Tujuh belas : Sah

5.8K 547 22
                                    

Dara Aurora

Pagi ini penghulu yang di datangkan dari kantor Urusan Agama terdekat sudah duduk manis di ruang tamu. Beliau akan menjadi saksi pernikahan siri antara aku dan Aga, dengan bapak sebagai wali nikah selaku ayah kandungku.

Karena ini pernikahan tertutup dan rahasia, tidak ada saudara atau tetangga terdekat yang datang. Aku dibantu merias wajah oleh mamanya Aga, tante Marsha. Walaupun begitu, riasanku cukup oke dan terlihat cantik. Aku mengenakan setelan  kebaya warna merah muda dengan aksen brokat dan payet di beberapa bagian yang indah sehingga menambah kecantikanku hari ini.

"Makasih ya tan?" Kataku saat Tante Marsha menyudahi riasannya di wajahku.

"Its okay. Nggak masalah."

Entah kenapa aku merasa sungkan dengan tante Marsha. Timbul perasaan tidak nyaman dan merasa bersalah karena membuat anaknya yang masih remaja harus menikahiku dan kehilangan masa-masa remajanya.

Memang Tante Marsha tidak berkomentar apapun soal jarak umurku dan Aga. Dan aku merasa itu lebih buruk. Aku jadi tidak tahu apakah tante Marsha menerimaku menjadi bagian anggota keluarganya atau tidak.

Aku jadi berandai-andai, jika aku berada di posisi tante Marsha, aku pasti akan kecewa anakku yang harusnya bebas bermain dengan teman-temannya dan sibuk mengejar impiannya justru harus menikahi wanita yang lebih tua dan dalam keadaan hamil. Aku akan memaklumi jika Tante Marsha berat menerimaku menjadi bagian keluarganya. Aku akan memaklumi jika Tante Marsha membenciku. Aku tidak masalah. Itu salah satu konsekuensi yang harus aku terima.

Kurasakan hangat tangan menyentuh punggung tanganku. Aku mendongak dan melihat Tante Marsha tersenyum padaku.

"Jangan terlalu banyak berpikir. Semua itu akan berpengaruh pada janin dalam perutmu."

Aku mengangguk. Lalu pintu terbuka, menampilkan ibu yang wajahnya terlihat lelah. Aku berdiri lalu berangsur memeluk ibu.

"Maafin Dara ya bu."

"Sudah nggak apa-apa. Ibu sudah maafin kamu. Kamu jaga baik-baik anak kamu dan suami kamu nanti. Kamu harus jadi istri yang baik." Aku mengangguk dengan airmata menggenang.

Aku duduk berdampingan dengan Aga di depan penghulu dan juga bapak. Kulirik Aga menggunakan kemeja warna putih polos dan celana bahan warna hitam dan sebuah kopiah putih di kepalanya. Dia terlihat dewasa dari umurnya. Aku melihat sekeliling, hanya ada orang tua Aga, orang tuaku dan juga Ruda. Ruda duduk di sudut ruangan dengan wajah masam. Dia pasti belum bisa menerima semua ini.

Prosesi ijab qobul pun dimulai. Dengan sekali ucap, Aga berhasil melakukannya. Aku sedikit tercengang, kenapa dia begitu fasih saat mengucap qobul seolah dia sudah sangat siap untuk menikah. Lalu kata SAH terdengar oleh indera pendengarku.

Aga mengulurkan tangannya ke arahku sambil tersenyum. Aku menyambut  dan mencium punggung tangannya. Kemudian dia mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Cium keningnya diganti cium bibir boleh mbak?" Bisiknya pelan, hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Aku melotot tajam ke arahnya. Apa dia gila mau mencium bibirku di hadapan keluarga?

"Kamu pengen langsung jadi duda setelah selesai mengucap ijab qobul?" Bisikku pelan dengan nada geraman.

"Iya-iya maaf. Cium kening aja," katanya lalu mencium keningku dengan lembut. Sebelum menjauhkan wajahnya, dia kembali berbisik.

"Ciuman bibirnya nanti malam ya mbak sekalian plus-plusnya."

Plus-plus dengkulmu!

♤♤

Aku mengetuk pintu kamar Ruda. Aku membukanya dan melihat Ruda duduk melamun di depan meja belajarnya.

