Part 36 • Raditya

17.3K 2.2K 10
                                    

Too good to miss food adalah satu kalimat yang selalu dipegang oleh Satria. Diantara kami berempat, Satria bisa dibilang yang paling doyan makan jika dibandingkan aku, Reyhan, dan juga Ruben.

Prinsip yang dipegangnya itu, membuatnya tidak pernah melewatkan satu pun makanan yang ada di depannya.

"Tuh perut apa gentong bocor, Sat?" Gue liat-liat gak kenyang-kenyang dari tadi.

Satria menarik segelas es teh di depannya, lalu menandaskannya dalam sekali teguk. "Makanan gratis emang bikin gue gak kenyang-kenyang, Ben."

"Sialan, lo!" Aku melemparinya dengan kacang asin yang berada di atas meja kami.

Saat ini kami berempat sedang makan di salah satu warung makan yang menjadi tempat favorit mahasiswa di kampusku. Dengan cita rasa yang tidak mengecewakan dan harga yang sesuai kantong, tidak heran jika tempat ini akan selalu di penuhi oleh mahasiswa.

"Lo kan jarang banget traktir gini, Dit. Jadi gue harus memanfaatkannya sebaik mungkin." Ucapnya sebelum memanggil salah satu pelayan untuk memesan sepiring nasi goreng."

"Gak waras emang lo, Sat."

"Sekalian aja lo minta bungkus buat di bawa pulang!" Lanjutku kesal dengan perbuatannya.

Sepertinya memberi makan Satria jauh lebih mahal daripada memlihara seekor buaya. Dia benar-benar membuatku menyesal karena mentraktirnya. Tolong ingatkan aku besok untuk tidak lagi mentraktirnya.

"Boleh emang Dit kalo gue sambil bungkus?"

Reyhan tertawa sembari menepuk-nepuk punggungku. "Sabar bro.... Kaya lo nggak tau aja si bangsat ini kaya gimana." Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Aku bukannya tidak punya uang, tapi lebih ke merasa kesal karena sebelum ini Satria terus-terusan meledekku. Dan sekarang dengan tidak tahu dirinya malah merampokku.

"Jadi ada hal spesial apa lo tiba-toba traktir kita?" Rubenlah yang kali ini berbicara setelah daritadi hanya menyaksikan perdebatan diantara kami.

Dengan tangan yang masih memegang putung rokok yang masih menyala, dia berujar untuk meminta penjelasan.

"Gue abis nembak cewek."

"Ehh..eghh..." Tiba-tiba Satria tersedak setelah mendengar penuturan ku. Sedangkan Reyhan dan Ruben? Keduanya terdiam membisu seolah terpaku setelah mendengar ucapanku barusan.

"Kaluna?" Reyhan bertanya kepadaku.

"Bukan lah, gila aja lo. Kaluna udah gue anggap adik kali .."

"Terus sama siapa?" Ruben bertanya padaku.

"Bukannya selama ini cewek yang ada di sekitaran lo cuma dia?"

"Eh, sama temennya yang satu itu sih... Tapi kayaknya bukan tipe lo banget." Lanjut Ruben sembari mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.

"Lo.... lagi ngehalu?" Satria berucap dengan nada mengejek yang dilanjutkan dengan suara tawanya yang menjengkelkan.

"Diem nyet." Ruben yang duduk di sebelahnya menepuk punggungnya saat menyadari aku sudah memelotkan mata pada Satria.

Satria memang teman kami yang paling tidak waras. Hobi bercanda dan selalu berkata semuanya, tanpa menyaringnya terlebih dahulu."

"Cewek yang lo ajak ngedate kemaren?" Reyhan berucap hati-hati.

"Namanya Ika. Arunika." Ucapku mengoreksi.

"Wait wait... Siapa nih kok gue gak tau?" Kali ini giliran Satria dan Ruben yang menatap tajam ke arahku.

Sepertinya Satria sudah paham bahwa apa yang aku bicarain ini  adalah hal yang cukup serius.

"Gue juga baru cerita ke Reyhan kemaren. Dia junior gue di departemen." Jelasku tanpa diminta.

Persahabatan kami sudah seperti saudara. Dan dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada rahasia diantaranya. Jadi setelah kejadian ini, lalu berlanjut denganku yang menceritakan ulang pertemuan dan hubunganku dengan Ika.

"Gak modal banget sih lo, Dit.... Masa nyatain cinta di depan resto gitu. Mana bukan resto yang elit." Ruben memarahiku setelah mendengar ceritaku beberapa waktu lalu.

"Kan gue udah bilang pas itu kejadiannya lagi chaos banget. Gue gak ada pilihan lain buat nenangin dia. Lagian cepat atau lambat juga gue bakal nembak dia juga kan..."

"Udah gak ketolong emang lo udah...."

Aku menggaruk-nggaruk keningku bingung. "Jadi gue salah?"

"Gini ya...." Rayhan menoleh ke arahku.

"Dibilang salah, enggak sih.... Tapi kalo di bilang nggak salah, gimana ya nyebutnya...."

"Out of the box sih kalo mau pake bahasa sopannya."

"Kalo yang nggak sopan?" Satria mengutarakan sebuah pertanyaan.

"Bego!" Jawabnya sendiri sembari tertawa

"Sialan!" Makiku sebelum melemparkan bungkus rokok padanya.

"Thanks Dit, thanks. Di kasih rezeki...."

Ya Allah. Positive vibes banget emang itu orang!

"Jadi gimana?" Aku kembali menolehkan pandanganku pada Reyhan.

"Ya nggak gimana-gimana. Kan udah kejadian..." Justru Ruben yang menimpali pertanyaanku barusan.

Reyhan menepuk bahuku pelan. "Doi udah jawab pertanyaan cinta lo?"

Aku menggeleng.

"Bagus!" Aku menoleh ke arah Satria dan membulatkan mata.

"Santai bro, santai...."

"Gue bukannya ngedoain lo di tolak ya ini. Jangan kaya mau bunuh gue gitu dong ....." Satria menghela napas.

"Karena siapa tadi namanya?"

"Ika. Arunika."

"Nah iya, Arunika. Karena dia belum jawab pertanyaan cinta lo, lo masih punya kesempatan buat sedikit kasih sesuatu yang ada effort-nya."

Keningku pasti sudah berkerut karena tidak paham dengan maksud pernyataannya. "Maksud gue, lo masih ada waktu buat nunjukin perhatian dan ketulusan lo sama dia sebelum dia kasih jawaban...."

Aku mengangguk-angguk paham. "Sampai sekarang gue sama Ika udah sepakat buat belum bahas masalah ini lagi. Dia minta waktu, and i deal it with her."

Ketiganya mengangguk-angguk menanggapi. "Wajar sih kalo dia minta waktu. Pasti bingung sih antara lo beneran lagi nyatain  cinta atau lagi nge prank..." Satria sudah kembali ke mode songongnya.

"Gapapa Dit. Cuma jangan terlalu lama juga." Ucap Rayhan yang menutup pembicaraan kami tentang Ika di malam ini.

Tingkat DuaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora