Bab 29 - The Illusion

1.9K 530 25
                                    

Juliet kembali ke barak para prajurit laki-laki. Dia sendirian dan terus melangkah ragu. Tempat itu sangat sepi dan memancarkan aura kemuraman yang nyata. Kemana semua orang? Kenapa dia sendirian?

Kemudian Juliet melihat ke arah tubuhnya. Dia tidak lagi mengenakan seragam kesatrianya. Dia kembali menjadi wanita, lengkap dengan gaun cantik dan riasan khas putri bangsawan. Dia kehilangan pedangnya, serta semua sisa ketangguhannya. Dia bahkan tidak bisa berjalan dengan mantap saat ini.

"Whoaa.. ada perempuan,"

"Dia cantik sekali,"

"Hey, Lady! Ayo saling mengenal," kata salah satu dari mereka terkekeh sambil berusaha menggapainya.

Wajah-wajah yang tidak dia kenal tiba-tiba muncul. Semua adalah pria berbadan besar dan melihat ke arahnya layaknya serigala lapar.

Juliet berubah pucat. Dia gemetar. Dia kembali mengingat ketakutannya dulu. Kenapa ayahnya memaksa dia tinggal di barak pria dan memakai pakaian laki-laki? Apa dia tidak takut kalau suatu hari identitasnya terbongkar dan dia dalam bahaya?

Juliet berbalik badan dan berlari sambil mengangkat gaunnya. Menggunakan kaki mungilnya yang dibalut sepatu cantik yang anggun—gerakannya tidak mudah.

Dia dikejar oleh para pria itu. Mereka ingin menyentuhnya. Mereka penasaran terhadapnya. Juliet menangis namun tidak ada seorangpun yang akan menolongnya. Dia tidak punya senjata apapun saat ini. Apa yang harus dia lakukan?

Kemudian tiba-tiba dia terjebak dalam situasi perang. Riuh ramai orang berteriak dan saling menyumpah terdengar. Dentingan pedang beradu, darah tertumpah, asap membumbung. Lalu seorang kesatria berbaju zirah menghunjamkan tombak ke perutnya.

Juliet menjerit tatkala menyaksikan darah menyembur deras dari lubang di perutnya. Dia terjatuh dan berkubang di genangan darahnya sendiri. Dia takut. Dia tidak mau mati. Ini bukan tempatnya. Ini seharusnya tidak pernah menjadi takdirnya.

Juliet menangis dengan rasa sesal yang mendalam. Dia mengutuk kondisinya. Marah kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin mereka membiarkan seorang wanita yang dididik menjadi gadis bangsawan ke medan perang? Apakah mereka tidak lagi mencintainya?

Kemudian pemandangan di sekitarnya berubah gelap. Hanya ada bintang dan bulan sebagai pencahayaan. Dia terlihat duduk bersimpuh di tanah kotor sambil meneteskan air mata. Tatapannya kosong. Ekspresinya penuh beban. Dia memegang lemah Apollon di tangan kanannya.

"Jadi, gadis kecil, apakah kau jadi membunuhku?" Seorang pria jangkung dengan mata cekung melihatnya santai. Dia menumbuhkan jenggot dan kumis tipis di wajahnya. Usianya mungkin setara dengan ayah Juliet. Dia tampak tenang dan nyaman walaupun kudanya sudah mati dan dirinya juga terluka parah. Dia memakai seragam kesatria Rasputin yang didominasi warna hitam keemasan. Ada emblem merah bergambar ular bertaring dan bergulung di lengannya.

Juliet menemukannya di jurang dan hendak membunuhnya.

Dia adalah Lord Leonard Gunther—salah seorang Jenderal Rasputin. Salah satu pria terkuat di dunia walaupun penampilannya tidak menunjukkan itu.

Ingatannya benar. Dia mengalami kecelakaan hebat ketika hendak mencapai Taverin. Dia akan terus berada di jurang itu sampai para Rasputin mencarinya. Kini dia dalam kondisi setengah lumpuh karena patah tulang dan rusuk. Namun Juliet sama sekali tidak bisa menyentuhnya.

"Untuk apa seorang wanita menyamar menjadi pria dan sendirian ke sini? Lalu nekat menantangku yang seorang Jenderal Rasputin? Aku harus tahu banyak soal dirimu, gadis kecil," pria itu terkekeh.

