Part 24 • Raditya

20K 3.1K 120
                                    

Learning by doing

***

Bertindak tanpa berfikir bukanlah hal yang biasa aku lakukan. Sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi, aku memang terbiasa thinking before doing , dan dapat dibilang amat sangat pandai dalam perihal mengendalikan diri. Selalu berhati-hati, penuh pertimbangan dan memikirkan segala konsekuensi dari setiap tindakan yang ditunjukan kepada setiap orang.

Lalu kenapa saat ini aku langsung kehilangan kontrol dan bertindak ceroboh?
Kemana perginya self control ku yang cukup bagus itu?

Menurut apa yang tertulis dalam wikipedia, self control atau pengendalian diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya sendiri secara sadar agar menghasilkan perilaku yang tidak merugikan orang lain, sehingga sesuai dengan norma sosial dan dapat diterima oleh lingkungannya. Meski dalam hal ini aku rasa tidak merugikan mereka, tentu saja aku tetap mengklasifikasikannya sebagai less control karena apa yang aku lakukan barusan ini adalah sebagai akibat dari  aku yang tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.

Kemudian pertanyaan pentingnya adalah, apa yang harus aku katakan kepada dua orang yang saat ini sedang menatapku? Entahlah, aku pun juga tidak tahu.

"Dit?" Bima berjalan ke arahku yang berada kurang dari lima langkah dari mereka, sedangkan Ika sendiri masih terdiam kaku di tempatnya.

Apakah dia marah aku mengganggu kesenangannya?
Semoga saja tidak.

Mati-matian aku berusaha menarik kedua sudut bibir ke samping. "Iya bro, gue."

Kulihat Bima tersenyum sebelum akhirnya kami bertos ala laki-laki untuk saling menyapa.
Thanks God, setidaknya aku mengenal Bima sehingga keadaan ini masih cukup terkendali.

"Sendirian?"

Aku mengangguk. Kemudian aku menatap lurus ke belakang Bima dan menemukan Ika yang sedang menunduk sembari meremas-remas ujung sisi bajunya.

Aku tidak menyadari berapa lama menghabiskan waktu seperti ini hingga Bima menepuk pundak ku dan mengatakan, "Lo gapapa?" Tanyanya sebelum menolehkan kepala mengikuti arah pandanganku.

Entah untuk alasan apa Bima tiba-tiba tersenyum. Lalu tanpa basa basi langsung menawariku untuk bergabung yang tentu saja aku langsung  mengiyakannya tanpa pikir panjang. Tanpa sadar bahwa mungkin saja sesuatu yang akan aku lihat nanti sungguhan membuatku ingin menghajar laki-laki di depanku habis-habisan.

"Heh bocah, temen gue gabung ya! Biar makin rame nontonnya."

Saat ini aku dan Bima sudah berada di hadapan Ika.  Dan gadis ini hanya mengangguk untuk pernyataan yang diberikan.

"Gak ganggu kan gue?" Pertanyaan ku pada gadis berkaus kuning bertuliskan life is so simple di depanku.

Benar-benar kaus yang cocok dengan dirinya. Terlihat manis!

"Gapapa kali, Arunika gue gak bakal keberatan kalo ada orang yang mau gabung," Bima tiba-tiba menjawab pertanyaanku sembari mengacak-acak ujung kepala Ika.

Apa itu tadi? Arunika gue? Benar-benar membuat gila.
Apalagi tangannya itu, benar-benar ingin ku hajar.

Aku menyunggingkan senyum. "Gue tanya Ika Bim, bukan elo. Lo mah gue gak perlu tanya." Aku masih berusaha bersikap wajar dihadapan keduanya. Meski sesungguhnya, sesuatu di dalam sana sudah mulai terbakar dan tidak terkendali seperti biasanya.

"Ini gue yang makilin jawabnya Bi, dia tipe yang gak biasa ngobrol tiba-tiba sama orang baru soalnya!

What? Apa katanya barusan? Aku stranger?

"Bang Radit..." Tiba-tiba gadis dihadapan mengeluarkan dua kata yang langsung berhasil meredam kemarahan ku.

"Bang Radit bukan orang baru, Bang! Dia juga temen gue." Arunika menoleh ke arah samping, tepatnya ke arah Bima yang berada di sisinya.

Entah aku harus senang atau kecewa. Senang karena Ika seolah membelaku di hadapan Bima, atau kecewa karena ia hanya menganggap ku sebagai teman. Lalu aku memang berharap apa jika bukan teman? Bodoh sekali!

"Kalian masih berhubungan emang setelah interview kemaren?"

Ku lirik Ika kembali terdiam mendengar pertanyaan Bima. "Sebelum itu kita juga udah berhubungan kali, Bim. Lo lupa dia junior gue?"

"Oh iya, gue ampe lupa." Ucapnya sambil tertawa.

"Gue bahkan pernah ngasdosin kelas dia bro. Mana ada gue termasuk orang baru di kehidupannya."

Ku lihat Ika langsung menatap ke arahku, sedangkan Bima hanya mengangguk-angguk dan tersenyum menanggapi.

"Oooo, ya udah yuk jalan. Ngobrolnya jangan disini. Entar lo kepanasan!" Tanpa mendengar respon kami dahulu, Bima langsung menarik tangan Ika untuk berjalan di sisinya.

Tarik napas, Dit.... Hembuskan
Tahan sedikit lagi.

Aku mungkin benar-benar akan kepanasan jika terus di sini!

***

"Lo mau nonton yang mana Run?" Aku masih memperhatikan interaksi antara dua orang yang berjalan di depanku.

Aku mendengus melihat interaksi keduanya.

"Terserah Abang aja, gue ngikut." Aku tidak bisa melihat ekspresi Ika karena aku berada tepat di balik punggungnya.

"Okede gue aja yang pilih filmnya. Tapi gak boleh protes." Ucapnya kemudian mengambil dompet dari dalam sakunya.

Ika hanya mengangguk mengiyakan. Apakah dia sedang sakit? Kenapa sedari kedatanganku tadi aku melihatnya jadi lebih banyak diam? Suara hatiku setelah memperhatikan gerak-geraknya tadi.

Kulihat Bima mengeluarkan dua lembar uang bergambar bapak proklamator, kemudian mengangsurkannya ke Ika. "Ini buat beli minum!" Ucapnya sembari menarik pergelangan tangan kanan Ika dan menaruh uang di atas telapak tangannya.

Bima tiba-tiba berbalik dan mengatakan, "Gue mau antri tiket dulu, lo tolong temenin Ika buat beli minum ya."

Refleks aku mengangguk, kemudian Bima sedikit mencondongkan tubuh ke arahku dan mengatakan, "Jagain adek gue, dan gak usah cemburu!"

"Ha?"

"Arunika adek sepupu gue. Jadi lo gak usah cemburu kaya mau nelen gue, Dit. Cowok harus bisa kendaliin emosinya." Lanjutnya sebelum menepuk pundak ku dan berlalu pergi.

Apa itu tadi?
Aku barusaja cemburu dengan abangnya sendiri?

Poor you, Dit!

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang