Sebelas: Bocah rese'

7.2K 495 12
                                    

"Mbak, ngapain jongkok disitu?" Aku membuka mata dan melihat seorang petugas keamanan tengah berdiri sambil membawa senter.

Perlahan aku keluar dari bawah meja.

"Aduh pak, saya kira siapa? Bikin kaget aja." Aku menghela nafas lega. Rasa takut itu berangsur hilang.

"Maaf mbak, saya hanya sedang patroli terus lihat mbak masih disini. Sudah mau pulang mbak?"

"Iya pak. Oh iya pak, boleh pinjam senternya sebentar."

"Oh ini mbak silahkan." Akupun mengambil senter dari tangan petugas keamanan tersebut lalu mencari sepatuku dibawah meja. Sepatu hitam dengan pita kecil di bagian depan tampak terlihat di sudut bawah meja. Pantas kucari tidak ketemu. Setelah mengambilnya, aku segera mengembalikan senter pada pak petugas keamanan.

"Terima kasih pak. Saya permisi dulu." Aku pun bergegas keluar dari ruangan. Kulihat arloji di tanganku, sudah terlalu larut. Semoga masih ada taksi online yang beroperasi.

Begitu keluar dari gedung kantor, aku melihat sekeliling yang masih cukup ramai. Aku membuka aplikasi untuk memesan taksi online.

Tin tin...
Aku mendongak dari layar ponsel dan melihat sebuah motor Ducati berwarna biru berhenti tepat di depanku. Seorang pria dengan jaket kulit dan helm fullface bertengger di atas motor itu. Lumayan keren sih. Tapi begitu pria itu membuka kaca helmnya aku berdecih pelan.

"Ojek mbak?" Tanya Aga.

"Nggak." Kuabaikan dia dan kembali menekuni niat awalku untuk memesan taksi online.

"Gratis loh mbak."

"Bayar pun aku malas ikut situ."

"Kenapa?" Dia merebut ponsel dari tanganku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Mataku membulat melihat kelakuannya.

"Ngapain handphoneku kamu masukin kantong? Kamu mau mencopet?"

"Mencopet handphone nggak jaman mbak. Aku maunya mencopet hati mbak Ara."

Aku tidak mempedulikan gombalan basinya. Kuulurkan tanganku ke arahnya.

"Siniin handphoneku!"

"Nggak bakal aku kasihin sebelum mbak naik ke motorku," jawabnya sembari menampulkan ekspresi tengilnya.

"Aku nggak mau naik motor kamu, paham?! Jadi cepetan balikin!"

"Nggak bakal."

Aku melotot galak padanya. Tapi justru dia hanya tersenyum miring, seolah dia puas telah berhasil membuatku kesal. Mau dia apa sih sebenarnya? Bocah ingusan menjengkelkan!

"Jadi, mbak mau handphone nya nggak?" Dia memainkan alisnya, menaik-turunkannya membuatku semakin kesal.

Meladeni bocah ini memang tak akan ada habisnya. Semakin aku mengelak, dia akan mengerahkan seribu satu cara untuk membuatku setuju. Tapi tenang saja, aku bukan salah satu orang yang akan setuju padanya semudah itu. Oke! Katakanlah aku memang berusaha keras menolak dan menghindarinya. Aku tidak sedang bersikap kekanakan, aku hanya tidak ingin terlibat lebih jauh dengan bocah itu. Sudah cukup kesalahan berulang yang kulakukan padanya. Tidak akan kubiarkan aku kembali melakukannya.

"Ya udah ambil aja. Aku masih bisa beli yang baru." Setelah mengatakan itu, aku berbalik, berjalan ke arah jalan besar sambil melihat sekeliling mencari sebuah taksi.

Aku mendengar deru motor mengikutiku, lebih tepatnya mengiringi setiap jengkal kaki yang kulangkahkan tepat di sampingku.

"Kenapa sih mbak selalu nolak aku?"

Make A Baby with Berondong (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang