Dua puluh Empat: Cemburu Menguras Air kolam

5K 458 21
                                    

AGA

Aku mengintip melalui celah pintu yang tadi kubuka perlahan. Kulihat mbak Dara dan Elang masih berbincang. Perbincangan mereka cukup asik hingga nggak sadar aku menguping sedari tadi.

Sepertinya keadaan masih cukup aman untuk kutinggalkan mereka berdua. Seenggaknya mereka duduk berjauhan. Aku menutup pintu dengan pelan agar nggak menimbulkan suara. Bergegas aku melucuti seragam sekolahku lalu mandi.

Sepuluh menit untukku menyelesaikan urusan mandi dan berganti pakaian yang lebih nyaman, kaos oblong warna putih dan celana  chinos pendek berwarna cokelat  menjadi pilihanku.

Aku kembali membuka pintu kamar dengan pelan lalu melihat ke arah ruang tamu. Bola mataku membesar saat aku melihat Elang sudah pindah tempat duduk di samping mbak Dara. Cuma sepuluh menit aku tinggal, mereka sudah duduk berdampingan. Bagaimana kalau aku tinggal satu jam, mereka mungkin sudah kabur ke pelaminan. Amit-amit, jangan sampai. Kalau sampai terjadi, akan ku kebiri si Elang-Elang itu.

Aku membuka pintu lebar-lebar lalu berjalan keluar dari kamar. Saat melewati mereka, aku berdeham dengan kencang. Mereka hanya menoleh sekilas padaku lalu kembali asik dengan dunia mereka sendiri.

Kesal, maka dari itu aku melewati mereka begitu saja lalu berjalan ke arah dapur. Ternyata perasaan kesal membuatku lapar. Aku membuka kulkas dan menemukan brownis dan cake strowberi di dalamnya. Aku mengambil sepiring brownis lalu kembali berjalan menuju ruang keluarga yang berdampingan dengan ruang tamu. Ruang keluarga dan ruang tamu di rumah ini untung saja tanpa sekat, jadi aku bisa dengan leluasa mengawasi mereka.

Kulihat mereka terlibat obrolan yang cukup menyenangkan, tapi nggak buatku. Mereka sama sekali nggak melirik keberadaanku, berasa aku ini hanyalah makhluk nggak kasat mata.

Aku sengaja berlama-lama menghabiskan sepiring brownis di hadapanku sembari melirik ke arah mereka. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, tiga puluh menit, pembicaraan mereka belum juga selesai. Aku menajamkan pendengaranku.

"Jadi, nanti kamu buat kaya gini aja. Terus coba-coba kamu pasang di medsos." Itu suara Elang.

"Kok aku nggak yakin ini bakal sukses ya El?"

"Nggak ada yang instan baby, semua perlu proses. Mie instan aja perlu diolah biar bisa dimakan."

Uhuk.. uhuk!!
Tunggu! Baby katanya? Mbak Dara segede itu dibilang bayi? Bukan, bukan. Aku tahu itu bukan panggilan untuk bayi, tapi panggilan sayang. Wah, ini laki minta ditabok pakai sekop beneran kayanya.

Aku masih terbatuk sambil memukuli dadaku. Tanganku lantas meraih gelas di atas meja yang ternyata nggak ada, aku lupa membawa minum.

"Kenapa Ga?" Tanya Mbak Dara, dan aku hanya menggeleng sambil terbatuk-batuk.

"Itu namanya karma Ga, makan sendiri nggak mau bagi-bagi," tambahnya lagi. Aku nggak peduli dan lari menuju dapur. Kutegak segelas besar air putih hingga tandas, namun rasa pengar di saluran pernafasanku masih berasa.

Saat kembali ke ruang keluarga, aku melihat mbak Dara dan Elang kembali terlibat obrolan. Bahkan duduk mereka makin berdempetan.

"Jadi, nanti kamu bikin kaya gini, gini terus gini."

"Tapi aku nggak jago di bagian kaya gini El, aku minta tolong sama kamu aja ya?"

"Ya udah nggak apa. Apa sih yang nggak buat kamu." Aku melotot tajam saat kalimat itu meluncur dari mulut Elang.

"Makasih loh El, aku nggak tahu kalau kamu tadi nggak kesini. Udah lama sih aku kepikiran dengan ide ini, tapi masih minder."

"Kalau kamu minder terus ya nggak bakal maju Ra. Semangat dan percaya diri ya," ucap Elang sembari mengelus rambut mbak Dara.

Gila! Gila! Gila! Kalian dengar suara gunung api meletus atau petir menyambar nggak sih? Kok aku dengar ya, suaranya kencang banget.

