Dua puluh sembilan

4.5K 411 14
                                    

Aga

"SIALAN! BANGSAT!!"

"Ngumpatnya nggak usah pakai capslock, biasa aja woi!" Teriakku nggak santai.

Ruda meludahkan darah dari mulutnya dengan kesal. Aku pun ikut menyeka darah di sudut mulutku dan mengaduh karena perih.

Gila! Setelah aku dan Ruda berduel hingga babak belur, sekarang ini kami berbaring dengan nafas tersengal di atas rerumputan lapangan sekolah. Aku memandang langit cerah, terik matahari menusuk kornea mataku hingga membuatku silau.

"Apa gue bilang, gue nggak akan kalah sama lo," ucapku sambil menahan perih di sudut bibir.

"Gue sengaja ngalah sama lo asal lo tahu."

"Cih! Gaya lo belagu!" Aku berdecih mendengar nada sombongnya.

"Demi mbak Dara dan anaknya. Klo lo gue bikin mati, mbak Dara bakal menjanda dan anak di rahimnya langsung jadi anak yatim. Mana tega gue!"

"Gue nggak bakal mati semudah itu, apalagi tanpa lihat wajah anak gue."

"Ga, gue udah maafin lo terlepas dari sikap  ngeselinnya elo. Tapi awas kalau sampai lo menyakiti mbak Dara, gue libas lo pake truk tronton."

Aku tersenyum simpul mendengar nada ancamannya.

"Gue nggak janji Rud dan gue nggak bisa jamin mbak Dara nggak bakalan nangis karena gue. Tapi satu hal yang pasti, gue akan menyayangi mbak Dara dan anak gue setulus hati  dan seluruh raga gue."

Kami sama-sama terdiam. Aku sibuk menghalau sinar matahari yang menyengat kulitku.

"Rud, ngomong-ngomong sampai kapan kita bakal berjemur kaya bule nyasar gini? Panas banget nih, gue jadi takut kulit gue hitam terus mbak Dara kecewa karena kadar kegantengan gue berkurang."

"Yang nyuruh lo berjemur siapa? Berteduh sana!" Kulihat Ruda beranjak berdiri dan berjalan menuju motornya.

"Mau kemana lo?" Aku bangun dari rebahanku dan melihat Ruda.

"Balik."

"Nggak mampir ke rumah gue?"

"Males."

"Nggak ke rumah Kinda minta diobatin?"

"Nggak. Males dengerin omelannya." Lalu Ruda pergi meninggalkan aku yang masih menatap lapangan hijau yang luas dengan terik matahari yang menyengat kulit padahal hari sudah beranjak sore.

Aku bangun dan berjalan menghampiri motor yang kuparkir di pinggir lapangan. Sebelum memakai helm, aku berkaca pada kaca spion. Aku mendesah pasrah, mbak Dara pasti ngomel kalau aku pulang dalam keadaan babak belur gini. Tapi nggak masalah sih, omelan mbak Dara kan merdu ngalahin merdunya alunan simponi cinta.

Nggak lama kemudian aku sudah sampai rumah. Aku melihat mobil terparkir di halaman. Yang aku syukuri, mobil itu bukan mobil Elang tapi mobil papa.

"Assalamualaikum," sapaku dari luar pintu. Aku masuk dan mendengar jawaban salam dari dalam rumah.

"Baru pulang kam...Astaga! Muka kamu kenapa? Kamu habis berantem? Tawuran? Atau kecelakaan?" Mami menatap diriku dengan raut wajah khawatir.

"Aku nggak apa mi," jawabku sambil menyalamu mami dan juga papi yang tengah duduk di sofa. Aku lantas menghampiri mbak Dara yang tengah menatapku dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Sepertinya dia marah atau khawatir? Lalu mataku turun pada bayi mungil yang berada di pangkuan mbak Dara.

"Halo, Hinata, kangen sama abang ya? Uh.. kamu makin cantik aja sih," kataku sambil mengambil bayi mungil tersebut. Bayi tersebut adalah adikku yang lahir tiga bulan yang lalu.

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now