31. Lo Harus Egois

9K 1.3K 817
                                    

"Sakit nggak, Ra?" tanya Saka untuk kesekian kalinya seraya mengusap pipi Lara yang diperban. Tak henti meringis karenanya. Seolah dialah yang tengah terluka, bukan Lara.

"Nggak kerasa, Saka. B aja," jawab Lara bosan. Sebal selalu ditanyai oleh Saka sejak Andrea keluar menyusul Ayah dan Bunda Saka mencari makan.

Melihat Saka yang seperti ini, Lara seakan dibawa kembali ke masa lalu, di mana Saka yang amat perhatian padanya. Selalu menjaganya. Bahkan selalu melindunginya. Dulu pula, bahkan Saka pernah gila mengomeli nyamuk yang berani menggigitnya. Padahal, sudah ditepuk dan mati. Selebay itu Saka padanya dulu. Mungkin juga saat ini dan nanti.

"Masih kepikiran sama ucapan Andrea tadi?"

Lara mendesah lelah. Menatap Saka tanpa ragu. Membenarkan pertanyaan cowok itu. "Kalau ternyata semua itu bener, gue harus gimana sekarang?"

Saka tersenyum tipis, menarik kursinya agar semakin mendekat pada Lara yang kini duduk bersila di ranjang, menghadapnya. Cowok itu bahkan mengusap lengan Lara amat lembut, seperti kebiasaannya dulu.

"Kalau semua cerita omong kosong Ella itu terbukti bener, maka lo harus bersikap egois kali ini."

"Maksud lo?"

"Lepaskan orang-orang yang udah buang lo. Dan pertahankan orang-orang yang sayang sama lo," jelas Saka. Jemarinya terangkat mengusap mata sayu Lara. Bahkan, membuat cewek itu terpejam karenanya. "Gue nggak mau lihat air mata lo lagi, Ra. Lo nggak boleh lemah hanya karena orang-orang yang bahkan nggak pernah anggap lo ada. Lupain yang hilang, syukuri yang sekarang ada."

"Tapi, Ka ...,"

"Ra, lo terlalu terpaku sama Papa lo. Lo terlalu terobsesi sama Papa dan Mama lo," ucap Saka. Melihat Lara ingin menyela, buru-buru ia menaruh telunjuknya di bibir Lara, bahkan hampir mencolok hidung cewek itu. Dia meringis, gagal romantis. "Jangan sela dulu, Ra. Izinin gue bicara. Gue cuma pengen lo tahu kenyataan ini."

Lara menipiskan bibir saat Saka menarik tangan. Menunggu cowok itu bicara.

"Gue nggak bakal menghakimi lo dan masalah orang tua lo ini. Karena gue nggak tahu rasa sakitnya ditinggalin orang tua. Sejak kecil gue selalu dapet perhatian dan kasih sayang kedua orang tua gue. Keluarga gue cemara. Dan, ya ... mungkin lo nggak ngerasaainnya."

"Bukan mungkin, Saka. Emang nggak pernah," sahut Lara. Tatapannya nyalang menyiratkan luka. Mendadak emosi pada Saka. "Gue punya Papa Mama, punya saudara juga. Tapi, gue malah kayak yatim piatu. Sendiri Sebatang kara."

Saka mengangguk. Tak ingin menyela Lara. Meski kini dia melihat air mata mulai menggenang di pelupuk mata cewek itu.

"Dari kecil gue udah ditinggal Papa. Dari kecil gue udah nggak pernah lagi lihat senyum Mama," desis Lara. Tertunduk. Mulai terisak, meski sekuat tenaga ia tahan. Tetap saja dia menangis juga. "Gue ... gue iri, Ka. Iri sama anak-anak lainnya. Lagi sedih bisa cerita ke Mama. Lagi sakit bisa dipeluk Papa. Sedangkan, gue ... enggak. Nggak pernah. Bahkan terluka pun nggak ada yang peduli sama gue."

Saka mengangguk lagi. Tanpa kata dia menggenggam erat kedua tangan Lara. Mendengarkan semua curahan luka Lara. Dia hanya ingin Lara tahu, bahwa cewek itu memiliki dirinya. Tempat berbagi, tempat bercerita, dan tempat pulang jika lelah. Saka ingin menjadi rumah bagi cewek itu.

"Kata anak-anak lain, sosok papa itu kayak superhero, Ka. Terus ... terus kenapa Papa gue enggak?" tanya Lara seraya mendongak, berhasil membuat Saka tertegun melihatnya. Lara tersenyum miris. "Katanya, Mama itu sosok bidadari yang nggak bersayap. Terus, kenapa Mama gue nggak, Saka? Kenapa orang tua gue beda?"

Saka mengusap air mata Lara. Merasa menyesal telah membahas topik yang amat sensitif ini bagi Lara. Namun, Saka tak punya pilihan lain. Jika tidak sekarang dia menyadarkan pikiran Lara, maka kedepannya bukan tak mungkin Lara akan lebih terluka. Terlebih, jika kini Serenada telah ada di antara hidup Lara. Lara akan lemah. Lara akan kalah.

SangsakaWhere stories live. Discover now