30. Bukan Lagi Musuh

3.2K 315 70
                                    

BTW INI BAB TAMBAHAN.

Lara mengerjapkan mata pelan, merasakan perutnya seolah menahan beban. Terasa keram. Cewek itu menundukkan pandang, menemukan wajah Saka yang terlihat lelah, tidur di perutnya seraya menggenggam sebelah tangannya erat, kendatipun kini cowok itu terlelap. Mengerjap, Lara terdiam beberapa saat, terhantam dada saat melihat air mata tak henti berlinang di sudut mata terpejam Saka, ikut membasahi pakaiannya.

Sadar jika dia tidak memakai seragam sekolah, Lara mengedarkan pandangan, baru menyadari jika kini dia tengah berada di ruangan yang tak dikenalnya, tapi dia yakini rumah sakit. Terlebih lagi saat menyadari jika kini perban membebat tangannya yang digenggam Saka. Bahkan, beberapa plaster luka di sepanjang kedua lengannya. Lara tersenyum kecut, menyadari bahwa kini dia terluka lagi. Dan, Saka yang telah menyelamatkannya kali ini.

Ragu, Lara mengangkat sebelah tangan terinfusnya yang tak digenggam Saka. Mengusap lembut kepala cowok itu, amat hati-hati. Dadanya berdesir hebat, ingin menangis haru melihat cowok itu.

Kini, saat Lara terbangun dari luka, dia tak sendiri lagi seperti biasa. Bahkan, Lara tak menyesal telah melukai dirinya. Alih-alih, merasa amat bersyukur karena kejadian ini Lara tahu bahwa hidupnya yang dia yakini tak berharga, diharapkan oleh orang lain untuk ada.

"Saka ...," bisik Lara serak, membangunkan Saka. "Sangsaka ...."

Merasakan kepalanya diusap, Saka lantas membuka mata. Mendongak terkejut saat sadar Lara yang tengah membelai kepalanya. Tanpa melepas genggaman, Saka meneggakkan tubuhnya. Tak mampu lagi berkata saking leganya melihat Lara yang sejak tadi ditunggu untuk membuka mata, kini tengah menatapnya. Saka mengatupkan rahang, lagi-lagi tak kuasa ingin memecahkan tangisan.

"Lo yang bawa gue ke sini?" tanya Lara basa-basi, tak sekalipun melepas pandangan dari Saka yang hanya terpaku menatapnya sayu. Melihat air mata meleleh di pipi cowok itu, mau tak mau membuat Lara mengangkat sebelah tangan gemetar, menarik belakang kepala Saka agar merebah di dadanya. Lara terpejam, memeluk kepala cowok itu erat saat dia mendengar isakan Saka. Mencelos karenanya. "Maafin gue, Ka."

"Jangan lagi, Ra. Jangan kayak gini lagi," ucap Saka serak, bergetar, tersedu, teredam pilu di dada Lara. Dia semakin terisak saat tangan Lara semakin memeluk kepalanya erat. "Gue capek, Ra. Gue cape sakit hati. Gue nggak bisa lihat lo begini."

Lara mengangguk, tersentil dada, ikut terisak tak bersuara. Tak sekalipun dia melemahkan pelukan untuk Saka. Dia tahu, cowok itu juga sama terlukanya dengan dirinya.

"Lo selalu anggap cuma lo yang terluka selama ini. Lo selalu bersikap cuma lo yang tersakiti di sini. Lo selalu anggap diri lo sendiri yang jadi korban di sini." Saka menjeda. Kehilangan suara. Tak tahan akan rasa sakit di dadanya. "Lo ... lupa gue, Ra. Lo lupa kalau gue juga sama. Gue juga bisa terluka, Ra. Gue juga bisa sakit. Kenapa? Kenapa lo malah bersikap seakan-akan gue penjahatnya dan cuma lo korbannya?"

Lara kehilangan kata-kata. Merasa amat bersalah pada Saka. Membenarkan semua ucapan pilu cowok itu. Sejak dulu Lara menganggap hanya dirinya yang terluka. Hanya dirinya yang sakit hati. Hanya dirinya yang korban kekejaman dunia ini. Namun, dalam kasus Saka, Lara mengakui jika dialah penjahatnya. Dia yang telah menghancurkan Saka. Bahkan, entah seberapa banyak luka yang telah dia berikan untuk Saka.

"Maaf, Saka ...."

"Pura-pura benci sama orang yang gue sayang itu nggak enak, Ra. Sakit ... banget," ucap Saka lagi, kali ini sebelah tangannya yang tak menggenggam tangan Lara terangkat. Memeluk bahu Lara erat. Bergelut di ranjang yang sempit itu. "Demi Tuhan, gue nggak pernah jadiin lo sebagai taruhan, Ra. Rasa gue juga nggak pernah main-main. Dulu ... dulu gue cuma malu. Gue sakit hati ditolak berkali-kali."

SangsakaWhere stories live. Discover now