Dua Puluh Enam : Hampa tanpamu

5K 513 22
                                    

DARA

Aga belum pulang. Aku berbalik dari tidurku dan menatap jam di atas nakas. Sudah lewat tengah malam dan dia belum kembali.

Aku menatap bantal serta bagian tempat tidurnya Aga. Harum aromanya masih tertinggal disana. Ada rasa hampa yang menyelinap. Aku merasa kehampaan jelas dalam hatiku.

Tanpa terasa setetes air mata mengalir saat aku mengerjap. Seharusnya aku senang dia tak kembali. Seharusnya aku rela saat dia telah memutuskan untuk pergi. Namun kenapa hatiku sehampa dan sesakit ini? Kuhirup aroma bantalnya. Tangisku pun pecah.

Aku merindukannya. Aku rindu akan pelukannya terhadapku setiap malam. Aku rindu canda tawanya. Aku rindu tingkah kekanakannya.

Aku tertawa dalam tangisku, merutuki sikapku yang kekanakan dan plinplan. Dara yang dewasa sudah berubah seperti bocah. Aku merutuki diriku sendiri. Sadarkan dirimu Ra, kamu yang menyuruhnya untuk pergi. Kamu yang menyuruhnya untuk meninggalkanmu. Tapi baru beberapa jam dia pergi, kamu sudah menangisinya. Apa sebenarnya maumu? Ini sama saja kamu mempermainkan dia. Kamu tidak dewasa, kekanakan sekali.

Aku tidak berhenti merutuki kebodohanku. Seharusnya aku kuat dan bisa ikhlas. Mungkin saat ini Aga tengah bersenang-senang bersama teman-temannya, menikmati masa mudanya yang hampir saja aku renggut.

Semoga kamu bahagia selalu Ga. Aku rindu kamu. Tapi kamu jangan rindu aku. Lupakan aku, lupakan tentang cerita kita beberapa bulan ini. Aku tidak masalah jika aku harus membesarkan anak ini sendirian. Akan aku jaga anak ini sebaik mungkin. Jika dia telah dewasa, aku akan memberi tahunya tentang kamu.

Aku memejamkan mata, mengikuti alam bawah sadar yang terus menarikku.

Aku terbangun begitu saja. Mataku menatap jendela yang sepertinya masih gelap di luar sana. Terdengar suara kumandang adzan di kejauhan. Ini sudah subuh ternyata. Setelah menangisi kepergian Aga, aku kembali tertidur.

Berbicara tentang Aga, aku otomatis melihat sebuah tangan yang melingkar erat di perutku. Aku menolehkan kepala dan melihat Aga tertidur pulas. Wajahnya yang memang masih bocah kelihatan seperti bayi. Wajahnya teduh dan tenang.

Perlahan aku berbalik menghadapnya. Kuamati wajahnya, mulai dari mata, hidung dan bibirnya. Wajahnya kelewat sempurna.

Aku baru menyadari selama beberapa bulan ini, Aga tidak pernah absen tidur sambil memelukku. Padahal aku telah bersikeras melarangnya. Tapi kalian tahu alasan apa yang dia berikan.

"Aku kan mau peluk dedek bayi di perutmu mbak bukan peluk kamu."

Aku tak bisa berkata-kata. Inginnya sih bilang kalau peluk dedek bayi di perutku ya secara langsung peluk aku lah. Tapi aku urung, karena berdebat dengannya tak akan ada habisnya.

Aga, aku telah menyakitimu? Apa benar keputusanku menyuruhmu pergi? Apa tidak masalah kamu menghabiskan masa mudamu demi menikah dan hidup bersamaku? Apa kamu benar-benar bahagia kita bersama Ga? Apa aku boleh egois sekali ini aja Ga? Apa aku boleh hanya memikirkan kita tanpa melibatkan hal lainnya? Ingin kulontarkan semua pertanyaan itu padanya. Tapi aku merasa tidak yakin.

"Uhuk! Udah belum sih mbak lihatin aku?" Pertanyaan Aga membuatku terkejut. Jadi, dia tidak tidur. Tapi dengan mata terpejam seperti itu, bagaimana bisa dia tahu kalau aku tengah memperhatikannya?

"Kamu.. kamu nggak tidur?" Tanyaku gugup.

Dia membuka matanya dan bersitatap langsung dengan mataku.

"Aku nggak bisa tidur. Jadi, gimana setelah lihatin wajah aku? Aku ganteng banget ya mbak?" Tanyanya ceria seperti tidak terjadi sesuatu diantara kami beberapa jam yang lalu. Tapi setelah tinggal dengannya beberapa bulan ini, Aga memang tipe seperti itu. Pengalah, perhatian, mudah memaafkan dan tahu kapan harus berhenti berdebat denganku.

Make A Baby with Berondong (Selesai)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora