Bab 31 - Her Peaceful Day

2K 563 61
                                    

Hmm... Apa ini? Aku merasa hangat. Bukankah seharusnya aku sudah mati terkubur salju? Jenderal Gunther mungkin sudah mati menjadi abu karena kekuatan Apollon. Tapi aku ingat kalau badai salju masih berhembus ketika aku pingsan.

Seluruh tubuhku terasa sakit. Tapi ini masih tidak seberapa dibandingkan siksaan Rasputin di kehidupanku sebelumnya. Aku merasa tanganku terayun. Rasanya seperti kesemutan. Tapi aku tahu kalau lukaku sudah membaik. Tubuh vampirku memiliki kemampuan regenerasi. Apalagi beberapa hari ini aku hanya minum darah manusia.

Ketika aku berusaha mengangkat tanganku—rasanya masih sedikit kaku.

"Kau sudah bangun?"

Romeo D'Artagnan menggendongku. Aku sedikit kaget karenanya. Bagaimana dia bisa menemukanku?

"Kyle bilang kau punya misi pribadi yang berbahaya. Jadi kau mengincar seorang jenderal?" Dia bertanya padaku, melihatku dengan matanya yang menawan.

Ini sedikit canggung. Aku tahu waktu dan situasinya tidak tepat saat ini. Tapi dia menggendongku seperti seorang putri. Padahal kesatria biasa menggendong rekannya di punggung. Apa karena Romeo tahu aku perempuan? Atau dia merasa lukaky akan memburuk jika di gendong di punggung?

"Maafkan saya sir," aku bersiap dimarahi. Aku seharusnya tidak melakukan itu. Kalau aku punya misi sendiri—aku harus memberitahu kapten atau komandanku.

Kenapa Romeo menyusulku? Dia adalah salah satu komandan terkuat yang punya tugas penting di perang Taverin. Seharusnya dia tidak membuang waktunya yang berharga untuk mengurusiku.

"Kerja bagus, Julian. Begitu kabar ini tiba di markas Florence— kita akan menyebarkannya. Kau akan menerima penghormatan," di luar dugaan dia tidak memarahiku.

"Ya, sir"

"Tapi aku berharap kau akan mengabari anggota teammu untuk hal seperti ini. Terutama kau harus bicara pada komandanmu," dia akhirnya melihatku sedikit galak.

"Baik, sir," aku mengangguk patuh. Suaraku masih terdengar lemah. Kerongkonganku kering. Aku juga masih menggigil.

"Bagaimana dengan jasad jenderal Gunther?" Aku bertanya.

"Aku membawa emblemnya serta beberapa potong sisa pakaiannya untuk membuktikan kematiannya,"

"Lalu senjata terkutuknya?"

"Aku membiarkannya tetap di dasar jurang. Biar Rasputin yang mengurusnya. Keluarga Gunther adalah pendukung sejati Rasputin. Sia-sia saja jika kita membujuk pengguna baru pedang itu bergabung," Romeo menanggapi.

"Oh," sahutku pelan.

"Seharusnya kau tidak perlu membuang waktumu mencariku. Bagaimana dengan Taverin?" Kataku lemah. Aku merasa bersalah karena ini.

"Kau tidak lihat ke arah langit?"

Aku mendongak dan menyadari kalau hari mulai lagi. Semburat jingga mulai nampak di cakrawala.

"Terompet perang sudah berbunyi ketika aku mencarimu. Kyle, cukup cerdas untuk tahu kalau dia tidak boleh mengganggu prajurit yang sedang berperang. Dia menunggu perang hari ini usai untuk mengabariku. Aku mencarimu sendirian. Cukup sulit, karena kau tidak bicara cukup banyak pada Kyle tentang rencanamu. Lalu aku melihat cahaya yang sangat terang di dasar jurang,"

"Itu kekuatan Apollon," kataku.

"Oh, kau sudah membangkitkannya? Impresif. Padahal kau tidak tahu banyak tentang Apollon," Romeo mengapresiasi.

"Kekuatan matahari, kurasa seperti itu," kataku sedikit ragu.

"Kau harus hati-hati dengan itu, matahari adalah musuh kaum vampir. Mungkin kini kita sudah cukup kebal dengan cahaya matahari asli. Tapi senjatamu itu— juga bisa membunuh para vampir Florence," Romeo mengingatkan.

"Kau harus melatihku soal itu. Aku ingin memahami Apollon lebih baik," kataku.

"Ya, setelah perang kita Taverin selesai kita akan membahas ini lagi. Sekarang aku harus menggendongmu di belakang karena jalan mulai mendaki," katanya. Dia lalu memindahkanku dengan hati-hati.

Hening tercipta. Tentu saja, kami tidak biasa mengobrol banyak. Selain urusan perang dan senjata terkutuk—aku tidak tahu apa-apa tentang Romeo. Saat ini juga bukan waktu yang tepat untuk bersikap bersahabat.

