Part 43 • Raditya

Start from the beginning
                                    

Aku memang mengajak Reyhan untuk bergabung dalam mengelolanya. Namun kami sama-sama mahasiswa yang waktu senggangnya tidak jelas, sehingga akhirnya kami memutuskan untuk merekrut dua karyawan untuk mengelolanya. Tapi menemukan karyawan yang langsung bisa dipercaya? Tentunya tidak semudah itu.

Ya... tidak semudah membalikkan telapak tangan usaha ini bisa berjalan seperti sekarang. Setelah melalui proses yang sangat panjang, barulah kami bisa sedikit bernapas lega.

Tiga bulan pertama aku dan Reyhan bahkan hampir setiap malam kekurangan tidur untuk memikirkan strategi apa yang harus kami lakukan agar chocoscafe ini bisa berjalan dan memiliki banyak pelanggan. Studi banding ke berbagai tempat dengan jenis usaha yang hampir sama bahkan setiap weekend kami lakukan untuk mengamati apa yang mereka lakukan dan bagaimana kami harus memodifikasinya untuk diterapkan di chocoscafe.

Kurangnya pengalaman pada kami, bahkan membuat biaya operasional waktu itu tidak berjalan sesuai sehingga keberlanjutan chocoscafe terancam mandeg. Untungnya, papa memutuskan untuk memberikan bantuan sebagai bentuk dukungan padaku yang ingin mandiri. Dan alhamdulilah setelah setahun ini, operasional chocoscafe mulai stabil dan kami bahkan bisa menambah dua orang karyawan tetap dan satu karyawan part time untuk membantu pekerjaan yang ada di sana.

"Thanks ya, ...." Jawabnya sembari menekan-nekan keyboard di komputernya.

Reyhan sedang bermain game online sejak hampir sejam yang lalu. Dan selama itu pula aku yang berbicara padanya hanya dibalasnya dengan ham hem ham hem saja.

"Kalo nambah menu baru menurut lo gimana?"

Reyhan menoleh ke arahku. "Menu baru?" Dahinya bahkan hingga terlipat karena bingung.

Aku mengangguk. "Anak community develooment hima punya desa binaan gitu. Terus dari pemberdayaannya punya output camilan-camilan. Terus gue rencananya pengen bantu pemasaran di cafe. Menurut lo gimana?"

Mengetahui yang kami bicarakan cukup serius, Reyhan mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia akan afk terlebih dahulu.

"Jualin aja atau diitung bisnis?

"Maksud gue, kita ngambil keuntungan nggak dari situ?" Tanyanya melanjutkan.

Aku mengangguk. "Ngambil. Cuma paling ngambilnya sedikit aja."

Meski niatku murni membantu, namun aku juga adalah seorang wirausaha. Memperoleh profit menjadi salah satu point utama dari usaha yang aku lakukan, meski nantinya profit ini akan dikembalikan lagi menjadi benefit kepada orang lain.

Dengan membatu menjual keripik yang diproduksi di salah satu komunitas binaan ini, aku berharap bahwa farmer share yang di dapatkan oleh komunitas akan semakin besar dan penerimaan yang didapatnya juga semakin tinggi. Sedangkan aku, aku hanya akan mengambil sedikit keuntungan dari fungsi pemasaran yang pihak chocoscafe lakukan. Bagaimanapun, usahaku membutuhkan profit agar dapat memberikan upah kepada mereka yang bekerja.

"Produknya apa emang, Dit?"

"Sejenis kripik gitu. Rasanya enak kok. Gue pernah nyoba pas ada anak-anak yang bawa ke sekret," Jelasku padanya.

"Menurut gue gapapa sih... Kita juga belum sedia camilan gitu kan? Tapi mungkin entar lo bisa obrolin lagi sama anak-anak buat packaging-nya biar menarik. Soalnya kan market kita anak-anak remaja."

Aku mengangguk mendengar penuturannya. "Sama jangan lupa kasih tau Rio buat foto produk dan up di semua sosial media biar pada tau kalo kita punya produk baru." Tukasnya kemudian.

"Siap!"

Rio adalah salah satu karyawan chocoscafe yang merangkap sebagai admin sosial media kami. Dan sebelum meminta saran dari Rayhan barusan, aku benar-benar tidak kepikiran untuk meminta tolong padanya. Memang benar bahwa meminta pendapat dari seorang Reyhan tidak akan pernah mengecewakan.

"Ya udah gue balik kamar dulu ya ... " Aku bangkit dari ranjangnya.

"Mau kemana lo? Tumben balik cepet."

"Mau ketemu calon pacar."

"Serius, Dit?"

"Si Ika Ika itu?" Lanjutnya lagi.

"Arunika!" Jawabku ketus.

"Iya gue tahu ogeb. Kemaren lo juga udah ngasih tau. Tapi bener kan panggilannya Ika? Lo kemaren bilang gitu soalnya."

Entah mengapa kupingku rasanya panas mendengar orang lain memanggil Ika dengan panggilan Ika. Rasanya itu adalah panggilan yang spesial dan tidak boleh digunakan oleh orang lain. "Bukan. Panggilannya Arun, atau lo bisa juga panggil Run."

Kulihat Reyhan mencibir. "Dasar bucin!"

"Biarin!" Balasku tak mau kalah.

"Iya deh iya."

"Jadi kapan mau dikenalin nih?" Lanjutnya kemudian.

"Besok kalo udah jadi pacar."

"Kapan?"

"Segera. Doain aja."

Reyhan hanya mengangguk-angguk. "Gue tunggu kabar baiknya."

"Sip. Kalo gitu gue balik dulu," Balasku sembari menepuk pelan bahunya, dan melengang pergi dari kamar kosnya.

Tingkat DuaWhere stories live. Discover now