51. Masih Setia

39 25 1
                                    

Fajar terbit untuk ke sekian kalinya. Di hari dimana tepat satu bulan berlalu semenjak insiden yang mengakibatkan Ryu perlu dibawa ke rumah sakit, lalu berakhir berbaring di ruang intensif. Kendati cukup lama waktu berjalan, hal itu tak kunjung membuat kesedihan Naka surut. Tiap kali irisnya bertubrukan dengan iris Ryu dibalik kelopak matanya yang terkatup rapat dengan kondisi yang tak kunjung membaik, tanpa diminta, cairan bening luruh dari mata gadis itu.

Begitupun hari ini. Bedanya, sekarang Theo turut berada di sampingnya. Baru saja selesai menyeka tubuh Ryu. Dan kini sedang duduk di salah satu stool tinggi dekat ranjang.

Dengan senyum lebar, Theo menepuk-nepuk pundak Ryu, sesekali mengusap lembut lengan cowok itu. Seiring dengan itu, senyum Naka ikut membentang. Sepertinya, Theo lebih cocok jadi orang yang memanggil Ryu dengan kata 'sayangnya aku' dibanding dia. Karena kenyataannya, Theo memang sesayang itu pada sahabatnya.

"Ry. Lo ingat ga pertama kali lo sama gue bolos? Itu adalah saat-saat yang nggak akan pernah gue lupain sih. Tapi lo, apa lo ingat? Oke, kalau lo lupa, biar gue ceritain. Di mana pagi-pagi, kita pamit sama Ibu buat ke sekolah. Tapi diam-diam kita bawa CV buat casting audisi. Dari sana aja keliatan jelas kalau gue nggak bisa marahin lo. Dan itu berlaku sampai sekarang. Karena kelakuan kita itu sama."

Theo memberi jeda pada kalimatnya untuk mengambil napas dalam-dalam. Bercerita dengan penghayatan ternyata bukan cuma memiliki dampak positif untuk membantu Ryu pulih, tapi juga memiliki dampak negatif untuknya, yaitu membuatnya lebih rapuh karena harus mengingat sebuah kenangan sendirian. Sedangkan orang yang ada di ceritanya kini terbaring tanpa kepastian.

Theo mengulum bibir, lantas kembali tersenyum. "Pagi-pagi banget kita ke lokasi casting, Ry. Tapi kita malah kebagian malem gara-gara lo kebelet buang air. Waduh. Kalau inget itu gue kesel banget. Gue malah harus ikut dapet kebagian malem. Kakak sabar banget ya, Nay?"

Naka spontan menaikkan alis. "I—iya."

"Bener nggak, Ry? Iya gatot..." Theo menjawab sendiri dengan suara yang dimirip-miripkan dengan Ryu. "Terus, abis itu kita pulang. Beruntung, usaha kita nggak sia-sia. Membuahkan hasil. Kita dapet tawaran langsung."

"Oh ya? Jadi apa Kak?"

"Jadi antagonis."

"Ih itu udah kehitung pemeran utama."

"Iya kan? Makanya di sana kita beruntung banget. Semua itu murni hasil kerja keras kita. Ryu bisa buktiin bahwa dia hebat. Tapi..."

"Ada tapinya?"

"Oh ada, tentu. Tapi... pas pulang kita dimarahin Ibu. Soalnya Ibu dapat laporan kalau Galatheo Bagaskara Atmaja dan Oktarius Ryuda Dewanta nggak ada di kelas. Bahkan nggak ada kabar. Makanya, datang-datang, Ibunda berdiri sambil lipat tangan di depan dada. Katanya, "Gilbert! Ian! Kalian berdua dari mana? Jelasin sama Ibu!" Haduh, kita langsung tremor dan spontan nunjukin kontrak."

"Ibu ngerti itu kontrak apa?"

"Jelas... Nggak." Theo berkelakar. "Ibu baru ngerti pas si Ian ini ngejelasin."

"Abis itu, nggak dimarahin lagi?"

"Nggak. Nggak berhenti maksudnya. Tapi tenang, keesokan harinya Ibu normal lagi kok. Itu pun disuguhi rengekan Ian."

RYUDA : Bad Angel [END]Where stories live. Discover now