GhaiSyah - 08

267 62 3
                                    

Usai membayar taksi yang aku pakai ke sini, kakiku terburu-buru memasuki pekarangan rumah. Tas besar yang menampung beberapa lembar pakaian ini, cukup memberatkan pundak. Sehingga di depan pintu, aku harus meletakkannya di lantai sebelum mengetuk pintu beberapa kali.

"Assalamualaikum. Mama ... Papa ... Abang .... Chia pulang ...." Aku berteriak usai mengetukkan buku-buku tangan di pintu selama beberapa kali. Sembari menunggu, aku menyandarkan punggung pada tembok. Melirik sekitar, dan tetangga depan rumah juga mengarahkan pandangan padaku.

Tidak jelas!

Aku menoleh pada pintu ketika mendengar suaranya terbuka. Tampak Bang Veiro keluar dengan ransel hitam di pundaknya. Penampilan pria itu juga sedikit lebih rapi kali ini, dengan setelan kaus dan celana jeans hitam, jaket kulit-ia sepertinya akan pergi.

"Abang mau ke mana?" tanyaku, seraya maju untuk berdiri di depan Bang Veiro.

Ia malah menatapku bingung, dari atas ke bawah. Sebelah alisnya yang terangkat semakin memperjelas ekspresi anehnya tersebut.

"Abang ngapain liat-liat? Minggir! Aku mau tidur!" ucapku kasar, karena ia tidak kunjung menjawab pertanyaanku. Tas tangan di lantai aku seret paksa, karena sudah minim tenaga-memasuki rumah melalui sela tubuh Bang Veiro.

"Kamu masih galak aja, Chia. Abang ragu kamu berhasil diperawanin sama dia."

Aw, Bang Veiro sangat tahu cara menaikkan emosiku. Jarakku sekarang kurang 6 langkah dari Bang Veiro, sangat mudah untuk berbalik, dan memberikan tendangan pada pria menyebalkan ini. Namun, aku sedang butuh istirahat, sehingga hanya bisa menatap Bang Veiro dengan nyalang.

"Jomlo, diem!" sungutku kesal, kemudian melangkah lesu menuju sofa.

Sungguhan, tidak bisa lagi mencapai kamar di lantai dua. Aku langsung berbaring, hendak tidur dengan tenang. Namun, sahutan beriringan dari Mama-Papa mencegah keinginan tadi.

"Loh, Chia kok di sini? Faddyl mana?" tanya Mama seraya mendekat.

Astaga ... aku benar-benar tidak diizinkan tenang sedikit pun! Setelah Bang Veiro pergi, malah digantikan Mama yang cerewet.

"Aku kangen rumah, Ma. Nggak bisa jauh-jauh dari rumah," ucapku malas. Kemudian memejamkan mata lagi berniat untuk menyambung tidur.

"Faddyl tahu kalau kamu ke sini, Chia?" Mama lagi-lagi mengganggu.

Aku sebenarnya enggan menimpali, tetapi kekesalanku disulut lagi ketika Papa malah mengobrol dengan Faddyl melalui sambungan telepon.

"Iya, Nak Faddyl. Nanti Papa suruh Chia ke situ. Setengah jam lagi, ya. Papa sendiri nanti yang antar." Begitulah janji Papa pada Faddyl usai mereka saling menyapa basa-basi.

"Papa ...." Aku langsung terduduk malas, dan menatap pria tua itu dengan mata jengkel. Papa ini ... kenapa sangat tidak suka melihatku bahagia? Hobinya main menjodohkan, lalu suka mengusik ketenanganku setelah pernikahan-kenapa? Bang Veiro bebas saja tadi keluar ke mana pun yang ia mau.

Kenapa?

"Papa ... egois banget tau, nggak? Sumpah. Pernah nggak, sih, Papa sekali aja ngerti perasaan aku? Udah kerjaannya sibuk mulu sampe lupa ngasih perhatian, main jodohin tanpa tanya perasaan aku, dan sekarang ... aku cuman mau tidur, Pa. Aku capek. Aku mau istirahat. Aku kangen rumah. Itu salah?" hardikku, kesal.

Aku segera bangkit dari sofa, mengabaikan tas di lantai dasar, menuju kamar. Usai mengunci pintu, aku langsung membanting tubuhku dengan posisi tengkurap di atas tempat tidur. Rasa kantuk tadi sudah hilang separuh karena tergantikan oleh rasa kesal. Aku mengulurkan tangan untuk mengambil laptop, kemudian membukanya.

