"Ah itu, mungkin Hera." Kata Bunda kemudian.

Samar-samar aku mendengar suara deru mobil dari luar rumah. Mobil Hera sudah keluar dari bengkel? Setahuku mobilnya keluar lusa nanti.

"Ayo Yo ke depan." Ajak Bunda.

Aku beranjak dari kursi, berjalan menuju ruang tamu bersama Bunda. Aku berhenti begitu melihat siapa yang sedang berdiri bersama Hera di ambang pintu rumah. Orang itu menatap Hera dan membuatku ingin mencekiknya sampai kehabisan nafas.

"Ra baru pulang?" Suara Bunda menyadarkan mereka berdua. Bocah itu mengangkat wajahnya sementara Hera berbalik badan.

Hera terkejut bukan main, bukan karena melihat Bunda, tapi karena melihat keberadaanku. Bocah tengil yang berada di belakang Hera juga terkejut melihatku, tapi tak berapa lama, tatapannya berubah menjadi tatapan tak suka.

"Ah Tante, maaf, Kak Riana jadi pulang malam karena saya. Saya minta maaf Tan." Bocah itu berbicara sambil mendekat ke arah Bunda. Mengambil tangan Bunda dan menyalami Bunda.

Kulihat Bunda hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Lain kali kalau mau pergi bilang yang jelas ya Ra. Kami semua mencari kamu."

Hera melirikku, tentu aku balas dengan tatapan datar. Ia kembali menunduk dan memilin ujung bajunya. "Maaf, Bun..."

"Tan, itu bukan salah Kak Riana kok. Ini salah saya, saya mohon maaf Tan."

Lagi-lagi Bunda hanya tersenyum sambil mengangguk. "Ya sudah, Bunda ke dalam dulu ya Ra. Mari Nak?"

"Althaf Tan." Jawabnya dengan penuh keyakinan.

"Ya Nak Althaf, hati-hati pulangnya." Lanjut Bunda. Ia pun pergi meninggalkan kami bertiga.

Aku memandang mereka berdua dengan tatapan seintens mungkin. Bocah itu balas menatapku dengan pandangan meremehkan. Lalu dengan seenak jidatnya, ia memutar tubuh Hera sehingga menghadap dirinya.

"Maaf ya Kak udah bikin kamu dimarahin sama Bunda kamu."

Seseorang tolong bawakan plastik, aku mau muntah.

Hera mengangkat wajahnya dengan pelan, membuatku semakin tidak suka melihatnya.

"Aku pulang dulu, jaga diri ya, jangan sampai ada orang jahat di sekitar kamu." Usai mengatakan itu ia melirikku dengan pandangan meremehkan lagi. Tidakkah ia sadar bahwa ia akan menjadi mahasiswa didikanku nanti?

"Good night. Have a sleep tight."

Tak aku duga, bocah tengil itu meraih kepala Hera dan mengecup keningnya cukup lama. Ia tertawa setelah melepaskan ciumannya dan pergi sambil sebelumnya mengacak rambut Hera.

Duk!

Tanpa aku sadari, tangan kananku sudah mengepal dan memukul dinding yang berada tepat di sebelahku. Hera berbalik dan memandangku takut. Aku tidak peduli, sekali lagi lagi aku memukul dinding dan kali ini dengan kekuatan lebih besar dari sebelumnya. Aku pun pergi meninggalkan Hera yang masih mematung di depan pintu.

- - - - - -

Di dalam kamarnya, Hera sedang menangis tersedu-sedu, dan aku duduk di sofa di dalam kamarnya. Aku sempat ingin pulang ke rumah dan meninggalkan Hera di sini, tapi Bunda dan Ayah menyuruh kami menyelesaikan masalah kami di rumah ini. Aku benar-benar tidak ingin berada di dekatnya dulu, sungguh, bukan karena aku benci, tapi karena aku takut akan melukainya.

Aku memang orang yang jarang tersulut emosi, tapi jika emosi itu sudah dipancing keluar, aku sendiri akan sulit untuk mengontrolnya. Dan belakangan ini, gadis yang masih saja menangis di depanku sering memancing emosiku keluar.

FortunatelyWhere stories live. Discover now