Dua puluh tiga: Cemburu

5.1K 506 20
                                    

Aga

"Eh, lo ada masalah apa sih sama Ruda? Udah lama loh kalian diem-dieman." Aku mengedikkan bahu  acuh saat Raka melontarkan kalimat tersebut.

"Karena gue lebih ganteng daripada dia mungkin," jawabku pada akhirnya. Memang sih belum ada yang tahu kenapa beberapa bulan ini aku dan Ruda nggak saling bertegur sapa. Raka, Jeon, dan Irshad setiap kali melihatku dan Ruda, mereka hanya saling menatap satu sama lain.

"Serius kamvret gue nanyanya." Raka menyeruput es kelapa mudanya sambil menatap gue kesal. Aku nggak terlalu peduli, mataku menatap lapangan hijau di depan sana. Cuaca cukup cerah meskipun sudah sore. Ada beberapa anak yang tengah bermain bola di tengah lapangan sana.

"Ya gue juga serius. Lo bandingkan sendiri, wajah gue emang lebih tampan rupawan bin menawan daripada Ruda."

"Ah, ngomong sama lo cuma buang-buang waktu Ga, capek gue," keluhnya. Aku tersenyum miring melihat kefrustasian Raka.

"Udah tau gitu masih aja tanya, nggak cerdas lo."

Raka menyeruput minumannya hingga tandas lalu bersedekap dada sambil menatapku.

"Terus, akhir-akhir ini lo susah banget diajak nongkrong sama mabar. Sore ini aja kalo gue nggak maksa, lo pasti udah kabur duluan. Kenapa lo kaya gitu? Lo nggak lagi jadi anak mami kan?"

"Bukan lah. Gue lagi senang aja pulang cepat ke rumah." Tanpa sadar aku menarik garis bibirku saat mengingat rumah.

Banyak orang bilang, rumah adalah tempat kita berpulang setelah letih menjalani aktifitas seharian di luar. Rumah adalah tempat dimana kita bisa bersandar disana dengan nyaman. Aku akui itu memang benar adanya. Setiap aku lelah setelah mengikuti pelajaran dan bergelut di tempat kerja, hal yang paling aku nantikan adalah pulang. Makanya, setiap kali ada kesempatan untuk pulang cepat ke rumah, aku akan melakukannya.

Bagiku disana bukan hanya ada rumah, bangunan kokoh tempat berlindung dari panas  dan hujan. Tapi disana ada sosok perempuan yang bagai punya magnet menarikku untuk selalu kesana. Perempuan yang aku sadari sejak awal memikat dan menjerat hatiku, membuatku nggak mampu beranjak ke hati yang lain.

Setiap mengingat wajahnya yang jutek, senyumnya yang kadang terlihat tulus kadang terlihat masam, hatiku selalu menghangat, menciptakan garis lengkung di bibirku.

Ah, kok aku jadi kangen sama mbak Dara.

"Duh, kayanya lo beneran udah  gila.  Senyum-senyum sendiri. Bayangin apaan lo?" Suara Raka berhasil membangunkanku dari lamunan indah tentang mbak Dara.

"Eh Ka, gue cabut duluan ya?" Kataku sambil mengambil tas ransel yang kuletakkan di kursi.

"Eh, kemana lo? Kan kita mau mabar Ga!" Teriak Raka. Aku yang berjalan dengan cepat menoleh pada Raka.

"Nggak jadi. Rindu gue lebih penting daripada game."

"Kutu monyet lo!" Teriakan Raka yang kencang masih bisa ku dengar. Aku menaiki motorku dan lekas menghidupkannya.

Di sepanjang perjalanan, pikiranku hanya dipenuhi oleh sosok mbak Dara. Rasanya aku sudah nggak sabar ingin cepat pulang ke rumah.

Nggak perlu waktu lama untuk aku tiba di rumah. Aku menatap sebuah mobil pajero hitam terparkir di teras rumah. Aku mengernyit, menerka-nerka, kira-kira itu mobil siapa. Ah, palingan cuma mobil temannya mbak Dara.

Aku memasuki rumah dengan langkah riang. Namun di ambang pintu, langkahku terhenti. Aku tertegun saat melihat Mbak Dara duduk berdua dengan seorang pria berpakaian ala orang kantoran.

Siapa pria jelek itu? Kurang ajar banget, bertamu saat sang kepala keluarga lagi di luar. Mana tangannya pakai pegang-pegang tangan mbak Dara. Ini nggak bisa dibiarkan. Pria itu harus tahu kalau mbak Dara sudah ada pawangnya.

"Ehem!" Aku berdehem sambil berjalan menghampiri mereka.

"Oh Ga, kamu udah pulang. Aku kok nggak dengar suara motor kamu," kata Mbak Dara terlihat salah tingkah dan menjauhkan diri dari pria itu.