Selama beberapa saat, masih bergeming menatap deretan huruf, angka, dan simbol di keyboard. Embusan napasku yang panjang membuka kegiatan mengetik pada microsoft word.

Rasanya, sudah terlalu tua untuk menuliskan curahan mengenai kasih sayang orang tua. Aku pikir. Jadi, sebagai gantinya agar bisa curhat sembari mendapatkan popularitas, aku mengubahnya menjadi sebuah cerita.

Pada nama file, aku memberinya judul: Patahnya Seorang Perempuan. Selanjutnya, jemariku begitu lincah mengetik pada deretan keyboard, karena semua yang aku ceritakan adalah nyata. Dari pengalaman kemarin, hingga hari ini. Begitu asyik, dan lancar, aku tidak sadar dua jam berlalu, dan aku sudah menorehkan 2154 kata.

Usai melakukan revisi ringan, mengecek typo secara singkat, serta memastikan tidak ada kekeliruan penulisan lain-aku menyalinnya untuk dipublikasikan pada laman facebook di sebuah grup kepenulisan ternama. Usai memublikasikannya, aku menutup laptop, dan meletakkannya kembali ke atas nakas. Tanpa mengubah posisi-hanya memperbaiki postur kepala, aku langsung tertidur dengan nyenyak.

Hatiku sudah sedikit lebih baik setelah mengeluarkan masalah melalui tulisan, meski belum ada solusi. Ini rasanya sudah lebih dari cukup.

***

Azan Zuhur terdengar, menjadi alasan aku mengembalikan kesadaran. Dengan posisi tengkurap tadi, aku menyadari bahwa mulutku setengah terbuka. Langsung saja, aku mengusap mulut, dan menyadari bahwa ada cairan di sana.

Jijik, tapi mau bagaimana lagi.

Aku segera turun, menuju kamar mandi untuk wudhu, lalu sholat zuhur. Usai menenangkan diri dengan zikir dan melanjutkan bacaan di juz 24 kemarin, aku melepas mukena, merapikannya bersama alat sholat tadi. Setelah itu, duduk di pinggiran tempat tidur dengan memangku laptop.

Wow. Aku langsung takjub ketika bar notifikasiku penuh oleh ... like dari 948 orang di postingan tadi, plus dengan 230 komen yang sebagian besar berisi 'next', sebagian berupa curhatan mereka yang mengaku ikut merasakan apa yang aku alami, sebagian kecil lagi memberikan semangat, lalu pada satu komen yang menarik mataku ... aku tertegun.

Agrafa :
Nyata? I can feel you.

Hanya dua kalimat, tetapi efeknya?

Aku langsung berbaring dengan girang seraya memeluk laptop. Berteriak dengan suara tertahan agar tidak terlalu heboh sampai keluar. Lalu menepuk-nepuk wajah untuk meyakinkan diri sendiri bahwa pria itu ... sungguhan memberikan komentarnya yang limited edition. Aku langsung memfotonya menggunakan ponsel, lalu kujadikan wallpaper. Ah ... sesenang ini.

Tambahan plusnya adalah ... pria ini sangat gentle dan perhatian. Aku mendesis gemas saking ... bahagianya. Dari banyaknya orang yang aku kenal, ada seseorang yang sebenarnya asing, tetapi begitu mengerti diriku.

Namun, demi menjaga image keluarga yang baik nan damai, aku segera menormalkan tindakan absurd tadi dengan duduk tegap di pinggiran tempat tidur seperti biasa. 229 komen lain tadi aku abaikan, dan memilih membalas pria tanpa wujud ini.

| Bukan. Hanya menyuarakan isi hati perempuan yang selalu dipandang rendah oleh para laki-laki, bahkan ayahnya sendiri, sehingga mereka sangat mudah memperjualbelikan putri mereka hanya atas dasar bisnis. |

Oh, shit! Aku mendesis geli atas jawabanku barusan yang luar biasa bijak. Kamu hebat Chia!

Aku langsung berbaring lemas usai mengirimkan balasan tadi. Kemudian menarik napas panjang-panjang, mengembuskannya perlahan.

Selega itu, ya, jika ada satu saja orang yang mau perhatian.

Sayangnya, aku tidak memiliki seseorang itu. Bahkan, sahabat dari SD pun-Dianne-malah menyeretku ke hal yang buruk.

Nggak adil banget, ya, dunia?

***

GhaisyahWhere stories live. Discover now