Part 10 • Arunika

28.6K 3.2K 30
                                    

Self perception adalah persepsi seseorang akan dirinya sendiri dan penilaiannya, serta persepsi seseorang akan pengalamannya di situasi tertentu

***

Menyandang sebagai kota hujan, Bogor dan hujan adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Seolah sudah menjadi hal yang menjadi satu, Bogor diasosiasikan dengan hujan, dan hujan pun juga diasosiasikan dengan Bogor.  Dan tentunya memaksaku yang super mageran ini untuk senantiasa membawa payung kemanapun ketika sudah memasuki musim penghujan.

Untungnya, hujan di kamis sore kali ini benar-benar membawa berkah. Kemacetan yang biasa aku rasakan ketika menempuh perjalanan pulang yang bertepatan dengan after office hours, kali ini tidak terlalu terasa karena orang-orang mungkin memilih untuk menghangatkan tubuhnya dahulu dengan secangkir kopi atau teh sebelum beranjak pulang. Dan keadaan seperti ini membuatku banyak bersyukur karena berhasil memangkas perjalanan selama kurang lebih lima menit.

"Sore Mbak, baru balik ya?" sapa Rania saat melihatku baru saja memasuki halaman kontrakan.

Rania adalah penghuni lain selain aku, Fayka dan juga Raini. Dia satu tingkat di bawahku, dan merupakan sepupu Fayka.

Aku tersenyum menanggapi, "Iya nih, Ran. Biasa kamis... Nungguin siapa? Pacar?" Tanyaku sembari menghampiri Raina.

Raina menggeleng. "Bukan mbak. Lagi nungguin abang ojol, biasa lah pengen ngemil ujan-ujan gini," Jelasnya sembari tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi itu.

Aku mengangguk, "Oooo, kalo gitu mbak masuk dulu ya Ran. Basah semua nih, mau langsung ganti." Jelasku sebelum pergi meninggalkannya di teras kontrakan.

***

Apakah sebaiknya kita putus atau terus

Kita sedang mempertahankan hubungan atau hanya sekedar... menunda perpisahan

"Run!" Aku menekan tombol pause di spotify ketika mendengar seseorang memanggil namaku dari sebelah kiri.

"Hm," Aku bergumam sembari menengok ke arah samping dan menemukan Fayka yang sedang sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.

"Gue abis ini mau keluar bentar. Lo ada nitip sesuatu nggak? Biar sekalian." Tanyanya sambil menarik kursi di sebelah untuk didudukinya.

Saat ini kami memang sedang berada di ruang tamu kontrakan. Dengan laptop yang masih menyala di depanku, yang menampilkan sebuah jurnal tata kelola kelautan yang harus dianalisis untuk dikumpulkan besok lusa.

Aku diam sebentar, memikirkan apa yang sekiranya ingin ku beli agar sekalian aku titipkan kepadanya. "Nggak ada sih kayaknya. Tapi entar baliknya mampir Alfamidi deh ya, beliin gue susu UHT low calorie 2 sama lemonia coklat 1."

Kulihat Fayka mengangguk-angguk. "Ada lagi nggak?"

Aku menggeleng. "Udah kayaknya. Tapi pake duit lo dulu ya, besok gue ganti. Lagi nggak ada cash soalnya." Jelasku setelah mengingat bahwa sore tadi belum sempat mengambil uang di ATM karena harus mengantri.

"Sans. Kayak sama siapa aja." Ucapnya sembari berdiri dan berjalan menuju ke kamar.

"Abis ini gue langsung OTW ya." Lanjutnya sambil berlalu dan menghilang dari pandanganku.

***

"Sial," Aku mengumpat saat menyadari bahwa aku sudah ketinggalan angkot yang mati-matian aku kejar.

Pagi ini aku bangun kesiangan, sedangkan di sisi lain popo masih berada di bengkel karena kemaren sore baru saja terserempet ketika berada di parkiran. Alhasil, aku pun harus mengerahkan tenaga untuk berlarian agar tidak telat di mata kuliah pagi ini yang harus aku ikuti tepat pukul delapan nanti. Nafasku masih tersengal-sengal karena berlarian dari depan kontrakan menuju jalan raya untuk mencari angkutan. Dan dengan tidak beruntungnya, aku malah tertinggal angkot incaran di depan mataku sendiri. Benar-benar sia-sia usaha lari-lari ku sedari tadi. Poor you, Ka!

