Tiga Puluh : Membara 18+

9.2K 498 20
                                    


Warning!!
18+  Bocil minggir dulu ya biar otaknya ga terkontaminasi.
Bijaklah membaca. Yang nulis author, dosa yang nanggung bersama, oke! SIAP?!!

Met baca!

Dara

Aku terkejut saat Aga tiba-tiba menempatkan bibirnya di atas bibirku. Aku berusaha memberontak dan menghindar tapi tangan Aga menahan tengkukku dan memperdalam ciumannya. Bibirnya bergerak sangat lincah di atas bibirku. Ini bukan pertama kalinya kamu berciuman setelah menikah. Aga kerap melakukannya meski dengan curi-curi kesempatan. Tapi aku merasakan hal berbeda dari ciumannya kali ini. Ciumannya kali ini begitu lembut, intens dan panas.

Bibir kami bertaut, aku membalas ciumannya karena hanyut dalam godaan bibirnya. Lidah Aga berusaha menelusup masuk diantara celah bibirku. Aku mendesah saat lidahnya menari di dalam mulutku, bertaut dengan lidahku. Entah setan apa yang mempengaruhiku, aku begitu menggebu-gebu memblas ciuman Aga.

Terdengar pekikan kecil dari mulut Aga saat aku mencumbu bibirnya dengan tidak sabaran. Mungkin luka di sudut bibirnya yang menyebabkan dia memekik. Tapi seolah aku dikuasai hawa nafsu, aku nggak mempedulikan rasa sakitnya. Aku semakin menikmati percumbuan kami. Tanganku bergerak meraih tubuhnya. Jemariku perlahan menelusup ke balik kaos yang dia kenakan dan merasakan otot-otot perutnya yang kejal. Aku kembali mendengar rintihannya, tapi aku taksir itu bukan  rintihan rasa sakit tapi rasa putus asa akibat sentuhanku.

Kami menjeda ciuman kami demi meraup oksigen sebanyak mungkin. Nafas kami tersengal tapi tak menunggu lama hingga bibir kami kembali bertautan, tergesa dan membabi buta. Seolah dengan hanya ciuman  tak cukup, tangan kami sibuk dengan tugas masing-masing. Aku merasakan tangan Aga yang menelusup masuk ke dalam kemejaku. Jemarinya mengelus perutku yang membuncit lalu perlahan naik ke dadaku. Tangannya mulai meremas dan aku tak kuasa menahan desahan yang keluar dari mulutku.

"Hah.. Aga!" Aku merapatkan tubuh padanya. Tanganku yang sedari tadi berada di kulit perutnya perlahan turun menyusuri karet pinggang celananya. Turun, turun dan semakin menurun hingga aku merasakan miliknya yang keras.

"Ah.. !" Aku mendengar desahannya dan bagiku itu sangatlah indah. Tanganku bermain-main di atas miliknya membuatnya melepaskan ciumannya dan memelukku erat. 

"Mbak, rasanya aku mau gila. Hah!" Entah kenapa aku merasa puas mendengar nada putus asanya. Aku menekan miliknya dan dia kembali mendesah.

Bibirnya kembali bergerak, menciumi setiap jengkal leherku dan menghisapnya kuat. Aku ikut mendesah merasakan sensasi panas dan perih yang bercampur jadi satu. Bibirnya semakin turun hingga dadaku. Dan...

Ceklek
Suara pintu terbuka lalu disusul suara perempuan yang sangat aku kenali.

"Maaf mami ganggu bentar. Mami cuma mau jemput Hinata."

Aku segera mendorong Aga hingga dia terjungkal dari kasur. Aku lekas berdiri dan memandang mami Marsha dengan malu.

"Hi-hinata," aku berdeham saat kudapati suaraku seperti suara tikus terjepit.

"Hinata sedari tadi tidur. Mami udah selesai kondangannya?" Aku tidak berani menatap mata mami. Sumpah! Rasanya aku ingin masuk ke kardus atau apapun itu biar mami tidak  melihat wajahku yang pastinya sudah memerah. Aku malu ya Tuhan. Masa grepe-grepean kepergok mertua.

"Udah, ini mau jemput Hinata soalnya udah mau maghrib," jawab Mami.

"Nggak makan malam disini mi?"

"Kayanya nggak bisa, papi udah ngajakin pulang terus. Lagian kalau kami disini pastinya bakal ganggu kalian."

"Nggak ganggu kok mi," kataku berusaha menyangkal.

