7. Lara Punya Rahasia

11.2K 1.6K 99
                                    

“Jalang!”

Di daun pintu bagian luar, punggung Lara lelah bersandar. Menyembunyikan diri enggan menyaksikan pertengkaran yang terjadi di dalam rumah antara mamanya dan entah siapa lagi kini musuhnya. Lara tidak tahu dan enggan mencari tahu.

Lara muak!

Lara bosan mendengar caci maki serta hinaan yang dilontarkan semua orang pada mamanya. Pun, kelakuan buruk mamanya tersebut. Mamanya adalah penghancur rumah tangga keluarga bahagia.

“Semoga kamu mendapat karma! Semoga anak gadis kamu akan menderita menanggung dosa orang tua hina seperti kamu!”

Lara mengingat bibir, menunggu dengan hati gelisah penuh harap pada jawaban yang akan mamanya lontarkan untuk membalas cerca yang ditujukan padanya. Berharap mamanya akan marah dan membela dirinya selayaknya orang tua yang mencintai anaknya.

“Halah! Saya nggak peduli. Mau kamu sumpahin dia mati juga saya nggak peduli. Anak tolol itu sama sekali nggak menguntungkan saya.”

Sayangnya, mendengar jawaban mamanya itu sudah cukup menghancurkan semua harapan Lara sebelumnya. Sudah cukup membuktikan bahwa mamanya tidak peduli padanya. Terlalu menyesakkan dada sampai rasanya mampu merenggut kesadarannya. Lara ingin menangis, tapi rasanya bahkan air mata pun kini mengkhianatinya.

Benarkah mamanya tidak akan peduli sekalipun dia mati?

Lara ingin tahu. Dia ingin mati untuk melihat reaksi mamanya. Kehilangan atau malah tidak sama sekali. Lara juga ingin merasakan pelukan mamanya kembali. Sekalipun dalam kondisi mati. Dia rindu pelukan mamanya. Masihkah hangat seperti dulu, atau mungkin tidak sama sekali.

Papa?

Lara tidak tahu. Setelah perceraian orang tuanya dulu, Lara tidak pernah lagi mendengar kabar papanya, atau pula bertemu padanya. Terakhir, mungkin saat dia lulus Sekolah Dasar—lima tahun lalu.

Benci?

Ya, mulanya, karena Lara sempat berpikir papanya jahat meninggalkannya dan mama. Namun, sekarang tidak lagi. Tidak, setelah Lara mengetahui kalau dia hanyalah anak dari istri simpanan. Mamanya yang telah menghancurkan kehidupan rumah tangga orang lain. Mamanya yang telah merebut suami orang lain. Sampai akhirnya dia dilahirkan dari hasil hubungan gelap.

Seandainya bisa memilih, Lara lebih memilih untuk tidak pernah dilahirkan kalau pada akhirnya akan diasingkan. Sayangnya, Lara bahkan tak bisa menghakimi takdir Tuhan. Lara tak bisa memilih pada siapa dia akan dilahirkan dan dibesarkan. Bahkan, Lara tak bisa menolak fakta bahwa dirinya terlahir dari rahim wanita malam.

Lara tidak ingin menjadi perebut kebahagiaan orang lain seperti mamanya. Dia berbeda. Dia bukan perebut. Dia bukan orang jahat. Untuk itu, sebisa mungkin dia tidak ingin memiliki mimpi dan harapan dalam hidupnya ini. Dia takut kehilangan dan dipatahkan oleh harapan yang ia tinggikan pada Tuhan. Lara takut terluka lagi.

“Brengsek! Kamu berani tampar saya?!”

“Seorang ibu yang tega sama anaknya sendiri nggak pantas disebut manusia! Kamu bukan manusia!”

“Saya nggak peduli! Anak itu adalah kesialan yang saya punya. Kehadirannya bahkan nggak bisa menahan suami saya! Saya bahkan menyesal sudah melahirkan dia! Saya harap anak sialan itu cepat mati saja!”

Cukup!

Lara tak sanggup lagi mendengar penolakan mamanya pada dirinya, yang hanya akan membuat luka di hatinya makin menganga. Dengan tungkai gemetar, Lara berlari, tersandung-sandung menuju rumah Laksa, di samping rumahnya berada. Rumah keduanya. Setidaknya, di saat semua orang tidak menginginkan dirinya ada, keluarga Laksa selalu menerima kehadirannya.

SangsakaWhere stories live. Discover now