Sembilan : mau coba nggak?

9.1K 531 5
                                    

Sebuah kecupan ringan mengakhiri ciuman Aga padaku. Aku menatapnya, begitupun dengannya. Mata kami saling bertemu dengan nafas terengah akibat ciuman yang diberikan Aga padaku beberapa saat yang lalu. Posisi kami masih berada pada posisi rawan dengan aku berbaring di sofa dan Aga berada di atasku.

Mataku menyusuri wajahnya yang lumayan tampan dan berhenti di satu titik, di bibirnya. Bibirnya berwarna merah alami, membuatku berasumsi kalau dia tidak merokok. Bibir itu yang beberapa saat lalu membuatku terbuai hingga aku membalas ciumannya.

"Jangan lihatin aku kaya gitu mbak!" Bisiknya parau. Wajahnya terlihat memelas.

"Kenapa?" Tanyaku tak mengerti.

"Kamu masih tanya kenapa mbak? Kamu nggak tahu atau pura-pura nggak tahu sih mbak?" Mimik mukanya makin terlihat resah. Tapi nada suaranya terdengar kesal.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya menatap wajahnya dengan ekspresi bingung.  Akhirnya dia bangkit dari atas tubuhku, melihatku sebentar sebelum berjalan ke arah pintu dan menguncinya.

"Eh, itu pintu kenapa dikunci?" Tanyaku terkejut.

"Menurut mbak kenapa?" Tanyanya sambil berjalan kembali kearahku. Perasaanku mulai tidak tenang. Aku merasa gelisah dengan jantung berdetak kencang seiring langkahnya yang semakin dekat.

Dia berhenti tepat di depanku dan duduk di atas meja, berhadapan langsung denganku.

"Mbak Ara beneran nggak tahu kenapa aku mengunci pintu itu?"

Aku bukan wanita bodoh. Di usiaku yang segini mana mungkin aku tidak tahu maksudnya. Tapi tetap saja aku merasa ini tidak benar.

"Kamu jangan macam-macam! Buka lagi pintu itu!" Perintahku galak. Dalam hati aku ketar-ketir diantara perasaan takut, gugup, dan juga penasaran kira-kira hal apa yang akan dia lakukan.

"Kalau aku nggak mau gimana? Lagian aku nggak akan macam-macam. Cukup satu macam aja kok mbak." Dia mengerlingkan mata nakalnya, menggodaku.

"Satu macam apa?" Tanyaku dengan bodohnya. Pertanyaanku mengandung bahaya, aku sadar tapi sudahlah. Pikiran serta mulutku sepertinya sedang tidak selaras.

"Mau tahu?"

"Nggak!" Mulutku memang berkata seperti itu tapi kenapa kepalaku justru mengangguk? Buru-buru aku menggelengkan kepala. Membuat bocah di depanku ini tertawa.

"Duh lucu banget, gemesih deh," katanya sambil mencubit pipiku.

Astaga! Aku dibilang lucu dan menggemaskan! Oh ayolah, diusiaku ini, aku tidak pantas dapat sebutan itu. Tapi kenapa rasanya pipiku memanas? Sepertinya aku berubah jadi remaja perempuan yang baru jatuh cinta. Eh, jatuh cinta? Sama bocah ini? Oh no! Gila, aku beneran gila.

Tangannya masih berada di pipiku, menyentuh pipiku dengan lembut. Aku menatap matanya hingga pandangan kami bertemu. Perlahan tapi pasti jarak diantara wajah kami mulai terkikis. Nafasku berderu cepat dengan jantung mau meledak. Tepat sebelum bibir kami mulai bersentuhan, dia berucap lembut.

"I like you." Suaranya yang parau dan nafasnya yang hangat menerpa bibirku membuatku tanpa sadar memejamkan mata, hingga bibirnya kembali menempel di bibirku, mengoyak kewarasanku hingga hancur lebur.

Aku menikmati kecupannya, lumatannya dan juga permainannya yang membuatku kian terlena. Ini hal baru untukku. Ya, meski usiaku sudah masuk usia dewasa, tapi bagiku ini adalah pengalaman pertama. Saat bersama Elang dulu tidak seperti ini. Elang dan Aga berbeda. Elang cenderung pasif, bahkan skinship yang kami lakukan bisa aku hitung dengan jari. Tidak ada perasaan memabukkan dan ingin disentuh seperti ini.

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now