Aku sepintas melihat ke arah kakiku yang penuh lebam dan bekas sayatan belati es. Kini es itu sudah mencair dan menyisakan luka dimana-mana. Aku merasa miris, menyaksikan kulit putih porselenku yang dulu selalu dijaga dan dipuji oleh semua orang.

Tanganku juga tidak jauh berbeda. Aku bersyukur setidaknya wajahku aman karena aku mengenakan helm perang. Tapi rambutku yang kubanggakan—sempat membeku dan lengket karena tanah. Kurasa aku harus memotongnya sedikit nanti.

Tanpa kusadari aku terisak. Air mata mengalir ke pipiku. Aku berusaha menahannya namun itu sia-sia. Aku terlalu banyak menangis. Ternyata hatiku tetap lemah. Aku tetap Juliet si cengeng yang berhati sensitif. Tidak peduli walaupun aku sudah membunuh seorang Jenderal dan bertaruh nyawa untuk itu—aku tidak bisa lekas bersyukur.

Sekarang aku tidak berharga sebagai perempuan.

"Ke—kenapa?" Romeo tampak panik menyadari tangisku.

"Maafkan aku, sir! Aku hanya— aku—" suaraku tidak terdengar jelas. Tapi aku perlu menumpahkan penyesalanku pada seseorang.

"Aku tidak bisa menjaga diriku— aku— aku gagal sebagai perempuan," ini memalukan. Tapi hatiku tidak berniat berhenti mengeluh. Aku tidak pernah bisa mengucapkan ini pada siapapun selama aku menjadi kesatria. Aku hanya bisa menangis diam-diam setelah menjauh dari semua orang.

Ini adalah pertama kalinya aku mengeluh pada seseorang. Rasanya sangat emosional.

"Apa maksudmu, Julian?" Romeo bertanya lembut. Dia mungkin tidak pernah menghadapi perempuan yang menangis sebelumnya. Aku tidak akan menyalahkannya kalau dia malah balik memarahiku atau semacamnya.

"Kini aku memiliki bekas luka dan buruk rupa—" tenggorokanku tercekat karena tangis. Aku sadar ini kekanakan. Tapi aku tidak bisa menghentikannya. Ini adalah luapan emosiku. Ketidakpuasanku karena hidup terasa tidak adil bagiku.

"Itu bisa sembuh, Julian! Tidak akan ada bekasnya!" Romeo menegaskan.

"Kau tidak tahu soal itu, bagaimana dengan sir Damian? Dia punya bekas luka di wajahnya!" Aku masih menangis.

"Eh—itu karena—pokoknya kau akan baik-baik saja, Julian!"

Itu tidak terlalu meyakinkanku. Aku masih saja menangis. Pertempuran tadi memang berat dan menyakitkan tapi rasa tidak percaya diri ini yang membuatku menangis.

"Kenapa aku harus berperang? Kini aku tidak bisa menikah! Tidak ada yang akan menginginkanku, ibuku pasti kecewa," aku sesenggukan. Astaga ini memalukan. Kumohon Juliet. Berhenti menjadi drama queen. Tapi hormon kewanitaan sepertinya mengambil alih seluruh otakku. Aku tidak bisa menahannya.

"Astaga, Julian. Kau akan baik-baik saja! Kau—" dia tidak langsung menyelesaikan kalimatnya.

"Percayalah kalau kau salah satu perempuan tercantik yang kutahu. Jadi, tidak mungkin kalau tidak ada yang menginginkanmu. Berhenti berpikir negatif atau lukamu akan sulit sembuh," katanya sedikit pelan.

Aku terhenyak. Itu sangat manis. Mungkin dia hanya berbasa-basi tapi itu membuatku lebih tenang. Aku pun berhenti menangis. Sebagai perempuan aku merasa kondisiku kini menyedihkan. Aku jarang mandi, Selalu memakai baju pria, tidak pernah berias dan tanganku pun kasar. Aku tidak tahu apakah aku masih ingat caranya berdandan. Tapi setelah memikirkan sekali lagi, aku tidak terlalu menyesali kesempatan kedua ini. Walau aku sekali lagi harus menyamar sebagai pria dan memegang pedang.

"Terima kasih sir. Aku senang karena kau adalah komandanku," Aku menunjukkan respekku kepadanya. Aku akan mengikutinya dan menjadikannya panutanku.

"Sekarang tugasmu adalah beristirahat dan sembuhkan dirimu. Aku akan mencarikan donor untukmu nanti," katanya lagi. Setelah terlalu banyak menangis, aku pun jadi mengantuk dan perlahan mataku terpejam. Aku ingin bertanya tentang Ithadurna kepadanya tapi sepertinya aku masih terlalu lemah untuk itu saat ini.

The Great Vampire General is a GirlOù les histoires vivent. Découvrez maintenant