Part 7 • Arunika

32.4K 4K 25
                                    


Overthinker adalah orang-orang yang berlebihan dalam berpikir di hidupnya.
Tipe orang overthinking seperti ini banyak kita jumpai bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. 

***


Aku menghembuskan napas perlahan. Akhirnya artikel Bang Radit yang direncanakan akan menjadi headline berita bulan ini selesai aku kerjakan.  Mungkin setelah mendapatkan sedikit editan, akan segera kuhubungi salah satu junior untuk mengkonfirmasinya kepada pihak yang bersangkutan. Memastikan apakah sudah oke atau harus ada beberapa bagian yang harus di ubah.

Sudah kuputuskan untuk menjalani aksi menghindari diri dari manusia most untouchable itu dalam beberapa saat.  Aku masih belum sanggup jika harus bertemu dan berinteraksi langsung dengannya dalam waktu dekat ini.

Dari wawancara kemaren malam, aku menyadari sesuatu yang terjadi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, semakin aku terkagum-kagum dengan pemikirannya yang luas dan open minded. Dan dengan jelas juga, aku harus rehat sejenak untuk mengembalikan perasaanku agar tidak terlalu menggebu-gebu.

"Run!" teriak Salsa yang membuyarkan segala lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan sembari menunggu kelas selanjutnya untuk di mulai.

"Lo ngerasa aneh nggak sih sama kelakuan mereka?" Ucapnya sambil menggerakan dagunya ke arah sebelah kiri.

Aku mengikuti arah pandangnya, lalu mulai memicingkan mata untuk dapat menemukan keanehan diantara Vino dan Andin. Mereka adalah teman sekelas kami, dan tidak ada yang aneh dengan mereka berdua jika dilihat dari sudut pandangku.

"Biasa aja kok, Sal. Lagian bagian mananya yang aneh? Orang sama kayak yang lain gitu juga kok."

Salsa berdecak kesal, "Dasar lo ya! Percuma deh gue nggosip sama elo, nggak asik!"

Loh-loh, kenapa nih si bocah, kenapa tiba-tiba marah gini ke gue. Kan udah gue respon sesuai fakta, gimana ceritanya?

"Emang mereka normal-normal aja kali, apa yang mau di komentarin coba?" Bingungku akan responnya.

"Ya elah, Run. Lo kenal mereka udah berapa lama sih? Mereka kan nggak pernah keliatan akur berdua, kenapa sekarang bisa duduk anteng deketan gitu?  Mana nempel banget."  ucapnya menggebu-gebu.

Aku hanya memutar bola mata jengah,  "Ya elah, gitu aja elo gosipin.  Ya bagus dong kalo mereka akhirnya akur."

"Bagus-bagus, cuma gue agak penasaran aja sih. Sepertinya ada bau-bau yang mau jadian!" Ucapnya sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas meja.

Aku memilih tetap diam karena paham jika terus merespon Salsa, maka buntutnya akan sangat panjang.

***


"Aduh, gue baru inget kalo harus kerkom buat matkulnya Pak Saka!"

Kalimat Salsa membuatku teringat kalo kelompokku sendiri belum mengerjakan. Tanpa mengatakan apapun, kami langsung berbalik arah menuju kelas.

Setelah dari perpus tadi kami berencana untuk lanjut makan. Tapi tugas kelompok yang sudah hampir deadline membuat aku dan Salsa akhirnya mengurungkan niat.

Kami berjalan menuju ruangan dengan mengobrol santai, dengan aku yang lebih tepat dibilang menjadi pendengar.

Omong-omong menjadi mahasiswa tingkat dua lumayan cukup sibuk. Tugas akhir hampir di setiap mata kuliah, hingga kerja kelompok yang harus kami kerjakan setiap minggu karena tugas rutin presentasi yang harus di lakukan.

Aku mengambil ponsel dari saku untuk menanyakan kabar kelompokku apakah jadi kerja kelompok atau tidak siang ini. Kami janjian untuk menyicil mengerjakannya sebelum kelas menulis ilmiah di mulai, sehingga sekalian aku mengingatkan mereka untuk datang lebih awal dari biasanya.

Kelas terlihat sangat ramai dengan teman-teman yang aku duga akan mengerjakan tugas yang sama. Aku menghampiri anggota kelompokku yang duduk bergerombol di sebelah kiri depan kelas. Aku tebak kelas belum di buka, sehingga anak-anak duduk tidak beraturan memenuhi bagian depan ruang kelas dengan gerombolannya masing-masing.

"Kelasnya belom di buka, Run!" Sabela memberi tahuku ketika aku ikut duduk diantara mereka.

"Tumben," Responku sembari memperhatikan keadaan sekitar.

Deg!  Tanpa kusangka aku melihat sosoknya. Sedang berbincang bersama Pak Ahmad, salah satu dosen yang ada di fakultas kami.

Kelas kuliah kami memang tidak menentu, tapi aku juga tidak menyangka jika akan mendapatkan keberuntungan seperti ini. Bertemu dengan orang yang mati-matian aku hindari beberapa hari kebelakang.

Niat hati ingin cuti menghindar, tapi mataku tidak mau di ajak bekerjasama dengan benar.

Bang Radit tampak begitu serius berbincang dengan Pak Ahmad.  Alis tebalnya bahkan terlihat beberapa kali menyatu sangking seriusnya. Sebuah gestur yang sering dia lakukan saat terlibat obrolan serius yang tanpa sadar aku ketahui dengan sendirinya.

Aku langsung gelagapan saat tanpa aba-aba sosok yang ku perhantikan itu tiba-tiba menoleh ke arahku.

Kill! 
Sepertinya sang obyek menyadari sesuatu.

Segera kualihkan pandangan ke arah Bela yang sejak tadi entah bercerita apa.

Double kill! 
Please jantung, tolong bekerja normal sekali ini saja. Pintaku karena organ sebesar kepalan tangan orang dewasa itu sudah bekerja diluar batas yang seharusnya.

Kulirik kembali ke arahnya dengan ragu. Terlihat Bang Radit dengan wajah yang ragu-ragu, lalu menoleh ke Pak Ahmad dan tersenyum mengangguk sebelum akhirnya berjalan ke arah sini. "What? Something wrong happen?" Ucapku tanpa sadar.

"Ha? Gimana-gimana?" Fayka yang duduk tepat disebelahku menghentikan ceritanya karena mendengar gumamanku.

Aku belum sempat mengelak saat suara bariton seseorang yang sangat kuhafal memecahkan keheningan diantara kami,  "Sorry, bisa pinjam tipe-ex nya sebentar?"

Tingkat DuaWhere stories live. Discover now