Lima belas : Dilamar

5.6K 531 27
                                    

Dara Aurora

Hari ini aku mengambil libur dari kantor.  Rasanya perutku selalu mual dan kepalaku pusing meski aku sudah meminum obat resep dari dokter.

Aku  meringkuk di bawah selimut dengan pikiran kosong. Sebenarnya masih ada banyak hal yang harus dipikirkan. Tentang kelanjutan hidupku ke depannya. Tentang masa depan yang akan aku hadapi saat aku memutuskan membesarkan janin yang ada dalam rahimku seorang diri. Bagaimana aku menghadapi cemooh orang-orang tentang wanita yang hamil tanpa menikah? Disaat seperti ini, aku berharap tidak hidup di Indonesia dengan budaya timur yang kental.

Aku mendengar kasak kusuk di bawah sana. Hari masih pagi, mungkin bapak, ibu dan Ruda tengah sarapan bersama. Aku tidak ingin turun sarapan, karena percuma, tiap yang kumakan pasti akan aku muntahkan kembali.

Setelah tahu aku hamil, sikap bapak dan ibu agak sedikit berbeda. Aku jelas paham kalau kedua orang tuaku kecewa dengan kehamilanku dan juga keputusanku yang ingin merawat janin ini sendiri. Lalu Ruda, dia mendiamkanku. Meski kamar kami bersebelahan dan sering berpas-pasan, dia sengaja membuang muka dan mengacuhkanku. Aku tahu dia juga kecewa padaku atau mungkin marah.

Jujur saja, aku tidak sanggup melihat dan menghadapi raut kecewa yang tercetak jelas di wajah keluargaku.

"SIALAN! JADI ELO PELAKUNYA? SETAN!"

Aku terperanjat mendengar suara teriakan keras milik Ruda, disusul suara meja yang berderit panjang. Aku terbangun dengan terburu-buru dan lari keluar kamar.

Saat aku sampai di bawah, aku terkejut  melihat Ruda tengah memukuli Aga.

"Brengsek! Berani-beraninya lo hamilin kakak gue!" Aku semakin dibuat terkejut saat kalimat itu keluar dari mulut Ruda.

Ruda tidak berhenti memukuli Aga yang terlihat pasrah tanpa perlawanan. Aku melihat sekeliling, ada bapak sedang memeluk ibu yang tengah menangis. Lalu aku melihat seorang perempuan cantik dengan kondisi tengah hamil besar. Perempuan itu hanya berdiri sambil menatap perkelahian Ruda dan Aga.

Dan oh ada satu orang lagi, seorang pria tinggi dengan wajah rupawan. Matanya ikut menatap Ruda yang memukuli Aga, tapi tangannya memegang erat tangan si perempuan tadi. Aku taksir mereka adalah sepasang suami istri. Tapi siapa mereka? Kenapa bisa ada disini?

"Lo nggak ada cewek lain sampai kakak gue lo embat juga hah?!!"

"Gue kira selama ini kita sahabatan! Gue kira lo tulus sahabatan sama gue! Jadi, ini niat lo sebenarnya sering main ke rumah ini?! Bejat lo!"Teriak Ruda marah. Aku bergegas menghampiri Ruda dan menahannya yang akan kembali memukuli Aga.

"Cukup Rud!" Kataku tegas. Ruda menoleh cepat padaku.

"Nggak! Ini belum seberapa dengan tingkah dia yang udah bikin malu keluarga kita mbak. Dia harus dibikin babak belur, kalau perlu masuk UGD sekalian!" Ruda sudah siap melayangkan pukulannya kembali tapi aku kembali menahannya. Aku melirik Aga yang kondisi wajahnya sudah tak tertolong. Sudut bibirnya robek, hidungnya mengeluarkan darah dan bercak hitam kebiruan di wajahnya membuatku meringis. Pasti sakit banget.

"Udah Rud. Ini nggak adil kalau kamu mukulin dia," kataku.

"Kenapa? Mbak mau belain dia karena dia ayah dari anak yang mbak kandung?" Tanya Ruda sengit.

"Bukan. Tapi kesalahan nggak hanya pada Aga aja Rud. Mbak juga salah."

"Nggak. Jelas yang salah adalah si brengsek itu. Pasti mbak di paksa kan? Aku nggak akan maafin dia mbak." Aku melihat mata Ruda berkaca-kaca. Dia kecewa. Dia terluka. Ruda pasti merasa dikhianati oleh sahabat dan juga kakaknya.

"Mbak dipaksa dia kan?" Tanya Ruda lagi. Matanya menatapku penuh harap. Aku melihat bapak dan ibu dengan tatapan yang sama.

