Part 34 • Raditya

17.3K 2.1K 34
                                    

"Dit, gue suka lo!" Luna tiba-tiba mengucapkan satu kalimat yang membuatku terdiam seketika.

Kami barusaja foto kelulusan, dan salah satu sahabat terbaikku tiba-tiba menyatakan perasaannya.

"Lun...." Ucapku sembari menoleh ke arah perempuan yang sedang duduk di ayunan ini.

"Gue tau selama ini lo cuma nganggep gue adik." Luna memandang lurus ke arah depan, tanpa mau memandangku sama sekali.

"Tapi mau gimanapun gue coba buat nggak jatuh cinta sama lo, pada akhirnya gue tetep kalah, Dit."

"I never can stop love you. Semakin gue denial, semakin gue ngerasa sakit dan gak bisa apa-apa." Lanjutnya dengan air mata yang sudah membasahi pipi.

Jujur aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kaluna adalah gadis yang baik, dengan wajah cantik dan tutur katanya yang lembut. Harusnya dengan apa yang dimilikinya sangat mudah bagiku untuk menyukainya. Namun bagaimanapun aku mencoba, tetap saja aku tidak bisa membohongi hati. Jadi walau terasa menyakitkan, aku akan selalu jujur akan perasaanku sendiri. Karena aku tahu, berbohong untuk memberikan kesenangan pada dasarnya adalah menunda kesedihan dan kekecewaan yang lebih dalam.

"Lun...." Lagi-lagi hanya itu yang bisa aku katakan kepada Kaluna.

Kaluna menoleh ke samping dan menghapus air matanya. "Selama lo belum punya pacar, gue bakal terus berusaha buat buka hati lo untuk gue, Dit. And please, don't push me away until the time is coming..." Tuturnya kemudian.

Jujur aku bingung harus meresponnya seperti apa. Kaluna adalah salah satu orang berharga dalam kehidupanku. Kami tumbuh besar dan belajar banyak hal baru bersama. Dan dia benar-benar seperti sosok seorang adik yang ingin terus ku lindungi selamanya.

Lalu jika aku melarangnya, apakah dia akan baik-baik saja?
Pada akhirnya aku memilih tidak menjawab dan menyerahkan segala keputusan pada dirinya sendiri.

Time will give us the answer...
Aku akan menerima apapun yang akan di tunjukkan waktu padaku. Baik apakah kami akan berakhir menjadi pasangan, atau tetap berteman seperti ini.

***

"Udah lama ya, Dit...." Ucapnya sembari mengayunkan kedua kakinya.

"Its almost three years ago, Lun..."

"Dan perasaan gue tetep gak berubah." Lanjutnya tanpa ekspresi sama sekali.

"Sorry, Lun."

"No need sorry, Dit. Dari awal emang gue yang salah." Lanjutnya kemudian.

"Gue jelas tau lo nggak nganggep gue lebih dari seorang adik. Tapi gue sendiri gak mau terima dan tetep kekeuh buat berjuang dan bikin hati lo kebuka buat gue."

Kulihat Kaluna menghembuskan nafas. "Pada akhirnya gue sendiri yang jatuh, dengan rasa sakit yang jauh-jauh lebih besar dibanding sebelumnya."

"Lun..."

"Gue bahkan ngikutin belajar di tempat lo belajar, join organisasi yang lo masukin, dan bahkan selalu berusaha mati-matian buat tampil sempurna hanya untuk membuat diri lebih pantes jika suatu saat nanti lo bisa sedikit aja ngelihat gue." Kaluna mulai berbicara sembari menahan tangis.

"Jadi apa sekarang udah waktunya buat gue berenti?" Tanyanya setelah terdiam cukup lama.

"Apa sekarang udah waktunya gue bangun dari mimpi-mimpi yang selama ini terus gue usahain buat jadi kenyataan?" Lagi-lagi suaranya sudah mulai terdengar parau karena menahan tangis.