Ini juga panas banget, apa pintu neraka dibuka?  Kalau iya, aku ingin melempar Elang itu masuk ke neraka.

Aku meletakkan gelas yang kubawa dari dapur ke atas meja dengan kasar  hingga menimbulkan denting kencang, perpaduan dari gelas kaca dan meja kaca di ruang keluarga.

Mbak Dara dan Elang menoleh padaku.
"Kenapa Ga?"

"Nggak mbak, tanganku licin. Cuacanya panas banget ya mbak?"

Mbak Dara melihat ke luar melalui pintu utama yang dibuka lebar.

"Nggak kok. Ini udah sore, mendung juga malahan."

"Iya sih, tapi kok aku gerah banget ya. Jadi pengen berenang."

"Ya udah berenang sana. Aku masih ada sedikit urusan sama mas kamu ini."

'Mas kamu'? Haloooo twingki-wingki, dhipsy, lala, pooo. Sejak kapan dia jadi mas aku? Nggak sudi gua!

"Oh ya udah lanjutin aja kalau gitu," jawabku pada akhirnya. Dengan kesal aku berjalan ke arah kolam renang yang terletak tepat di samping ruang keluarga.

Aku melepas kaos dan celanaku dan hanya menyisakan celana dalam boxer hitam lalu langsung masuk ke kolam. Nggak perlu pakai pemanasan karena badanku udah panas semua.

Dari kolam renang, aku masih bisa melihat mbak Dara dan Elang lewat dinding kaca ruang keluarga. Sekali lagi aku berdecak kesal saat tangan Elang mengusap kepala Mbak Dara dengan sayang. Tanganku sibuk mencabuti rumput hijau di samping kolam sambil bersandar di dinding dalam kolam, tapi mataku terus terfokus pada dua sejoli di dalam sana.

Kapan sih Elang itu pulang? Bikin kesal saja.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Elang pergi dan aku bisa bernafas dengan lega. Mbak Dara menoleh kesini dan berjalan mendekat ke arahku.

"Asik ya yang habis ketemu dan ngobrol sama mantan," sindirku.

"Biasa aja," jawabnya. Wajah mbak Dara terlihat nggak biasa. Wajahnya sama sekali nggak menunjukkan kalau dia senang.

"Masa? Bukannya mbak Dara senang ya habis ketemu mantan."

"Biasa aja."

"Bohong. Aku lihat tadi mbak Dara salah tingkah. Kenapa? Hati mbak kembali berdebar ya di dekat dia?" Mbak Dara nggak menjawab.

"Kayanya perjuanganku harus berkali-kali lipat buat dapetin hati mbak Dara, apalagi saingannya sang mantan."

"Sebelum kamu berjuang dan bersaing sama Elang, mending kamu urus dulu kolam renangnya," katanya sambil tersenyum miring.

"Kenapa dengan kol..." Aku tertegun saat memperhatikan kondisi kolam renang yang sudah dipenuhi oleh rumput hijau. Ditanganku masih ada sejumput rumput. Aku baru sadar kalau tanganku sedari tadi bermain dengan rerumputan, dan ternyata rumput tersebut aku masukkan ke dalam kolam renang. Astaga!

"Kamu kalau mau merumput jangan sambil berenang," katanya.

"Ini kan gara-gara mbak Dara," jawabku nggak mau kalah. Memang benar ini salah dia kok.

"Kok jadi aku yang disalahin?" Tanyanya bingung.

"Emang mbak Dara yang salah."

"Emang salahku dimana?"

"Seriusan mbak Dara nggak tahu salahnya dimana?" Mbak Dara menggeleng dan aku hanya bisa menghela nafas. Dia nggak peka atau pura-pura nggak peka sih?

"Ya udah mbak Dara deketan sini, biar aku bisikin salahnya mbak dimana?"

"Nggak mau. Ngomong langsung aja, nggak usah bisik-bisik, nggak ada orang juga selain kita. Eh, tapi daripada itu, mending kamu cepetan keluar dan bersihin ini kolam renang."

"Males ah, biar bibi besok aja. Mbak Dara beneran nggak mau aku kasih tau salahnya?"

"Aga! Jangan gitu, kasihan bibi. Kamu cepetan naik terus ambil peralatannya."

"Ya udah, bantuin naik kalau gitu mbak." Aku mengulurkan tangan dan dengan enggan mbak Dara meraih tanganku.  Meskipun  begitu aku nggak bisa menyembunyikan senyumku.

Kerjain aja dulu kali ah...

♤♤♤
Bersambung...
Halah.. suka-suka lo aja deh Ga. Capek aku tuh.. mau bobok ciang dulu 😴😴😴

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now