Kuremas tanganku dengan kuat. Airmataku menggenang pekat. Kalimat yang akan keluar dari mulutku mungkin akan membuat rasa kecewa di mata keluargaku semakin kental. Aku melirik Aga yang juga menatapku. Dia tidak seharusnya menanggung ini semua sendirian. Lagipula kenapa tuh bocah bodoh banget sih? Aku sudah memberikan kesempatan untuk tutup mulut, tapi kenapa dia.....? Hah! 

Sudahlah.

Aku menggeleng perlahan.

"Kami melakukannya tanpa paksaan. Aku dan Aga sadar saat melakukannya."  Aku tertunduk tapi aku bisa mendengar suara terkesiap ibu dan tangisannya.

"BRENGSEK!!" Ruda berteriak keras. Kakinya menendang meja di sampingnya hingga bergeser beberapa meter.

"Maafin mbak Rud," kataku pelan. Ruda mengusap mukanya dengan kasar.

"Aku kecewa sama mbak Dara."

Iya aku tahu kamu kecewa Rud. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Rasa kecewamu tidak bisa mengembalikan semuanya ke awal.

"Gue juga kecewa sama lo Ga. Selama ini gue nggak ambil pusing lo sering gonta-ganti cewek atau nempelin cewek. Tapi gue beneran nggak ikhlas lo giniin mbak gue."

"Sorry Rud," bisik Aga.

Hening beberapa menit hingga suara perempuan cantik itu terdengar.

"Maaf sebelumnya, kami adalah orang tua Aga. Saya Marsha, maminya Aga." Perempuan bernama Marsha tersebut berjalan menghampiri  Aga. Aku cukup terkejut mengetahui fakta bahwa perempuan yang masih terlihat cantik dan muda itu adalah ibunya Aga. Dan yang membuatku semakin tercengang, beliau diam saja saat anaknya dipukuli oleh Ruda.

"Kami kesini dengan niat tulus ingin meminta maaf karena ulah anak kami. Kami sadar kami salah dalam mendidik anak kami. Dan juga saya dan suami saya sepakat Aga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."

Bapak, ibu dan Ruda tak bergeming dari tempat  mereka berdiri. Aku melihat ibu Marsha dan merasa kasihan. Pasti tidak nyaman berdiri lama dengan kondisi perut sebesar itu.

"Duduk dulu bu Marsha," aku menarik sebuah kursi dan membiarkan ibu Marsha duduk.

"Terima kasih." Dia terlihat lega dan mengelus perutnya pelan. Melihat perutnya yang besar membuatku refleks memegang perutku. Apa nanti perutku juga akan sebesar itu?

"Kalau tidak keberatan, kami ingin melamar nak Dara pak, bu. Aga juga setuju untuk menikahi  Dara."

Aku terpaku. Menikah dengan Aga? Ini tidak benar. Bukan. Ini bukan mauku. Bagaimana mungkin aku menikahi Aga dengan kondisi bocah itu yang masih terlalu muda dan saat ini masih sekolah?

"Aku nggak setuju." Suara Ruda terdengar memecah keheningan.

"Dia nggak pantas jadi suami mbak Dara. Biarin aja nanti anak mbak Dara, aku yang bantu urus. Aku nggak percaya sama dia!" Mata Ruda menatap tajam ke arah Aga.

"Ruda, kamu diam dulu. Biarpun sudah begini, tapi keputusan tetap saya serahkan ke anak kami pak Bu," ucap Bapak dengan sabar. Ibu undur diri ke dapur dan selang beberapa menit masuk ke ruang tamu lagi sambil membawa nampan dengan beberapa gelas air minum.

"Jadi, bagaimana nak Dara, kamu mau kan menikah dengan Aga. Mungkin pernikahannya untuk saat ini dilakukan secara agama dan tertutup dulu karena Aga masih sekolah. Nanti kalau Aga sudah lulus baru disahkan secara hukum dan sekalian resepsi."

Aku terdiam. Aku melirik ayah Aga yang diam sejak awal dan hanya setia menemani istrinya. Aga melihatku dengan tatapan kosong. Aku melirik Ruda yang tengah menatapku. Kulirik juga bapak dan ibu yang menatapku, menunggu jawaban. Ekspresi dan raut wajah bapak dan ibu yang terlihat pasrah, lelah dan juga kecewa membuatku semakin merasa bersalah. Tapi mungkin keputusanku selanjutnya akan semakin membuat mereka semakin kecewa dan sedih.

"Saya......."

😎😎
Bersambung...
Maaf baru nongol dan baru bisa up. Harap dimaklumi.

Oh ya, yang belum baca cerita orang tuanya Aga, silahkan baca My Boss my neighbor. Kalau yang mau baca cerita opanya Aga, judulnya My big boss. Tapi sebagian part di wattpad sudah di unpublish ya karena part tersebut aku publish di karyakarsa.
karyakarsa.com/Meirhy94

Makasih buat support, vote dan komennya. Tandai typo, dan met baca

Meirhy

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now