Aku menghembuskan napas lelah, lalu memilih menyingkir untuk mencari sesuatu yang bisa aku duduki. Aku butuh istirahat sebentar sebelum kembali melakukan perjuangan.

Kulirik jam tangan silver yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Mataku membola sempurna saat menyadari bahwa jarum jam yang ditunjukkan tidak sesuai dengan waktu yang seharusnya.

Aku memastikannya sekali lagi, lalu mengambil ponsel untuk mencocokkannya dengan jam di layarku.

Sial.
Lagi-lagi aku kembali mengumpat ketika menyadari kejanggalan ini.

"Awas ya Rain, lo." Gumamku setelah sadar bahwa temanku itulah yang pasti telah mempercepat jam dinding di dalam kamar, yang membuatku kalang kabut sejak bangun tadi.

Perbuatannya benar-benar mengesalkan kali ini. Aku bahkan jadi tidak mandi karena saking khawatirnya akan terlambat. Dan faktanya, aku justru berangkat terlalu cepat karena dia telah mengubah jarum pendek itu setingkat lebih cepat.

Aku menyelonjorkan kakiku, lalu kembali mengambil ponsel di dalam totebag putih yang hari ini aku pakai. Sembari menunggu angkot menghampiri, kusempatkan untuk membuka instagram dan mengecek beberapa ig story dari beberapa orang yang membuatku penasaran.


***

"Gimana tadi?" Tanya Salsa saat kami baru saja keluar kelas statistika.

Aku menautkan kening heran atas pertanyaannya. "Gimana apanya?"

Kulirik Salsa mendengkus. Sambil tetap berjalan meninggalkan kelas, kami melanjutkan obrolan singkat ini.

"Lo selese?"

Aku menggeleng. "Kurang dua."

"Gilak. Beneran? Keren amat lo, Run."

"Bekal nekat itu. Bodo amat yang gue tulis cuman jawaban sejuta umat. Kayaknya anak SMA aja lebih banyak tau dibandingin gue."

"Lo ngarang berapa emang?"

Aku terdiam. Tidak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan Salsa karena harus mengingat berapa banyak jawaban kuis yang aku karang tadi. "Hmm... sembilan, maybe."

"What??? Beneran??"

Aku mengangguk yakin. "Itu yang beneran ngarang total, yang lainnya yang nggak yakin." Balasku sembari mengambil ponsel yang ada di dalam saku blazerku.

"Lo gimana?" Lanjut ku setelah berhasil menemukan ponsel dan menempelkan telunjuk jari tanganku untuk membukanya.

Kulirik Salsa meringis. "Semuanya gue ngarang." Ucapnya tanpa beban sama sekali.

Aku membuka aplikasi whatsapp sebelum kembali menimpali ucapannya.

"Tapi selese?"

Salsa menggeleng. "Kurang tujuh kalo nggak salah. Otak gue udah mau meledak mikirnya."

"Sama banget asli. Nggak tau deh itu dosen nemu soal dimana." Aku mengeluh semangat karena menemukan teman seperjuangan untuk matkul ini.

"Iya gila. Kemaren pas latian perasaan soalnya masih bisa di karang. Lah ini? Omaygat Run, gue mau ngarang aja kagak bisa." Salsa berujar sembari memasangkan helm di kepalanya.

Saat ini kami memang sudah berada di parkiran motor. Dan karena Salsa bilang ingin main ke kontrakan, maka aku sekalian saja menebengnya pulang.

"Bener banget. Tapi gue udah nggak berharap banyak sih sama ini matkul." Responku sembari naik di jok belakang motornya.

Salsa mengangguk. "Udah ya, lupain aja. Biar nggak cepet botak pala kita." Sarannya yang aku setujui.

"Ya udah Sa. Gas balik kontrakkan." Timpalku yang dijawabnya dengan menstrarter motornya.

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang