8. Ikut Nongkrong

11K 1.5K 91
                                    

“Mau nongkrong ya, Bang?

Lakna mengangguk malas. Ia berdecak melihat Lara ikut menyusulnya ke luar rumah seraya membawa bantal bergambar kucing. “Ck! Ngapain ikut ke luar, sih? Udah malam. Masuk sana! Gue mau main.”

“Kumpul sama geng belalang Bang Laknat, ya?” tanya Lara tak menghiraukan perintah Lakna. Ia malah mengamati Lakna yang kini mengancingkan jaket kulit hitam bergambar belalang besar bermahkota di bagian punggung.

Lakna itu anak motor. Nama gengnya bahkan cukup terkenal di Jakarta. Sayangnya, setiap kali mendengar nama geng Lakna disebut selalu saja membuat Lara ingin tertawa. Belalang.

Lakna mendelik. Menyentil kening Lara. “Locust. Not, belalang!”

“Sama aja, ah. Tetap belalang artinya.”

Lakna mengedik bahu. Meredam kesal. Sebenarnya, dia ingin mengomeli Lara seperti biasa, tapi kali ini sepertinya bukan momen yang tepat. Lara sedang tidak baik-baik saja, meski kini sudah terlihat biasa saja.

“Masuk sana! Tidur,” ucap Lakna mengusir sambil memakai sarung tangan dengan warna senada jaketnya. Dia menatap Lara. “Masuk, udah malem.”

Lara meneguk ludah. Menatap Lakna penuh harap. “Gue ikut ya, Bang?”

“Nggak!

“Bang ... ikut.”

Lagi, Lakna menggeleng tegas. “Nggak! Kalau lo ikut, bukannya seneng-seneng, gue malah jagain lo. Nanti cewek-cewek yang suka sama gue bakal salah paham.”

Tak habis cara, Lara dengan segera menghempaskan tubuhnya. Memeluk erat sebelah kaki Laksa dan bantal kucingnya. “Gue ikut, Bang. Please ....”

“Nggak!” balas Lakna seraya menarik kakinya dari pelukan Lara. “Lepasin, Ra! Aduh! Jangan lo cabut bulu kaki gue, sakit!”

“Makanya pakai celana panjang, Bang. Jijik lihat bulu kaki keriting Abang.”

“Terserah! Lepasin kaki gue! Sakit, aduh! Jangan dicabut bulu gue!!!”

“Nggak, sebelum gue diizinin ikut. Gue juga pengen refreshing, nih. Daripada gue nangis semalaman di rumah, nanti gue bisa sakit, loh. Bang Laknat juga nanti yang repot.”

Lakna menghela napas lelah. Menyugar rambut dengan jemari, nyaris meremasnya frustrasi. Dia memang sangat menyayangi Lara. Namun, bukan berarti Lakna mau menuruti semua permintaan aneh Lara. Apalagi, membawa Lara ke tongkrongannya yang cukup terbilang jahanam. Tidak. Dia tidak ingin Laranya tercemar dan ternoda.

“Ajak main Laksa, gih. Mingguan. Asal lo jangan ngikut gue,” tolak Lakna kekeh.

“Ah, Bang. Kalau main sama Laksa nggak bakal nongkrong selayaknya anak muda. Palingan ke pasar malam mancing ikan cupang. Bosan. Gue, kan pengen ngerasain nongkrong dalam versi Abang. Ikut, ya?”

Menyerah, Lakna dengan terpaksa mengangguk juga. Sebab, tak tega melihat Lara kini menampilkan wajah memelas siap menangis. Sial! Tangis Lara, kelemahan Lakna.

“Ya.”

Mendengarnya, membuat senyum Lara mengembang lebar. Dia dengan segera melompat berdiri dan memeluk Lakna erat. “Asyik! Makasih, Bang Laknat.”

"Hem.” Lakna berdehem malas. Dia mengerutkan dahi melihat Lara berjalan menuju motornya seraya membawa bantal. “Eh, mau ke mana lo?”

Lara menoleh bingung. “Katanya mau nongkrong?”

Lakna menepuk kening. Gemas bukan main. “Ganti baju dulu. Itu lo pakai baju tidur gambar kartun ulat sagu. Bawa bantal pula. Lo mau gue disangka bawa bocil?”

SangsakaWhere stories live. Discover now