"Mbak masuk ya Rud?" Tidak ada sahutan, tapi aku tetap berjalan masuk dan duduk di tepi ranjangnya. Aku melihat sekeliling, kamar Ruda terlihat rapi dan bersih. Tidak ada poster apapun, hanya ada dua buah bingkai foto di atas meja belajarnya. Satu bingkai berisi foto keluarga kami lalu satu bingkainya lagi berisi foto Kinda, pacarnya Ruda.

"Kinda imut banget ya? Nggak nyangka kamu yang dulu katanya alergi sama cewek gendut malah sekarang pacaran. Kalau nggak salah kalian udah hampir setahun kan?" Kataku memecah keheningan.

"Mbak jadi ingat pas Kinda kamu bikin nangis gara-gara kamu ledekin kaya ikan buntal. Itu kejadiannya pas kalian belajar kelompok rame-rame di rumah ini kan?"

Ruda masih diam. Tapi aku melihat matanya sedikit bersinar sambil menatap  foto pacarnya.

"Kamu ingat pas kita ambil foto keluarga itu? Saat itu kita lagi liburan di Solo kan? Bapak dan ibu senang banget akhirnya bisa pulang kampung walaupun disana sudah nggak ada saudara mereka lagi."

Ruda masih tak menyahut. Aku meremas tanganku yang berkeringat dingin. Ruda itu anaknya periang dan cerewet. Dia selalu bisa memeriahkan suasana keluarga kami. Tapi sekali dia marah, dia akan diam dan mengurung diri seperti ini.

"Kamu masih marah sama mbak?" Tanyaku pelan. Aku melihat dia menggeleng.

"Kenapa masih nggak mau ngomong sama mbak?"

"Aku..." Dia menggantungkan kalimatnya.

"Mbak minta maaf sama kamu Rud."

"Mbak nggak perlu minta maaf. Mbak nggak salah. Aku nggak marah sama mbak Dara."

"Tapi kecewa?" Tanyaku. Lalu dia mengangguk.

"Sedikit. Sebenarnya aku marah sama Aga. Bisa-bisanya dia..." Dia mendesah frustasi. Aku paham kenapa dia begitu. Dia pasti merasa terkhianati  oleh temannya.

"Bagaimana mbak bisa bertemu Aga dan berakhir seperti ini?" Tanyanya. Dan aku mulai menceritakan kronologi bagaimana aku bisa bertemu Aga untuk pertama kalinya, minus bagian aku dan Aga lakukan di atas ranjang hotel.

"Aku nggak masalah mbak nikah sama siapapun. Kalaupun mbak nikah karena hamil duluan, aku juga nggak masalah. Aku hanya nggak setuju dengan Aga. Kenapa harus Aga?"

"Memangnya kenapa? Bukannya sama aja?" Tanyaku sambil mengeryit.

"Aga itu bukan cowok setia mbak. Dia memang baik sebagai sahabat. Orangnya loyal, nggak perhitungan dan asik buat temenan. Tapi dia itu playboy mbak. Ceweknya banyak. Ya mending kalau dipacarin, ini cuma dimodusin dan parahnya cuma buat selingan di ranjang. Bukan rahasia  lagi kalau Aga itu player."

Aku sudah bisa menduganya. Permainannya di atas ranjang seperti sudah berpengalaman.

"Aku cuma nggak mau mbak terluka," imbuh  Ruda.

Aku berdiri dan memegang kedua bahunya.

"Kamu jangan khawatir, mbak bisa jaga diri. Mbak akan membiarkan dia menyakiti mbak."

"Mbak Dara cinta sama Aga?" Aku menggeleng. Cinta? Mana mungkin aku mencintai Aga. Ngaco!

"Aku harap mbak bisa menjaga hati, jangan sampai mbak mencintai dia kalau tingkahnya masih seperti itu. Kalau bisa mbak yang bikin dia cinta mati sama mbak. Mbak Ara harus janji kalau mbak nggak akan terluka sedikitpun. Kalau sampai aku lihat atau dengar mbak terluka, akan aku bunuh si Aga."

"Iya mbak janji."

Setelah obrolan panjang dengan Ruda, aku kembali ke kamar. Ini sudah cukup malam dan waktunya istirahat. Aku merasa badanku sangat lelah.

Begitu masuk ke kamar, aku terkejut saat Aga memelukku dari belakang.

"Waktunya melakukan malam pertama mbak."

♡♡♡
Bersambung

Make A Baby with Berondong (Selesai)Where stories live. Discover now