Tiga Puluh Empat : Belah Duren

6.2K 280 16
                                    

Aga

18+...

“Jangan salahin aku ya mbak kalau minta lebih. Kamu duluan yang mancing loh," kataku tanpa mengalihkan perhatian dari bibirnya yang merekah.

Aku bahagia. Aku sangat senang mbak Dara akhirnya menyatakan cinta padaku. Rasanya masih seperti di alam mimpi. Tapi melihatnya cemburu, aku yakin kalau ini adalah kenyataan. Saat dia cemburu, itu sangat menggemaskan. Aku memang sengaja menggodanya.

“Minta lebih apa sih maksudmu?”

“Ini,” kataku lalu mengecup bibirnya yang sedari tadi seperti mengundangku untuk segera melahapnya.

Aku menahan tengkuk mbak Dara lalu memperdalam ciumanku. Dia membalas ciumanku. Tidak kalah menuntut. Tidak kalah panas dengan ciumanku. Ya, seperti inilah Dara yang aku kenal di malam pertama kami bertemu. Dia sangat lihai dan mahir mempermainkanku hingga aku nggak sanggup bertahan. Dan kali ini pun, aku mungkin juga nggak akan bertahan. Tapi aku nggak peduli jika dia mendominasiku.

Aku melepas ciumanku agar aku dan mbak Dara bisa mengambil nafas sebanyak mungkin. Namun mbak Dara begitu agresif lalu menciumku kembali tanpa berhenti. Aku mengetatkan pelukanku pada tubuhnya tanpa melepaskan ciuman di antara kami.

Suara decap lidah dan bibir kami yang beradu terdengar jelas memenuhi kamar ini. Aku membalikkan tubuh dan kini berada di atas tubuhnya. Sengaja aku agak menjauh agar aku nggak menindih perutnya yang kian hari kian membesar.

Kembali aku melumat bibirnya tanpa bisa berhenti. Tangan mbak Dara dengan cepat menarik kaosku ke atas melewati kepala hingga tanggal. Aku mendesah lirih saat tangan halusnya meraba otot dada dan perutku. Pertahananku hampir jebol.

“Bolehkan aku menyentuhmu mbak?” Tanyaku dengan nafas tersengal. Mbak Dara mengangguk dan itu jawaban yang aku inginkan.

Aku mengecupi lehernya dan meninggalkan bekas disana. Dia mengerang saat aku menyentuh dadanya yang masih terbungkus oleh pakaiannya. Tanganku perlahan menyusuri kancing piyama yang dia pakai dan perlahan melepasnya satu persatu hingga terbuka seluruhnya.

Aku sangat bersyukur karena aku nggak perlu susah-susah untuk membuka kancing bra miliknya karena kancing itu berada di depan.

Aku terkagum-kagum saat melihat dua bukit yang indah tersebut dengan ujung merona merah. Terakhir kali aku melihatnya, ukurannya nggak sebesar ini. Mungkin karena faktor kehamilan yang membuat ukurannya kian besar.

Dia menutup dadanya dengan tangan dan aku menatapnya bingung.

“Kenapa ditutup?” tanyaku.

“Jangan lihatin kaya gitu. Aku malu.” Pipinya merona yang membuatku tersenyum.

“Kenapa harus malu? Aku kan suamimu yang wajar jika melihatnya.”

“Tapi kamu lihatnya kaya orang mesum,” katanya yang membuatku ingin tertawa. Lah? Gimana sih? 

“Lah, kita kan memang mau mesum-mesuman,” kataku ingin meledakkan tawa. Kadang sikap mbak Dara ini nggak sesuai umurnya. Kadang dia bisa bersikap dewasa, tapi kadang bersikap seperti anak kecil juga. Aku jadi merasa jarak umur kami nggak begitu jauh kalau melihat sikap mbak Dara seperti ini.

“Kamu aja yang mesum, aku nggak,” katanya.

“Ya nggak dong. Kita harus mesum bareng,” kataku ngotot.

“Nggak. Aku bukan orang kaya gitu.” Dia juga tambah ngotot. Sudahlah, kalau diteruskan perdebatan ini nggak akan selesai. Yang ada jatahku bisa gagal.

“Ya udah iya, aku emang mesum kalau kamu nggak. Kamu kan wanita sholehah. Maksudku istriku yang sholehah. Jadi, kita lanjutkan malam kita yang tertunda.” Aku pun kembali meraup bibirnya dengan intens dan dalam. Tanganku pun ikut bermain di dadanya, meremas lalu memainkan ujungnya. Kudengar desahannya yang lirih tapi cukup untuk membuatku makin terangsang.

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now