"Nggak apa, mami maklum. Ya udah lanjutin aja. Mami pamit dulu ya?" Mami Marsha mengambil Hinata dan menggendongnya.  Sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu, mami berbalik dan tersenyum padaku

"Tapi hati-hati ya sama janin kamu Ra."

"Kamu juga Aga, kamu mainnya pelan-pelan aja."

"Tapi mi.. mami!" Panggilku namun tak dihiraukannya. Mami menutup pintu begitu saja setelah mengatakan hal yang membuatku serasa ingin pakai pintu kemana sajanya doraemon jika ada.

Aku duduk di atas ranjang dan mendesah frustasi. Aku tidak akan semalu ini kalau saja aku tidak terhanyut oleh permainan Aga. Tapi kenapa aku bisa begitu berani. Padahal aku sendiri yang meminta Aga untuk tidak melakukan skinship berlebihan. Tapi itu tadi, kami bahkan sudah sangat jauh bahkan jami hanya tinggal menaggalkan pakaian dan.. Ah aku segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir berbagai pikiran kotor dan mesum di otakku.

Aku kenapa sih bisa lepas kendali? Masa ini karena efek hormon kehamilan ini?

"Mbak." Panggilan Aga membuatku melirik Aga yang masih duduk di lantai.

"Mbak Dara," panggilnya lagi.

"Apa sih Ga?" Tanyaku agak sewot. Aku kesal karena hampir hilang kendali tadi. Ini seperti bukan diriku. Dalam keadaan sadar aku tidak mungkin berbuat sejauh ini kecuali aku dalam keadaan mabuk. Tapi aku kan sedang tidak mabuk. Tapi kenapa? Kenapa? Ah bikin malu saja.

"Aku tahu mbak Dara bingung dan juga malu. Tapi itu alami mbak, itu normal," kata Aga sembari duduk mendekatiku. Dia meraih tanganku dan mengecupnya.

"Aku rasa ada yang salah sama aku Ga."

"Nggak ada yang salah sama kamu mbak. Itu hal yang naluriah dan kamu wajar kaya gitu."

"Tapi aku biasanya nggak lepas kendali kaya gitu Ga," kataku kesal.

"Mungkin itu keinginan anak yang ada dalam perut kamu mbak."

"Masa iya?" Tanyaku.

"Iya pasti mbak. Kali aja dedek bayinya minta dijenguk Ayahnya."

"Minta dijenguk?"

"Ya."

Aku menatap wajah Aga yang dipenuhi harapan.

"Masa sih? Itu bukan akal-akalan kamu kan?"

"Bukan mbak. Mbak kan cerdas, pinter dan sudah sarjana tuh, harusnya kamu tahu mbak kalau di ilmu kedokteran hormon kehamilan memicu gairah seksualitas. Yang artinya sama saja dengan anak di rahim mbak ngidam ingin ayahnya jengukin dia."

"Kemu belajar ilmu kedokteran dari mana?"

"Kan aku suka baca buku dan browsing mbak. Nah, jadi gimana kalau kita lanjutkan aktifitas yang tadi sempat tertunda. Mbak nggak mau kan anak kita nanti lahirnya netesin air liur mulu gara-gara ngidamnya nggak diturutin."

"Gitu ya Ga?" Tanyaku lagi, masih merasa tidak puas oleh jawaban Aga.

"Benar mbak. Jadi, yuk yuk lanjut lagi yuk yuk."

"Ya udah yuk yuk, kamu sendiri aja yang lanjut. Aku mau masak buat makan malam." Aku berdiri, kulihat raut wajah Aga dipenuhi dengan kekecewaan.

"Yah..padahal makan malamku cukup dengan guling-gulingan di kasur sama kamu mbak."

"Guling-gulingan sendiri dulu ya anak manis soalnya anak kamu diperutku ini juga butuh asupan." Aku menepuk-nepuk pipi Aga sambil tertawa. Ah, Aga ternyata menggemaskan kalau sedang ngambek ala anak kecil gitu.

Sebelum aku meninggalkan kamar, aku mengecup pipinya sekilas.

"Dah, jangan ngambek. Lain kali aku nggak mau service kamu loh."

"Eh, maksudnya?" Dia terlihat terkejut.

"Jangan ngikutin! Kamu belajar sana selagi aku masak."

"Mbak Dara mau kasih service buat  aku?!" Teriaknya.

Sepertinya aku harus belajar menyukainya atau justru sudah. Apa mungkin aku sudah menyukai Aga? Sepertinya begitu.

♤♤♤
Bersambung..
Double up loh, suka kan?

Make A Baby with Berondong (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang