan ruang untuk Mama-Papa masuk. "Maaf sebelumnya, ya, suami saya nggak sempet datang buat acara makan malam ini. Terlalu kejar target kerja. Faddyl sementara masih bersiap, baru-baru banget abis pulang kerja."

"Tidak masalah, Bu Lia." Papa menjawab, dengan nada sungkan.

Jelas, pria itu akan membela besannya. Papa kan cuman mau duitnya mertuaku saja, makanya sampai jual anak perempuannya. Aku mencibir tanpa suara, muak sama Papa.

Ketika perjalanan menuju ruang makan, Faddyl juga sudah datang. Si cari muka ini langsung memberikan salam seraya menciumi punggung tangan Papa dan Mama secara bergantian. Heleh!

"Saya harap, Chia nggak bikin masalah sama kamu ya, Nak Faddyl."

Aku mencibir Papa. Dibandingkan peduli dengan perasaan putri kandungnya, ia malah lebih mengutamakan kenyamanan menantunya. Aku menahan diri untuk tidak memaki Papa, tetapi ya ... bagaimana? Papa memang semenyebalkan itu.

Tiba di ruang makan, segera aku melepaskan lenganku yang ditahan Tante Lia, memilih duduk di antara Mama dan Papa, sementara Faddyl di hadapanku berdampingan dengan Tante Lia.

"Chia ... masa kamu lupa tugas seorang istri, Sayang?" tanya Tante Lia, yang langsung membuatku mengerutkan kening dalam.

Melirik Faddyl, pria itu memberikan isyarat melalui bola matanya dengan melirikku sebentar, lalu piring di depannya.

Manja.

Aku mendengkus berat, kemudian mengambil malas piring Faddyl untuk diisi beberapa makanan secara asal.

"Kamu kok gitu, Chia? Di depan suami harus penuh kasih sayang dong. Emang di rumah kamu nggak diajarin sama sekali? Ya ... kalau gitu, biar Mama Lia yang ajarin Chia kalau gitu."

Astaga. Aku memutar bola mata malas karena ocehan Tante Lia tadi. Aku langsung duduk di kursi dengan kasar.

Mama meraih tanganku, menghadapkan telapak tangan ke atas. Ia menatap sendu. Tumben.

"Astaga, Sayang. Kok tangan kamu sampe bengkak putih-putih gini? Duh, anak Mama ... pas di rumah jadi Putri, baru dua hari di sini, udah kasar tangan kamu." Mama mengusap-usap tanganku penuh kelembutan.

Eh, apa ini? Tumben-tumbennya Mama membela.

"Sebagai perempuan yang notabenenya pasti bakalan berakhir di dapur, perempuan harusnya tahu pelajaran dasar rumah tangga. Bersih-bersih, masak. Suami kerja dari pagi sampai tengah malam, masa nggak dilayani dengan baik, sih? Nggak papa, nanti Mama Lia ajarin Chia, ya." Tante Lia membalas ucapan Mama tadi.

"Di sini nggak ada pembantu, ya?" tanya Mama. "Astaga, Sayang ... pasti kamu capek deh, urusin segala masalah di sini. Kamu nggak sampai pusing, kan? Kamu nggak kenapa-napa, kan? Tubuh kamu pasti langsung kaget sama kerjaan yang langsung berat ini."

"Seseorang yang selalu dimanja, bakalan terbentuk lembek seumur hidup. Mama Lia di sini bukan buat bikin Chia tersiksa, kok, cuman mau mengajari, supaya Chia ke depannya nggak jadi bebannya Faddyl lagi ...."

"Mama ...."

Sebelum Mamaku menyahut, Faddyl sudah terlebih dahulu berseru memanggil Tante Lia.

"Ayo makan malam. Makanannya keburu dingin nanti." Faddyl lanjut berujar dengan nada lembut, disertai senyum hangatnya.

Sebelum aku mengambil makanan untuk diri sendiri, aku bisa melihat dengan jelas bahwa dua Mama ini saling mengadu pandangan sinis. Aku sampai harus menggigit bibir dalam untuk mencegah senyum.

Kok seru ya, lihat mereka debat?

Astaghfirullah, Chia ....

***

GhaisyahWhere stories live. Discover now