"Iya lah nggak dengar, kan lagi asyik ngobrol." Aku tersenyum sedikit sinis pada mbak Dara lalu menatap pada pria itu. Mataku menilai pria itu dari bawah hingga atas. Tubuhnya tinggi, badannya bagus, wajahnya juga oke dan penampilannya cukup membuat para jomblowati merapat minta dihalalkan. Tapi, ada tapinya loh, tapi aku lebih dari itu semua. Aku lebih kaya ya walaupun semua kekayaan masih milik papa dan opa, tapi suatu saat kan akan jadi milikku juga, aku lebih tampan dan poin tambahannya adalah aku masih muda dan segar.

"Oh ya Ga, kenalin ini Elang, temen aku." Ketika nama Elang disebut, aku menatap mbak Dara dengan raut terkejut. Lalu aku kembali menatap ke orang yang namanya gelang-gelang itu. Terserah deh mau namanya Elang, mau rajawali, mau itik juga aku nggak peduli.

"Hai Ga, salam kenal," katanya sambil tersenyum ramah. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan padaku. Aku menyambut uluran tangannya dan mengangguk. Lantas kami segera duduk. Aku sengaja duduk merapat ke mbak Dara.

"Duh, geseran dikit dong Ga, sempit nih," kata Mbak Dara yang memang duduk di pojokan sofa.

"Sofa sebelah situ nggak enak, agak keras soalnya."

"Masa? Kan satu produk, satu merk dan satu toko Ga."

"Nggak tahu. Mungkin pengrajinnya lagi ngantuk pas  bikinnya."

"Udah mau ujian ya Ga?" Pertanyaan dari pria di depanku berhasil mengalihkan perdebatan nggak penting antara aku dan mbak Dara.

"Iya, tinggal tiga bulan lagi," jawabku berusaha ramah. Meski dalam hati aku ingin pria ini segera pergi.

"Oh, kamu kalau butuh buku latihan soal, mas ada di rumah. Kebetulan punya adik mas pas sekolah dulu masih disimpan."

Mas? Hello... mau banget situ dipanggil mas? Atau  emang sadar umur? 

"Oh kamu keberatan kalau saya membahasakan diri dengan sebutan mas ya? Maaf ya?"

Aku hanya tersenyum. "Nggak apa. Emang udah cocok jadi mas-mas kok."  Iya cocok jadi mas ojek, mas kurir, mas cangcimen.

"By the way, aku baru tahu kalau Dara punya adik sepupu kaya kamu," katanya lagi.

"Adik sepupu? Siapa?" Aku bertanya padanya lalu menoleh ke arah mbak Dara. Mbak Dara terlihat tersenyum canggung.

"Kamu sepupunya Dara kan?" Tanyanya.

"Sejak kapan ak...aw..!" Kurasakan cubitan kecil di bagian pahaku. Aku menoleh pada mbak Dara. Matanya dipenuhi oleh permohonan.

Oke kita lakukan peran kakak adik sepupuan ini sekarang. Demi kamu mbak.

"Iya, aku adik sepupunya mbak Dara. Setelah sekian purnama, ternyata baru ketahuan kalau aku dan mbak Dara sepupuan. Untung ceritanya nggak mirip sinetron-sinetron gitu."

"Oh ya mas Elang kira-kira kenapa kesini ya? Ada perlu apa?" Tanyaku.

"Oh, aku cuma kangen aja pengen ketemu Dara. Aku ke rumah orang tuanya tapi kata Ruda, Dara pindah kesini."

Kangen? Jadi dia kesini mau ajak istriku kangen-kangenan. Minta ditabok nih bokongnya. Aku menatap mbak Dara tajam sembari tersenyum lalu kembali menatap Elang.

"Oh kangen. Emang mas Elang ini siapanya mbak Dara? Pacarnya ya?" Tanyaku sembari menekan kata pacar.

"Dulu iya, tapi sekarang bukan. Tapi sepertinya sekarang aku berubah pikiran. Kalau misalkan mbak Daramu ini jadi pacar mas Elang lagi gimana Ga?"

Darahku sudah mendidih hingga ubun-ubun. Aku mengepalkan tanganku yang berada di balik punggung mbak Dara. Ini orang ngajak gelud ya?

"Coba aja tanya sama mbak Dara nya langsung mas. Aku permisi dulu mas, mau ganti baju, gerah banget nih."

Tanpa menoleh lagi aku berjalan ke kamar dan membanting pintu kamar itu dengan keras.

♤♤♤
Bersambung
Jangan lupa vote dan komennya ya..

Jangan lupa jaga kesehatan..
Semoga menghibur,
Tandai typo
And happy reading..

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now