Empat belas : Keputusan

5.9K 576 38
                                    

Rafan Agantala

Aku memasuki rumah dengan lesu. Di ruang tengah Nyonya Marsha atau biasa aku panggil mami sedang merangkai bunga. Perutnya yang besar sama sekali nggak menghalangi aktivitasnya. Aku mengambil duduk di samping beliau dan menyandarkan kepala di bahunya. Mami tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan lembut, meninggalkan aktivitasnya merangkai bunga.

"Gimana percobaan ujian hari ini? Anak mami pasti nggak kesulitan kan?"

"Lumayan lah mi." Pikiranku kacau balau. Aku nggak bersemangat sama sekali. Aku hanya ingin bersandar di bahu orang yang paling aku sayangi. Memikirkan kejadian tadi membuat kepalaku pusing. Kuhela nafas panjang berharap beban di dadaku sedikit melonggar.

"Kenapa sayang, kamu ada masalah? Soal ujiannya terlalu sulit?"

Aku menggeleng. Soal ujian nggak akan membuat kepalaku nyaris meledak seperti ini. Masalah yang aku hadapi terlalu besar. Andai saja malam itu aku lebih bisa mengendalikan diri. Andai saja aku  nggak menuruti insting hewaniku demi memuaskan rasa penasaran, semua kejadian ini nggak akan menimpaku. Yang tersisa hanya pengandaian. Realitanya sekarang aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku.

Tapi sekarang aku harus bagaimana? Mbak Ara nggak ingin aku bertanggung jawab. Dia ingin aku tetap bungkam. Tapi bagaimana mungkin aku bisa?  Aku bukan cowok pengecut yang berani berbuat tapi meninggalkan tanggung jawab begitu saja.

Namun masalahnya, bagaimana caranya aku memberitahu kedua orang tuaku? Aku nggak yakin aku akan selamat dari amukan Papi. Dan aku mungkin nggak akan sangup melihat raut kecewa di wajah Mami.

Ya Tuhan! Tertimpa masalah ternyata cukup sulit.

"Kalau emang kamu kesulitan, mami akan bantu. Atau kamu perlu guru untuk bimbel?"

Yang aku perlukan sekarang bukan guru bimbel mi, tapi mungkin penghulu sama doa restu mami.

Aku memeluk mami dan perutnya yang tampak besar. Nggak akan lama lagi bayi yang selama ini kami harapkan akan segera lahir. Sudah lama kedua orang tuaku menginginkan anak lagi. Dan baru tahun ini Mami bisa mengandung karena setelah melahirkanku, katanya Mami agak susah hamil lagi. Untunglah jaman sekarang dunia medis semakin canggih. Mami dan Papi menjalani proses bayi tabung dan kini hanya tinggal menunggu waktu hingga adikku lahir.

Aku mengelus perut Mami yang tampak besar. Kenapa Mami sangat ingin hamil lagi? Apa hamil itu nggak bikin repot dan bukannya proses melahirkan itu katanya menyakitkan?

"Waktu mami hamil aku, mami kaya gini juga?"

"Ya jelas dong Ga."

"Merepotkan nggak mi? Mami kesulitan?" Tanyaku khawatir.

Mami tersenyum lembut padaku.

" Kamu nggak akan tahu gimana rasanya nahan mual serta pusing di trimester pertama. Kaki sering kram, mudah lelah, serta mudah emosi. Dan kalau udah memasuki trimester akhir, pinggang sakit, kaki bengkak, dan susah tidur karena harus buang air terus."

"Tapi kenapa mami pengen hamil lagi padahal tahu hamil sangat merepotkan?"

"Karena memiliki bayi kecil itu lucu dan menyenangkan. Mungkin juga bikin lelah karena kita akan sering begadang. Tapi diluar itu semua, memiliki bayi lucu bisa sangat membahagiakan. Mami dulu bahagia banget pas kamu lahir. Apalagi papi. Papi sampai nggak rela kamu digendong sama opa oma kamu."

"Mami nggak kesakitan waktu melahirkan aku dulu?"

"Sakit. Rasanya kaya seluruh tulang mami dipaksa lepas. Melahirkan itu taruhannya nyawa Ga. Tapi begitu lihat kamu lahir dengan selamat, mami merasa lega dan bahagia. Seluruh rasa sakit mami seakan melebur gitu aja hanya karena mendengar suara tangisan kamu."

Make A Baby with Berondong (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang