Sembilan Belas: Dara manisku

6.8K 546 28
                                    

Aga

"Pak, bu, nanti aku mau ajak mbak Dara ke rumah boleh?" Tanyaku saat pagi ini untuk pertama kalinya aku ikut sarapan di keluarga mbak Dara. Di meja makan baru ada aku, bapak dan ibu. Mbak Dara masih berkemas dan Ruda, entahlah aku nggak tahu. Anak itu masih saja menghindariku.

"Ya boleh to nak, kan dia sekarang sudah jadi istrimu. Jadi kamu nggak perlu minta izin lagi sama bapak dan ibu," jawab bapak.

"Ya, tapi kan..." Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Rasanya aneh saja kalau aku nggak minta izin. Takutnya orang tua mbak Dara melarang meski kami sudah menikah.

"Dan mulai saat ini kalau bisa kamu biasakan jangan panggil Dara pakai embel-embel 'mbak' Ga. Masa suami panggil istrinya gitu," ucap ibu serambi beranjak mengambilkan segelas air putih untuk bapak.

"Soalnya biar bagaimana pun mbak Dara umurnya lebih banyak bu." Aku tersenyum canggung. Sebenarnya aku bisa saja sih memanggil mbak Dara tanpa embel-embel mbak. Tapi aku nggak melakukannya karena belum diberi izin oleh yang punya nama. Nanti mbak Dara malah ngamuk, terus banting aku lagi. Bukannya aku takut kena banting, begini-begini aku juga pernah belajar karate. Cuma ya aneh aja masa suami istri mainnya banting-bantingan. Harusnya kan sayang-sayangan.

"Pagi bapak, ibu." Mbak Dara turun dari lantai atas dengan setelan kantor yang rapi. Wajahnya disapu dengan make-up tipis tapi aura kecantikannya benar-benar membuatku silau. Kalau kata lagu Afgan sih wajahmu mengalihkan duniaku. Aku sampai nggak bisa berkedip saat mbak Dara berjalan menghampiri bapak dan ibu serta memberikan mereka kecupan singkat di pipi. Aku berharap penuh sambil menyodorkan pipi, semoga aku juga mendapat jatah kecupan di pipi. Tapi belum juga terjadi, ada tangan yang dengan kasar mendorong pipiku.

Aku mendelik melihat Ruda yang tanpa merasa bersalah telah mendorong pipiku mengambil duduk di seberang meja makan. Dia nggak mengacuhkanku dan mengambil dua lembar roti lalu mengolesinya dengan selai cokelat.

Selesai sarapan aku duduk menunggu di teras. Ketika Ruda keluar aku lekas merangkul pundaknya, hal biasa yang sering aku lakukan. Tapi Ruda melepaskan rangkulanku dan mendelik tajam.

"Nebeng ya Rud?"

"Ogah! Lo kan punya kaki."

"Iya tau, tapi kan gue nggak bawa motor. Masa gue jalan kaki?"

"Di depan ojol banyak," ucap Ruda sambil berjalan menuju tempat motornya yang diparkir di depan rumah. Aku mengikutinya dari belakang.

"Lo masih marah sama gue?"

"Menurut lo?!" Tanya Ruda ngegas. Aku pun membiarkan Ruda berlalu dengan motornya. Aku melihat kepergiannya dengan lesu. Dasar adik ipar durhaka!

Aku berbalik dan melihat mbak Dara berjalan menuju motor maticnya. Dia sudah memakai helm dan bersiap menyalakan mesin motor. Aku tanpa basa basi langsung duduk di jok belakangnya.

"Kamu?" Tanya mbak Dara sedikit terkejut.

"Nebeng ya mbak? Ruda jahat nggak mau nebengin aku." Aku menampilkan wajah terbaikku agar mbak Dara berbaik hati memberiku tumpangan.

"Ya udah, lagian searah ini."
Mbak Dara mengulurkan helm bogo cokelat padaku dan  menjalankan motornya. Di perjalanan mataku fokus ke arah pinggangnya. Kalau aku pegangan di pinggangnya, mbak Dara marah nggak ya? Kalau belum di coba mana tau ya kan?

Aku pun memberanikan diri secara perlahan meraih pinggangnya dan memeluknya dengan erat.

"Apa-apaan sih kamu?" Tanya Mbak Dara. Aku melihat ekspresi terkejut di wajahnya melalui kaca spion.

"Pegangan mbak. Aku takut jatuh kalau nggak pegangan. Ini demi keselamatan suami kamu loh mbak, jadi mbak Dara jangan protes ya?" Alibiku.

"Emang pegangannya harus seerat ini?!" Protes mbak Dara.

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now