58. Sepi Di Tengah Ramai

43 25 5
                                    

Di sebuah pagi yang diteduhi pendar sinar mentari, Naka duduk di antara Theo, Ibu, dan Tara. Pak Dewanta, Elnandra, dan Mami Priscillia duduk di seberang. Posisi mereka seolah membentengi kedua sisi peti yang ditempati Ryu. Naka tak percaya, hari-hari kemarin, fajar enggan unjuk diri dan mempersilahkan awan kelabu menduduki singgasananya. Tapi anehnya, hari ini, ia bersinar terang. Seolah mengejek takdir Naka.

Tetapi tetap saja, Naka tak bisa berburuk sangka.

Bisa saja, fajar ingin mendukung harinya yang terlalu mendung. Bagaimana pun juga, separuh cahaya di hidupnya padam. Berbaring di depannya dalam kedamaian.

Sehingga tak dapat dia hentikan setetes demi setetes air mata luruh di pipinya lagi.

Tara yang memang memerhatikannya sedari tadi tak bisa menahan diri untuk memeluknya. Saat itu juga, Naka menumpahkan kesedihannya. Terisak untuk kesekian kalinya. Tak berhenti bahkan sedari Tara datang dini hari.

Orang-orang mulai berdatangan, memadati tempat duduk khusus para pelayat, lalu bergantian mengutarakan duka cita. Yang mana entah mengapa tiap kedatangannya mengundang tiap kesedihan yang tadinya telah reda.

Di antara mereka, hanya Theo, Hesa, Zean, bahkan Elnandra yang berusaha untuk tidak menangis. Mereka berusaha kuat. Terlebih Theo. Perkataan terakhir Ryu mencokol di benaknya. Theo bisa saja terlarut dalam kesedihan untuk sekarang. Tapi Theo menolak. Kalau pertahanannya runtuh, bukan tak mungkin orang-orang di sekitarnya ikut rapuh.

Perkataan terakhir Ryu seolah memberikannya sebuah tanggung jawab. Theo melarang dirinya sendiri untuk ikut berduka. Seperti kata Ryu, dia adalah fondasi bagi orang-orang di sekitarnya. Baik Ibu, Naka, bahkan Elnandra.

Theo tahu itu berat. Tapi, itu adalah permintaan terakhir sahabat sekaligus adiknya.

Sampai saat ini, Theo hanya bisa bergeming. Menatap kelopak mata Ryu sambil tersenyum getir. Lo hebat. Lo bisa melawan ketakutan dalam hidup lo. Dan lo pergi setelah menyelesaikan permasalahan lo, setelah lo meminta maaf. Nggak terkecuali sama bokap lo. Gue minta maaf, belum bisa jadi sahabat terbaik buat lo. Gue minta maaf karena nggak bisa jaga lo. Nggak bisa bikin lo bertahan kayak terakhir kali lo pergi untuk sementara.

Kali ini lo pergi untuk selamanya.

Tak lama, perhatian Theo berpaling sepenuhnya dari Ryu ketika ramai-ramai, anggota Rydenix datang mengucapkan belasungkawa. Kontan saja Theo beranjak. Menghampiri mereka yang duduk di luar dengan tatapan tersirat pertanyaan.

"Kalian datang."

Seolah dikomando, para anggota Rydenix silih mendongak.

"Bang Gate," ujar Jonah

"Lo ngasih kabar ke kita. Mana mungkin kita nggak datang. Dan... Maaf kalau gue harus bilang, wajar nggak sih gue nggak percaya?" Ini Mateo, anggota Rydenix tertua. Baru kali ini dia menyempatkan diri berkumpul bersama teman-temannya. Namun kali ini bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk menghadiri pemakaman salah satu dari mereka. "Gue.. gue udah lama nggak ketemu dia. Tapi waktu ketemu lagi, dia udah kayak gitu, Gate."

Theo menggigit gusi. Sebenarnya dia juga tidak percaya. Apalagi, dia terbiasa melihat Ryu setiap hari bahkan setiap saat.

"Belum lama Bang Ryu pulang dari rumah sakit. Belum lama Bang Ryu mampir ke markas sama motor kebanggaannya. Tapi hari ini, Bang Ryu udah nggak ada. Cuma raganya yang masih ada. Motor kesayangannya juga ikut ancur. Gue nggak sanggup liatnya. Sori kalau gue banyak nangis hari ini."

Theo menepuk pundak Mika. "Nggak apa-apa. Gue ngerti." Karena gue juga merasakan hal yang sama. "Hari ini nangis aja, nggak apa-apa. Nggak apa-apa buat kalian, dan buat gue."

RYUDA : Bad Angel [END]Where stories live. Discover now