"Bagaimana kau bisa menemukanku di jurang ini? Apakah ini hanya kebetulan, atau—" Leonard tampak berpikir, dia menggaruk dagunya bingung. Lalu pria itu kembali tersenyum kepadanya.

Dia lalu menatap kembali mata Juliet yang kini terlihat kurang fokus. Keringat dingin mengalir ke tengkuknya. Orang itu sedang tidak berdaya. Jantungnya berada dekat dalam jangkauannya. Juliet seharusnya bisa segera membunuhnya dan membawa tanda kemenangannya pada Florence.

Namun ketangguhan Gunther memang sesuai dengan gelar Jenderalnya. Ketika Juliet baru saja akan menyerangnya—mereka saling bertatapan. Dan Gunther menguasai jiwanya dengan mudah.

Vampir berdarah murni, dikenal bisa memanipulasi pikiran seseorang.  Biasanya itu hanya dilakukan kepada para korban manusia mereka melalui gigitan sebelumnya. Namun Gunther adalah salah satu dari sedikit vampir yang bisa mengendalikan pikiran sesama vampir hanya melalui tatapan matanya.

Juliet terjebak. Walau dia sangat ingin menusukkan Apollon ke jantungnya—tangan dan kakinya kini seolah bukan lagi miliknya. Gunther juga mengaktifkan rasa takut dan kekhawatiran yang selama ini tersembunyi jauh dalam benaknya.

"Tidak mau menjawabnya ya? Sayangnya aku tidak bisa membaca pikiran. Pasukan Rasputin mungkin sudah menyadari aku menghilang dan segera akan mencariku. Aku akan membawamu ke markas Rasputin dan kita akan bersenang-senang, gadis kecil. Aku akan memaksamu bicara. Aku ingin tahu semua rahasiamu," Gunther terkekeh.

"Se—sebelum itu terjadi. Aku akan me—membunuhmu," Juliet menunjukkan sorot mata penuh determinasi. Walaupun sedikit gemetar, dia bisa mengepalkan tangannya dan kembali menghunus pedangnya.

"Hahaha, kau mau membunuh pria tua cacat tidak berdaya sepertiku? Apakah karena kau perempuan maka kau tidak merasa perlu memandang harga diri? Apakah membunuh seorang Jenderal sangat penting untuk karirmu walaupun tidak dalam pertarungan yang adil?" Leonard Gunther mengusik nurani Juliet.

Dia juga berdarah murni. Gunther adalah ahli manipulasi pikiran yang hebat tapi dia tidak bisa mengendalikannya selamanya. Juliet tidak mau mudah terpengaruh. Baginya sekarang kemenangan adalah segalanya. Tidak peduli walau mungkin ini terasa pengecut dan kurang manusiawi.

"Oh, kau benar akan membunuhku? Menarik. Kita lihat saja nanti apakah kau bisa tersenyum pada semua orang dan dengan bangga bilang kau mengalahkan Jenderal Rasputin yang terluka? Hmm... Apa itu karena kau perempuan maka kau merasa bisa melakukan itu?" Gunther menyeringai. Kala itu Juliet sudah mengumpulkan tekadnya, efek hipnotis Gunther sudah memudar dan dia melangkah terbata sambil mengangkat pedangnya tinggi.

"Kau terlalu banyak bicara untuk seseorang yang akan mati, sir Gunther!" Kata Juliet.

Jleb!

Ketika Juliet mengayunkan Apollon—kristal es layaknya pedang tajam menembus bahunya. Dia tersedak. Rasa perih yang membakar karena dinginnya Es menyiksanya. Gunther menyeringai padanya.

"Kau terlalu dekat. Walau aku tidak bisa bergerak untuk menikammu langsung— pedangku Khione akan melakukannya untukku. Jadi, apakah kau memakai pakaian yang cukup tebal untuk menghadapi badai salju?"

Gunther menggenggam pedang terkutuknya yang kini bersinar kebiruan. Lalu kristal-kristal es mulai bermunculan dari bawah tanah dan mengurung Juliet layaknya teralis.

"Aku bisa saja langsung membunuhmu, my Lady. Tapi sepertinya para Rasputin butuh waktu sedikit lebih lama untuk menemukanku. Jadi, ceritakan. Siapa namamu? Bagaimana kau bisa menemukanku di dasar jurang? Kalau aku terhibur, mungkin aku akan membiarkanmu hidup," kata sang Jenderal percaya diri.

The Great Vampire General is a GirlWhere stories live. Discover now