"Lun.... Gue juga bersalah dalam hal ini." Kalimat pertama yang akhirnya aku luncurkan setelah beberapa saat terdiam untuk mendengarkannya.

"Gue juga bersalah karena ngebiarin lo terus berharap sama gue, padahal gue tau perasaan gue ke elo itu kaya gimana."

"Gue nggak kasih batas yang jelas diantara kita sehingga seolah-olah gue kasih harapan kalo bisa aja perasaan lo suatu saat bakal terbalas." Aku mulai mengungkapkan segala hal yang ada di pikiran.

"Tapi Lun.... Sebesar apapun gue berusaha, gue gak bisa bohongin diri sendiri kalo lo selamanya adalah adik kesayangan gue."

"TAPI GUE NGGAK MAU JADI ADEK LO, DIT!" Kaluna sudah mulai tidak bisa mengontrol emosinya.

Aku sadar betul dalam masalah ini kami berdua sama-sama salah. Sama-sama saling menutup mata bahwa apa yang kami usahakan selama ini hanyalah sia-sia saja. Dan meski akan sangat menyakitkan dan merubah hubungan kami, aku harus tetap memperjelasnya karena sekarang aku punya Ika.

Ini juga alasan lain mengapa aku belum meminta jawaban padanya hingga saat ini. Aku tidak akan memulai hubungan baru jika masih ada urusan masa lalu yang belum usai. Untuk itulah sekarang aku kembali ke tempat ini. Tempat dimana tiga tahun lalu, persahabatan ku dan Kalina berubah karena ada masalah asmara di dalamnya.

"Apa lo udah seyakin itu sama Ika?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Entah kenapa wajah Ika yang tersenyum tiba-tiba tergambar jelas di kepalaku. "Gue sebelumnya gak pernah seyakin ini sama cewek, Lun."

"Tapi lo belum lama kenal sama dia Dit!"

"Rasa sayang dan cinta itu nggak bisa diukur dari berapa lama kita kenal seseorang, Lun. Saat lo ngerasa ketemu orang yang tepat, saat itu hati lo langsung tau kalo lo bener-bener sayang sama dia."

"Jadi lo bener-bener serius kali ini?" Tanyanya memastikan.

"Ya." Jawabku tanpa keraguan.

"Jadi gue bener-bener harus mundur dan berhenti?"

"Lun...."

"Lo perempuan yang baik, cantik, dan juga pinter. Lo pantes dapet yang lebih baik daripada gue. Yang sayang dan cinta sama lo dengan tulus."

"TAPI GUE CUMA MAU LO RADITYA...."

"Nggak Lun." Balasku tak kalah seru.

"Lo belum coba, Lun. Lo mungkin terlalu percaya kalo lo secinta itu sama gue. Lo mungkin sebenernya lebih merasa gue bisa bantu rasa kesepian di hidup lo. But the fact is, lo bisa hidup tanpa gue sekalipun." Jelasku untuk menyadarkannya.

"Lo cuma perlu beraniin diri buat keluar dari zona ini. Lupain gue dan coba buka hati buat orang lain...."

"Dan gue... selamanya bakal tetep jadi sahabat dan abang yang baik buat lo." Tukasku sebelum beranjak dan berlalu pergi.

Kaluna butuh sendirian untuk memikirkan segala hal yang terjadi. Dan aku juga harus menenangkan diriku sendiri agar dapat kembali berfikir jernih.

"Gue tau lo wanita kuat. Puasin sedih lo sekarang dan bahagia setelahnya." Ucapku sebelum bangkit berdiri dan meninggalkan tempat ini.

Belum juga melangkah, lenganku sudah di cekalnya. "Can i hug you for the last?"

Aki tersenyum. Melepaskan cekalan tangannya pada lenganku, lalu mundur selangkah dan merentangkan kedua tangan untuk meresponnya.

Kaluna turun dari ayunan, lalu segera menubrukku dan menumpahkan tangisnya.

Aku menepuk-nepuk bahunya menenangkan. "Everthing will be okay, Kaluna."

Semangat semangat!

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang