6. Gara-gara WhatsApp

16.4K 2K 159
                                    

Sejak tadi Lara tidak bisa fokus mencatat rumus kimia yang ditulis Bu Nika di papan tulis. Saka, entah apa maksudnya selalu saja menyenggol lengannya keras. Terlebih, cowok menyebalkan itu tidak berhenti mendengus tak fokus.

Lara sendiri sampai heran pada tingkah Saka yang sejak tadi pagi dan sampai jam akan istirahat begini masih saja diam tak bersuara. Tak mengganggu dirinya seperti biasa. Penasaran, Lara menolehkan kepala, melirik wajah masam Saka.

“Apa lihat-lihat?!” tanya Saka tiba-tiba tanpa sekalipun menoleh, membuat Lara terkejut karenanya. Amat ketus seolah sedang ada masalah saja.

“Tumben dari tadi nggak nyinyirin gue? Nahan boker?” tanya Lara balik seraya terkekeh kecil ingin memancing Saka bicara tanpa menarik perhatian Bu Nika.

Untung saja Bu Nika, guru yang sudah berumur itu, mulai berkurang daya dengarnya. Sehingga, bukan hanya Lara dan Saka yang kini bersuara, tapi beberapa murid lain juga asyik mengobrol ria, meski tangan bergerak menulis tugas Bu Nika.

“Kenapa?! Mau temani gue boker?” sahut Saka masih enggan menatap Lara. Dia mendengus keras memikirkan masalah yang ada di kepalanya sejak semalam.

Saka heran, entah  bagaimana bisa dirinya kacau karena Lara. Bahkan dari malam dan sampai subuh menjelang ia tak dapat memejamkan mata, hanya karena memikirkan Lara. Aneh, Saka makin menggelengkan kepala. Ada yang tak beres pada dirinya.

Mendapat respons ketus dari Saka, Lara lantas mencebikkan bibirnya, menyesal sempat berpikir Saka aneh sebelumnya. Ternyata, Saka tetaplah Saka, si pemilik lidah tajam yang sangat suka menghina.

“Lara ...,” panggil Laksa pelan di belakang bangku Saka. Dia menggamit bahu Lara menggunakan bolpoinnya.

Lara menoleh, menatap bingung Laksa yang kini tersenyum padanya. “Apa, Sa?”

“Pinjam tipe-X, ada?” tanya Laksa.

Lara mengerutkan dahinya. Menatap tipe-x Luca di atas meja yang jelas-jelas ada di dekat Laksa. Bukankah seharusnya Laksa pinjam saja pada Luca sebagai teman sebangku, bukan malah dirinya.

“Boleh?” tanya Laksa lagi, memastikan. Sebab, kini Lara malah terdiam.

“Bu ... ada yang ngobrol!” ucap Saka keras membuat Bu Nika yang sejak tadi menulis rumus kimia di papan tulis membalik tubuh.

Terkejut, Lara buru-buru membalik tubuhnya kembali, menatap Bu Nika yang kini menurunkan kacamatanya sampai hidung, menatap muridnya dengan mata rabun. Lara meneguk ludah, takut kena marah. Bahkan, kini kelas yang semua di penuhi dengan obrolan pelan, mendadak senyap ulah pengaduan tiba-tiba Saka.

“Ngobrol saja, biar nggak bosan. Yang penting tangan kalian tetap mencacat apa yang saya tulis dan terangkan,” kata Bu Nika berhasil membuat Lara dan semua teman-temannya menghela napas lega, mengendurkan baru yang sempat tegang.

Namun, semua rasa lega dan bahagia itu tidak serta-merta dirasakan oleh Saka. Dia satu-satunya orang yang mendengus masam, karena semua tak berjalan seperti keinginannya.

“Memang Bu Nika guru terbaik yang pernah ada!”

Bu Nika tersenyum tipis mendengar pujian anak didiknya. Ditatapnya jam di pergelangan tangan kiri, kemudian ia menutup buku paket beserta spidol di tangannya. “Jangan berisik, ya! Istirahat saja sambil menunggu bel istirahat tiba. Ngobrolnya jangan keras-keras, takut ganggu kelas sebelah, lagi belajar matematika.”

“Siap, Bu!!!”

“Saya ke luar dulu, cari makan,” Bu Nika menaruh bukunya di meja. Dia tersenyum. “Nanti, taruh tas dan buku Ibu di kantor, ya? Ingat, jangan ribut!”

SangsakaWhere stories live. Discover now