47. Senyum Semesta Yang Hilang

10K 1.3K 611
                                    

Lara mengulurkan tangan, merasakan tetes air hujan mengenai kulitnya. Ia mendongak, menatap langit malam. Tetes demi tetes air yang menjatuhi pipi tidak Lara seka, alih-alih ia memejamkan mata. Menikmati udara malam yang sebelumnya cukup menyesakkan, kini tenang karena hujan. Bahkan, debu basah di jalan yang Lara tapaki, ikut menyebar aroma menyenangkan.

Membuka mata yang sempat terpejam, Lara edarkan pandangan. Dilihatnya, beberapa orang berlarian berlindung di bawah atap kios dan halte jalan. Bahkan, riuh redam klakson kendaraan yang semula sempat menganggu telinga Lara, terasa cukup teredam berkat hujan.

Namun, Lara tak beranjak mengikuti mereka untuk mencari perlindungan, alih-alih ia terus berjalan menerjang derasnya hujan. Sebab, ia bisa menangis tanpa disadari semua orang.

Memeluk kedua lengan, Lara bisa merasakan kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ia mengerjap, menatap rumah bertingkat dua di depannya. Baru menyadari bahwa langkah kaki yang ia seret gontai, menuntunnya ke rumah Papa, alih-alih ke rumah Saka.

Padahal, Lara ingin menemui Saka, ingin meminta maaf pada cowok itu yang sudah ia sakiti hatinya. Sebab, sejak mereka bertengkar di sekolah tadi, cowok itu membolos dan sampai saat ini tidak ia dapati kabar sama sekali. Lara khawatir. Lara takut Saka benar-benar meninggalkannya seperti ucapan cowok itu tadi. Lara tak ingin Saka pergi.

"Salah rumah, Lara. Ini rumah Papa, bukan rumah Saka," bisik Lara melirih, amat kedinginan menatap rumah mewah di depannya. Ada harapan yang kini tersirat di dada Lara, cukup pilu sampai menyesakkan terasa.

Seharusnya, Lara tinggal di sana. Berlindung dari dinginnya hujan dan menghangatkan tubuhnya. Bukan malah berdiri di sini meratapi rumah besar di depannya layaknya gelandangan mengharapkan belas kasihan.

"Sehangat apa pelukan Papa sekarang?"

Lara mendekat pada gerbang tinggi yang menjulang, menggenggam besi dan melongokkan wajahnya layaknya tahanan dalam bui. Pandangannya sayu, karena air mata dan hujan berkongsi apik memburamkan pandangan.

"Kata Papa dulu kalau Lara udah besar, Lara harus cari Papa. Ini Lara udah besar, Pa. Di depan gerbang, lagi nyari Papa. Tapi ... kenapa sekarang Papa yang nggak mau temui Lara?"

Meluruhkan tubuh, Lara bersimpuh. Berharap Papa di dalam sana mampu merasakan bahwa ada Lara di sini menunggu dirinya. Mencari seperti pinta lelaki itu dulu sebelum meninggalkan dirinya.

"Lara kangen, Pa. Saka sekarang ikut ninggalin Lara kayak Papa. Padahal Saka udah janji bakal jaga Lara kayak Papa dulu. Kenapa kalian tega ninggalin Lara? Kenapa? Padahal Lara udah percaya."

Lemah, lelah, Lara membaringkan tubuhnya di paving block kotor dan basah, meringkuk layaknya janin di dalam kandungan ibu. Pandangannya sayu menatap rumah Papa dari celah gerbang. Menangis di sana, berharap Papa akan datang menemui dirinya. Setidaknya, membiarkan dirinya masuk untuk menghangatkan tubuhnya, walau hanya sebentar saja.

"Papa ... temui Lara ... Lara kedinginan. Lara kehujanan ... tolong peluk Lara, Pa ...."

Berbalik menelentangkan tubuh, ia paksa matanya terbuka menatap langit malam meski terasa sakit sebab tertimpa hujan. Ada harap yang saat ini Lara tinggikan. Berharap Tuhan melihat bertapa ia terluka dan tak kuasa menanggung rindu sendirian. Berharap Tuhan memberinya kesempatan untuk saling mencurahkan kerinduan sebelum mereka berpulang.

Guk! Guk! Guk!

Menoleh lambat, Lara temukan seekor anjing besar nyaris seperti serigala putih menyalak ganas di balik pagar. Berdiri angkuh, tampak tak takut pada hujan yang membasahi tubuhnya, seolah tengah mengusir dirinya dari rumah Papa. Seolah Lara adalah orang asing yang tak pantas berada di rumah Papa.

SangsakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang