26. Khawatir

11.9K 1.5K 535
                                    

Saka mendengus keras. Memalingkan wajahnya melihat Lara yang begitu canggung sarapan bersama keluarganya. Apalagi, diperlakukan amat baik oleh Bunda. Sasa bahkan tak henti mengintili cewek jelek itu. Memonopoli Lara sejak kemarin.

Bukan!

Bukan Saka cemburu, atau melihat kecanggungan Lara yang membuat Saka terganggu. Tapi, tentang ingatannya yang melayang akan kejadian subuh tadi. Ciumannya bersama Lara. Rasa manisnya bahkan terasa begitu nyata. Meski semua yang terjadi hanya kehaluannya semata, Saka jadi penasaran juga.

Ah, sebenarnya yang terjadi tadi tidak pantas disebut kehaluan. Sebab, halu terjadi karena keinginan seseorang yang sangat sulit digapai pada kenyataan. Sedangkan kasus Saka berbeda. Dia tidak menginginkan Lara. Hem, sebentar. Oke. Oke. Sedikit. Hanya sedikit saja.

Sekali lagi Saka menatap Lara. Dadanya berdenyut tiba-tiba saat Lara dengan bodohnya menjilat selai cokelat yang ada di bibirnya. Sial! Saka ingin menyundul kepala Lara saking gemasnya. Dia yakin Lara sengaja. Meneguk rakus susu cokelat di atas meja, Saka menatap tajam Lara. Panas. Bukan susu, tapi tubuhnya.

"Santai, Ka. Jangan tergoda. Bibir Lara mah pahit. Bau jigong," desisnya, nyaris tak bersuara. Menenangkan diri sendiri yang kini blingsatan. Mengalihkan perhatian, dia mengambil buah jeruk. Mengupasnya cepat, lantas memasukkan semuanya ke dalam mulut bulat-bulat. Tes bakat.

"Bang, udah sembuh ngelindurnya?"

"Uhuk!" Saka terbatuk, tersedak biji jeruk. Dia menatap Sasa tajam, penuh peringatan seraya memegangi lehernya. "Anak anj ...."

Lara yang melihat Saka sesak napas, ikut terserang panik tiba-tiba. Dengan segera dia memberikan air yang ada di depannya pada cowok itu. Saka sendiri dengan segera meminum air pemberian Lara. Rakus.

"Eh," Lara mengerjap linglung melihat Saka yang dengan rakus minum. Setelahnya, matanya melebar, baru sadar telah memberikan mangkuk pada Saka, bukan gelas air. Dengan segera dia merebut benda itu--yang sayangnya isinya hampir habis.

"Saka itu air cuci tangan!"

Byur!

Saka menganga, menatap Lara tak percaya. Wajahnya sontak memerah, marah. "Tolol! Udah keminum!"

"Nggak sengaja, Ka." Lara meringis. Dia menggigit bibir bawah, merasa amat bersalah. Terlebih, merasa malu pada Ayah dan Bunda Saka yang kini tengah mengulum senyum menatap meraka.

"Ngapa lo gigit bibir, huh?! Mau goda gue lo?!" tanya Saka sengit. Kesal bukan main. "Gue kiwkiw juga lo entar!"

"Nggak papa, Bang. Yang cuci tangan cuma kita-kita ini. Masih keluarga," sahut Sasa seraya terkekeh. Senang bukan main melihat Saka ternistakan pagi ini. Dia menyengir. "Gimana? Udah sadar belum sekarang? Apa masih ngelindur?"

Saka melotot. "Diem lo, Bocil!"

"Sejak kapan Abang ngelindur?" tanya Bunda heran.

"Subuh tadi, Bun. Abang nyelinap masuk ke kamar Sasa. Ngusap tangan Kak Lara lagi, diciumin sambil nangis. Nggak lama dia ngelamun sambil ketawa. Sasa pengen ngakak ngelihatnya, dipikir Abang kesurupan," jelas Sasa. Dia menyeringai melihat wajah Saka yang kini semakin memerah. "Sasa masih ingat banget, Bun. Tadi Abang nangis ciumin tangan Kak Lara, Abang bilang, 'Maafin gue, Ra. Maaf. Gue bakal jagain lo.'"

"Abang?" tanya Bunda tak percaya. Syok. Merasa kecolongan.

Sasa mengangguk. "Kata Abang sih nggak sadar. Sasa mah percaya aja. Biar Abang nggak malu."

SangsakaWhere stories live. Discover now